TEORI DEKONSTRUKSI (JACQUES DERRIDA)
DEKONSTRUKSI (JACQUES
DERRIDA)
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dewasa ini, perkembangan di dunia sastra sangat pesat.
Perkembangan tersebut memicu munculnya beragam teori sastra yang digunakan
sebagai pisau analisis untuk mengkaji karya-karya sastra tersebut. Teori-teori
tersebut mengalami
perkembangan yang memunculkan
kritik sastra berkembang dan meluas. Sebuah karya sastra sangatlah erat
hubungannya dengan kehidupan manusia, karena sastra tidak lepas dari unsur
kemanusiaan serta kehidupan
di sekitar manusia yang membangun
keutuhan sastra tersebut.
Selama ini, dalam membaca teks karya sastra kita masih
berpandangan satu arah saja dengan mengikuti pendapat atau kesimpulan yang telah
dikonvensionalkan. Maksudnya dengan
cara menyimpulkan pemaknaan cerita,
seperti membaca serta menelaah teks secara umum. Namun, pada masa
post-moderinisasi ini pandangan-pandangan tersebut tidak diinginkan dalam
pembacaan karya sastra. Justru kita dituntut untuk melihat serta menelaah
sebuah karya secara lebih kritis dalam membaca karya sastra tersebut, sehingga
muncullah metode-metode pembacaan teks seperti dekonstruksi.
Salah satu pemikir filsuf Prancis yang melahirkan
pemikiran postmodern tentang teori dekonstruksi adalah Jacques Derrida seorang keturunan Yahudi. Dekonstruksi cenderung dilihat
sebagai sesuatu yang antiteori dan antimetode. Oleh karena itu, kecenderungan
yang antiteori dan antimetode itu, ia mendapat tanggapan yang serius dari
berbagai kalangan (ilmuwan), terutama kaum positivis dan kaum modernis.
Dekonstruksi merupakan salah satu teori
postrutulaisme yang paling kritis dalam memahami dinamika aspek-aspek
kebudayaan. Ciri khas teori postrutulaisme, dekonstruksi khususnya adalah menolak
mitos oposisi biner. Postrukturalisme juga mendekonstruksi legitimasi
aspek-aspek intelektual yang selama ini dianggap sebagai memiliki kompetensi
yang relative tetap. Legitimasi terbesar adalah dikotomi antara ilmu alam
dengan ilmu humaniora dengan implikasi superioritas terhadap ilmu-ilmu yang
pertama. Legitimasi berikutnya adalah dikotomi antara hakikat jasmanai dan
rohani, fakta dan fiksi (Kutha Ratna: 2005). Dengan
menggunakan metode dekonstruksi dalam membaca teks atau sebuah karya sastra
diharapkan kita bisa melihat fakta-fakta lain dalam menelaah teks karya sastra. Sehingga tidak ada kemutlakan
dalam memaknai karya sastra dan menghilangkan anggapan-anggapan yang sifatnya
absolut serta menemukan hal-hal baru yang pada awalnya terabaikan.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan di atas, rumusan masalah yang dapat dikaji yakni
“bagaimanakah pandangan dekonstruksi dalam studi kajian sastra serta sumbangsih
dekonstruksi terhadap penelitian sastra”.
1.3 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah yang ada dalam makalah ini, maka dapat diketahui tujuan dari
penulisan makalah ini, yakni “untuk mengetahui pandangan dekonstruksi dalam
studi kajian sastra serta sumbangsih dekonstruksi terhadap penelitian sastra”
1.4 Manfaat
Penulisan
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan
makalah ini adalah dapat menambah khazanah teoretis baik bagi penulis maupun
para pembaca khususnya berkaitan dengan “konsep teori dekonstruksi oleh Jacques
Derrida” sehingga para pembaca dapat mengetahui tentang sastra dari sudut
pandang teori dekonstruksi dalam studi kajian sastra.
PEMBAHASAN
2.1 Teori Dekonstruksi
Suatu kajian
sastra tidak akan bisa terlepas dengan teks, dapat dikatakan bahwa sastra
berpusar pada suatu teks. Teks dapat dimaknai secara luas yang tidak dapat
dibatasi dengan makna. Sebagaimana paham dari dekonstruksi yang menolak
struktur lama yang telah lazim. Dekonstruksionis menganggap bahwa “bahasa” teks bersifat logis dan
konsisten. Seperti pada sebuah ungkapan kejahatan akan terkalahkan dengan
kebaikan, akan tetapai pada paham dekonstrusi itu tidak selalu benar. Ada
hal-hal yang sangat penting jika ingin
dikaji lebih dalam, pada era skarang sastra boleh saja membalik tema
besar itu disebabkan oleh pehaman teks tak selalu berurutan melainkan boleh
dibolak-balik.
Kajian deknonstruksi
merupakan bagian dari pasca structural yang hadir sebagai penentang atau
pengembang dari kajian structural sastra. Kajian pasca-struktural secara
otomatis akan melupakan struktur (mendekontruksi) karya sastra. Paham dekonstruksi yang begitu bebas,
tak terikat struktur, di antara peneliti sastra ada yang menyebut
postmodernisme. Istilah ini sebagai kontras paham structural yang masih
terkategorikan modern (Endraswara, 2013: 167).
Sebgai ciri utama
teori postrukturalisme, baik dalam
bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi, dekonstruksi termasuk salah
satu teori yang sangat sulit dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori
postrukturalisme pada umumnya, maka secara definitif perbedaan sekaligus ciri
khas dekonstruksi sebagai mana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah
penolakannya terhadap logosentrisme dan
fonosentrisme yang secara keseluruhan
melahirkan oposisi biner dan cara-cara berfikir lainnya yang bersifat hierarkis
dikotomis. Kecendrungan utama oposisi
biner adalah anggapan bahwa unsur yang pertama merupakan pusat, asal-usul, dan
prinsip, dengan konsekuensi logis unsur
yang menjadi skunder, marginal, manifestasi, dan padanan pelengkap lainnya
(Ratna, 2012: 222).
Dalam
mendekonstruksi strukturalisme, misalnya, kegiatan yang dilakukan secara terus
menerus adalah mengurangi intensitas oposisi biner, sehingga unsur-unsur yang
dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur lain. Selain itu, prosedur
yang dilakukan oleh Derrida yaitu memeriksa unsur-unsur kecil dalam momen yang
tidak bisa dipastikan. Penggantian yang hampir tidak dipersepsi dari pengamatan
pembaca yang tidak dapat menemukan ambiguitas sistem dalam kesatuan makna teks.
Namun, Derrida berusaha menghancurkan sistem itu (Madan Sarup, 2008: 74). Dekonstruksi juga merupakan salah satu cara membaca teks sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata
ditunjukkan terhadap tulisan. Akan tetapi, semua
pernyataan cultural dari keseluruhan sebuah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat,
ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian
tidak terbatas hanya pada melibatkan
diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan. Melainkan pada kekuatan-kekuatan
lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.
Terkait pengertian
yang sering keliru. Banyak orang mengartikan dekonstruksi sebagai pembongkaran
sesuatu yang sudah mapan. Ini memang tidak dapat dikatakan salah sepenuhnya. Walaupun
demikian tidak dapat dikatakan benar juga, sebab
strategi dekonstruksi dalam membongkar suatu teks
bukan hanya menciptakan makna baru. Jika paham semiotik logo sentris selalu
mengandalkan makna pada logika, pada kata yang diucapkan, pada suara pikiran,
dan pada kata Tuhan, dan kebenaran ditentukan oleh oleh sesuatu yang hadir,
dekonstruksi tidak demikian. Derrida justru mengarah ke neologisme dalam
pemahaman fenomena. Fenomena sastra dan budaya dipahami melalui konsef difference, yang berbeda dengan istilah difference. Difference sekaligus
tercakup tiga pengertian, yaitu: ‘to
differ’ (berbeda), ‘differe’ berarti
tersebar dan terserak , dan ‘to defer’ (menunda) (Endraswara, 2013: 172)
1.
Difer adalah
konsep ruang, maksudnya tanda muncul dari sistem perbedaan yang mengambil
tempat dalam system itu. Differ
bersifat temporal, maksudnya signiffier memaksakan
penundaan kehadiran tanpa kesudahan (Salden dalam Endraswara, 2013: 172)
2.
Difference adalah menjauhnya penampilan
sebagai sumber asal, sebagai keberadaan yang hadir, sebagai produksi, sebagai
konsep kunci atau kata kunci. Dengan kata lain dekonstruksi tidak menaawarkan
pusat baru, tidak menawarkan apa-apa. Iya mencoba melacak jejak operasi difference yang bekerja diam-diam dalam
logosentrisme, teks-teks logosetris.
3.
Titik aporia
adalah titik yang menimbulkan alusi, yaitu tatkala ditemukan sebuah unit
teks-teks lain, atau peristiwa-peristiwa yang senada dengan yang dihadapi.
Caranya dengan mensejajarkan atau mempertentangkan dengan unit wacana yang
dihadapi. Hasil akhir akan ditemui dua hal, yaitu restrosfektif dan prosfektif.
Tujuan yang ingin dicapai pada teori
dekontruksi ini adalah penyusunan kembali pada tatanan dan tataran yang lebih
signifan sesuai dengan hakikat objek,
sehingga aspek- aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Bertolak
pada konsep De Saussure tentang
penanda dan petanda, dekonstruksi memandang relasi atau hubungan antara penanda
dan petanda tidak bersifat statis. Akan tetapi dapat ‘ditunda’ untuk memperoleh
hubungan yang baru. Makna suatu tanda diperoleh tidak berdasarkan pembedaan
antar tanda,
melainkan dapat berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda (dinamis) melalui difference.
Makna yang senantiasa ditangguhkan tidak pernah hadir secara lengkap, baik
senantiasa tidak ada maupun ada. Walaupun kebenaran selalu harus dan mampu
ditangguhkan dan dibedakan secara terus menerus, sebab kebenaran itu sendiri
pada dasarnya tidak ada. Menurut Derrida, yang bisa kita temukan dan ketahui
adalah jejak-jejak dari kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenaran pada dirinya
sendiri. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak (trace). Sementara
iterabilitas adalah kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di
dalam konteks yang berbeda-beda. Tugas
dekonstruksi, disatu pihak mengungkap problematika wacana-wacana yang
dipusatkan, walaupun teori dekontruksi membongkar metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual. Tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya
penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang
mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.
Menurut Nurhayati (2012: 65)
Inti teori dekonstruksi adalah cara membaca yang dimulai dengan penelusuran secara
herarki kemudian diteruskan dengan membailikkannya, dan akhirnya menolak
pernyataan hierarki. Misalnya pemaknaan terhadap novel Belenggu karya Arminj Pane dan Siti
Nurbaya Karya Marah Rusli. Pada Novel Belenggu
terdapat pemaknaan yang menggambarkan kemenangan kaum pria terhadap wanita.
Kegagalan rumah tangga Tono dan Tini disebabkan Tini egois dan mau menang
sendiri, lebih suka aktif di luar rumah, dan enggan melayani suami. Pemaknaan
tersebut menjadi terbalik jika diterapkan teori dekonstruksi. Tokoh yang
dimenangkan menjadi wanita (Tini). Tini menang dalam memperjuangkan kaumnya
dengan mengorbankan kepentingan sendiri. Bentuk penolakan Tini dan aktifnya
diluar rumah dapat dijadikan lambang terhadap pria (Tono). Di sinilah
ditonjolkan kemauan bertindak sendiri dan tidak terikat oleh dominasi suami dan
perkawinan.
Sementara itu, pada novel Siti Nurbaya, tokoh Samsul Bahri
dianggap sebagai pemuda hero (tokoh putih), sebaliknya Datuk Maringgih dianggap
sebgai tokoh antagonis yang jahat dan menyebabkan cinta Siti Nurbaya dan
Samsulbahri kandas, jika diterapkan dekonstruksi, Samsul Bahri dapat dilihat
sebagai pemuda yang cengeng (bunuh diri), memiliki nasionalisme yang sempit
kerena lebih memihak penjajah, dan mengganggu rumah tangga orang. Sebaliknya
Datuk Maringgih dianggap sebgai pahlawan yang memimpin rakyat Sumatera Barat
untuk menentang Penjajahan Belanda. jika dilihat dari segi sejarah, perbuatan
Samsulbahri merupakan perbuatan penghianatan bangsa, sedangkan Datuk Maringgih
merupakan tokoh penggerak pemberontakan terhadap penjajahan Belanda.
2.2 Dekonstruksi
Untuk Studi Sastra
Untuk diterapakan ke dalam
studi sastra, dekonstruksi harus disertai oleh beberapa catatan berikut:
a.
Dekonstruksi
bukanlah teori, tidak menawwarkan teori
yang lebih baik mengenai kebeneran; melainkan bekerja dalam dan sekitar
kerangka diskursif yang sudah ada, tidak menawarkan dasar baru (Culler dalam
Jabrohim, 2014: 234)
b.
Dekonstruksinisme
merupakan faham filasafat yang menyeluruh mengenai aktifitas interpretasi,
bukan paham yang khusus mengenai sastra; meskipun di dalamnya teori sastra
memainkan peran penting karena (a) teoeri sastara bersifat konperhensif
sehingga memungkinnya melahirkan teori yang luarbiasa, (b) teori sastra melakukan
eksplorasi ke batas-batas pemahaman mengundang dan mempropokasikan
diskusi-diskusi teoretik tentang pertanyaan-pertanyaan yang paling general
mengenai rasionalitas, refleksi diri, dan signifikansi. (c) para teoritisi
sastra secara khusus reseptif terhadap perkembangan teoretik yang baru dalam
lapangan-lapangan yang lain, karena mereka kurang punya komitmen disipliner
yang khusu di bidang-bidang itu (culler dalam Jabrohim, 2014: 234).
2.3 Relevansi dekonstruksi bagi
penelitian sastra
a.
Terdapat keterkaitan dengan
konsep kritik, termasukkonsep kesastraan itu sendiri. Relevansi ini terjadi
karena ada keterkaitan antara sastra dan filsafat; filsafat dapat dipandang
sebagai perkembangan dari sastra, filsafat adalah sastra yang generalisasikan.
b.
Sebagai sumber tema; sebagai
contoh adalah tema kehadiran/ketakhadiran, sentral/marginal, tulisan/tuturan.
c.
Sebagai contoh strategi
pembacaan, yaitu terletak pada keberanian peneliti sastra untuk sampai pada
tipe-tipe struktur, membangun oposisi simetrik dan hirarkis, memperhatikan
term-term yangt mengandung argumen bertentangan, membuat tertarik pada suatu
yang menentang interpretatif otoratif, mencari gerak teks terdahulu yang akan
ditolak oleh teks yang lahir kemudian, memperhatikan elemen-elemen yang
dianggap marginal yang dikeluarkan oleh teks itu sendiri maupun interpertasi
mengenainya.
d.
Sebagai gudang cadangan
mengenai kodrat dan tujuan kritik sastra itu sendiri dan akan membuat kritik
sastra dapat mencairkan segala kemutlakan tentang makna yang sudah ada (given), makna pengalaman pembaca dan
lainnya yang terdapat dalam strukturalisme.
SIMPULAN
Tujuan
yang ingin dicapai pada teori dekontruksi ini adalah penyusunan kembali pada
tatanan dan tataran yang lebih signifikan sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-
aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Selain itu, teori dekonstruksi juga sebagai
persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan
dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh
perhatian. Tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidak berhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut (pasti)
serta ingin membongkar makna yang tersembunyi dan kelemahan serta ketimpangan di balik teks-teks.
Catatan penting dari penelitian dekontruksi
adalah makna teks sastra sebenarnya bias berubah-ubah. Makna sebuah teks bias
bermacam-macam dan tidak memusat. Teks sastra adalah cipta yang mengandung
polisemi. Yang lebih penting lagi, pemaknaan seccara dekonstruktif boleh kea
rah gerakan futuristic atau avan grade.
Para peneliti dituntut untuk tidak kaku dalam memahami sebuah teks dalam karya
sastra, tetapi menyesuaikan makna sebuah teks tersebut sesuai dengan
zamannya.
Casinos in Las Vegas (NV) - Mapyro
ReplyDeleteCasino - 목포 출장안마 Best Hotel Casinos Near 전라북도 출장마사지 Vegas. 의왕 출장안마 Find 제주 출장마사지 your 경산 출장마사지 ideal spot for all your fun, entertainment and entertainment needs. Plan your stay today.