KAJIAN ONTOLOGIS (FILSAFAT ILMU)

ONTOLOGIS (FILSAFAT ILMU)
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Filsafat adalah pikiran yang ada dalam diri manusia yang mendorong manusia untuk mencari sebuah kebenaran yang dapat berterima oleh insting logika manusia dan menjadikan manusia belajar menjadi bijaksana (Solihin, 2007: ), menurut Salam (2005: 46) filsafat dijabarkan dari perkataan ‘philosophia’ yang berarti cinta akan kebijaksanaan ( love of wisdon), sementara Mustofa (2009: 9) mengungkapkan  pengertian filsafat itu ditinjau dari dua segi yaitu semantik yang ditinjau dari asal kata yaitu philosophia ‘cinta pengetahuan’ yang berasa dari bahasa yunani dan praktis yaitu hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan sesuatu kebenarannya dengan sedalam-dalamnya. Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai 1.) pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yg ada, sebabnya, asalnya, hukumnya; 2.) teori yg mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; 3.) ilmu yg berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistomologi;   dan 4.) kumpulan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang dimiliki orang atau mas- yarakat, falsafah ( KBBI, 2008: 410). Namun, dari semua pengertian filsafat di atas tidak dapat ditemukan secara mutlak pengertian dari filsafat itu sendiri, dengan kata lain dapat di tafsirkan bahwa filsafat merupakan ilmu yang selalu mencari kebenaran akan segala bentuk pertanyaan yang akan selalu berujung pada tanda tanya itu sendiri.
Filsafat dalam kajian ilmu pengetahuan sebagai pemicu (trigger) rasa ingin tahu manusia untuk menemukan kebenaran atas problema-problema yang sedang dialami. Filsafat pada dasarnya merupakan filosofi atau mitos-mitos yang mengundang rasa ingin tahu manusia yang mengakibatkan timbul pemikiran-pemikiran yang bertujuan mencari hakikat akan kebenaran.
Manusia adalah makhluk terbatas tetapi memiliki kelebihan berupa akal. Berawal dari akalnya, manusia mulai menyusun rasa keheranan terhadap segala hal yang diterima pancaindra. Rasa heran akan memunculkan kesangsian atau keragu-raguan. Apakah pancaindra tidak membohonginya? Dari sinilah muncul kesadaran akan betapa kecilnya, betapa lemahnya, dan betapa terbatasnya makhluk yang bernama manusia. Ketiga hal inilah yang mendorong manusia untuk memulai berpikir. Dan secara tidak sadar, manusia sudah masuk ke dunia filsafat.
Manusia yang berbicara tentang hakikat kejadian alam semesta sebagai ilmu dalam mengkaji realitas alam sebagai objek yang sangat aksidental  dalam  suatu kajian filsafat. Fenomena  alam yang telah terjadi atau sedang terjadi dalam fenomena sosial emperik untuk mendapatkan hakikat kebenaran yang sebenarnya. Manusia yang dengan akal pikirannya dan pancaindranya akan berfungsi apabila dapat memikirkan, memahami, meilhat, mendengar dari segala bentuk fenomena alam secara metafisik atau empirik untuk dipahami dan dikaji, karena dengan pemahaman itulah, hasilnya akan dirasakan oleh manusia itu  sendiri.
Hakikat yang dikaji dalam ontologi fiilsafat mendasari tentang keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta baik berupa bentuk yang ada di dalamnya realitas, baik secara transidental melaui aksidentalnya dari Tuhan yang merupakan ciptaannya, dengan segala pluralitasnya yang berbentuk (alam dunia ini) atau yang tidak terbentuk (abstrak) untuk dipahami dan diketahui ekstensinya, ataupun secara ideal dan empirik.
Oleh karena itu, filsafat sebagai kajian ontologi yang mengkaji tentang ide-ide sebagai landasan pemikiran tentang adanya Tuhan sebagai pengatur hidup yang ada pada diri manusia dan segala isi yang ada pada alam semesta. Sehingga pertanyaan-pertanyaan yang ada pada manusia bisa terjawab  apabila kembali kepada pemikiran tentang adanya Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Adanya ilmu penghetahuan yang terdapat pada manuisa karna adanya Tuhan yang menciptakan manusia dengan kelebihan yang telah diberikan.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya maka permasalahan makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.        Bagaimanakah kajian ontologi dalam ilmu filsafat?
2.        Aliran-aliran apa saja yang ada dalam ontologi filsafat?

1.3    Tujuan Penulisan
 Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.  Untuk mengetahui kajian ontologi dalam ilmu filsafat?
2.  Untuk mengetahui Aliran-aliran yang ada dalam ontologi filsafat?

1.4     Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah dapat menambah khazanah teoretis baik bagi penulis maupun para pembaca khususnya berkaitan dengan kajian ontologi dalam ilmu filsafat tentang hakikat kebenaran adanya Tuhan.

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ontologi

Ontologi secara etimologi (bahasa) berasal dari kata ontos = sesuatu yang berwujud, sedangkan logos = teori tentang wujud hakikat yang ada. Ontologi secara istilah berarti hakikat yang dikaji dan hakikat realitas yang ada tentang kebenaran atau juga hakikat segala sesuatu yang ada yang memiliki sifat universal atau hakikat, realitas yang di dalamnya mengandung pluralism (kemajmukan) untuk memahami adanya ekstensi.
Hakikat yang dimaksud di sini adalah suatu bentuk yang ada di dalamnya realitasnya, baik secara transidental melalui aksidentalnya dari Tuhan yang merupakan ciptaannya, dengan segala pluritasnya yang berbentuk (alam dunia ini) atau yang tidak terbentuk (abstrak) untuk dipahami dan diketahui ekstensinya, ataupun secara ideal dan empirik.
a.      Ontologi pada dataran transeden
Ontologi pada dataran transeden adalah suatu hakikat proses adanya kebenaran berdasarkan nilai-nilai teologis. Alam semesta adalah bentuk dari eksidental Tuhan yang merupakan ciptanya sebagai bentuk realitas Tuhan ada. Alam semesta dan segala isinya seperti samudra dan sungai; pegunungan, dan dataran rendah; pepohonan; dan lain-lain.
b.      Ontologi pada dataran ideal
Ontologi pada dataran oideal adalah hakikat proses adanya kebenaran melalui proses berpikir, baik dalam bentuk gagasan, ide, dan konsep.
Idealisme adalah dokterin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (roh). Istilah ini di ambil dari ide, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Idealisme yang secara umum selalu berhubungan dengan rasionalisme adalah maszhab epistimologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan apriori atau dedukatif dapat diperoleh oleh manusia dan akalnya. Lawan rasionalisme dalam epistimologi ialah emperisme yang mengatakan bahwa pengetahuan bukan diperoleh dari rasio atau akal, melainkan melalui pengalaman empiris. Orang-orang empirisme amat sulit menerima paham bahwa semua realitas adalah mental atau bergantung pada jiwa karena pandangan itu melibatkan dogma metafisik.
Rasionalisme merupakan bentuk pada tataran ideal karena rasionalisme adalah suatu pemahaman manusia dalam berpikir secara logis, diterima oleh akal pikiran. Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat, terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan emperisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dari bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal.
Ekstensialisme menolak tentang aliran materialisme, ia mengatakan bahawa cara berada manusia dan benda lain, tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; dan mengalami beradanya di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti dengan yang dihadapinya itu, manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu di antaranya ialah nmengerti bahwa hidupnya mempunyai arti.

c.       Ontologi pada dataran empiris
Ontologi pada dataran empiris adalah hakikat proses adanya kebenaran melalui pancaindra. Ontologi pada dataran ini memunculkan aliran empirisme, realisme, positivisme, dan materialismee.
1.      Emperisme adalah suatu dokterin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh penegetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani emperia yang berarti coba-coba atau pengalaman. Untuk memahami isi dokterin ini, perlu dipahami lebih dahulu dua ciri pokok emperisme, yaitu teori tentang makna dan teori pengetahuan.
Pertama, Teori tentang makna pada aliran emperisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal usul ide atau konsep pada abad pertengahan. Teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil es in intellectual quod non prius fuirit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita, selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya, pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya, An Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran ide bawaan (Innate ide) pada orang-orang rasionalis. Jiwa ini tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap ide yang diperolah mestilah datang melalui pengalaman.
Kedua, teori Tentang Pengetahuan, dapat diringkas sebagai berikut. Menurut kaum rasionalis, ada beberapa kebenaran umum seperti “setiap kejadian tentu mempunyai sebab, “dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran tersebut adalah kebenaran yang diperoleh melalui observasi. Tokoh emperisme adalah Jhon Locke seorang filosofi ingris lahir di wrington beragama Kristen.
2.      Positivisme adalah aliran yang berpangkal dari fakta yang positif yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaran filsafat dan ilmu penegtahuan. Tokoh aliran ini adalah Aguste Comte. Ia berpendapat bahwa indra itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
3.      Materialisme ditokohi oleh Ludwig, realitas seluruhnya adalah ,materi belaka. Menurutnya, hanya alamlah yang ada, manusia adalah alamiah juga. Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun modern, manusia pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang, orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti kayu dan batu. Akan tetapi menurut bentuknya manusia memang  lebih unggul ketimbang sapi, batu, pohon, tetapi pada ekstensinya, manusia sama saja dengan sapi. Dilihat dari segi keberadaannya.
2.2  Landasan Ontologi
Landasan ontologi penelaahan ilmu artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan di dasarkan atas sikap dan pendirian filosofis, yang secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua mainstream, aliran besar yang sangat memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, yakni materialisme dan spiritualisme. Materialismee dalam landasan ontologi adalah suatu pandangan metafisik yang menganggap bahwa tidak ada hal yang nyata selain materi,
Dalam pemahaman bahwa ontologi dipahami sebagai teori dan paradigma dalam memahami kebanaran maka dalam studinya, ontologi harus pula dipahami sebagai berikut.
1.      Yang ADA (being)
Istilah “ada” boleh dikatakan senantiasa menunjukkan suatu ciri yang melekat pada apa saja. Sesuatu tersebut bias Tuhan, alam, ataupun manusia. Sesuatu yang ada tersebut terdiri atas beberapa unsur, yakni subjek yang menciptakan, objek yang diciptakan, objek dengan ruang serta waktu dalam proses penciptaan.
2.      Yang nyata (relity)
Yang nyata dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang benar-benar ada.
3.      Essensi dan eksistensi (essence and existence)
Essensi dipahami sebagai kekuatan spiritual.
4.      Hakikat plutaristik (emosional, berpikir, keyakinan).


2.3 Ontologi Ilmu Dalam Konteks Filsafat Ilmu
1.      Realitas empirik
Realitas emperik adalah sebagai berikut:
a)      Gejala alamiah yang menghasilkan ilmu-ilmu eksak;
b)      Gejala social yang menghasilkan ilmu-ilmu kemasyarakatan;
c)      Gejala budaya yang menghasilkan ilmu-ilmu humaniora yang sifatnya ideal (pemikiran) yang sifatnya emperik (pancaindra).
2.      Objek kajian ilmu
Objek kajian ilmu tersebut adalah objek kajian ilmu dan setiap ilmu yang telah dipaparkan di atas.
3.      Masalah yang akan diteliti
Masalah yang memiliki pengertian kesenjangan antara das sollen dan das sain.
Kalsifikasi ontologi di antaranya adalah;
1.      Ontologi pada dataran transiden, yakni hakikat proses adanya kebenaran berdasarkan nilai-nilai teologis.
2.      Ontologi pada dataran ideal, yakni hakikat proses adanya kebenaran melalui proses berfikir, baik dalam bentuk gagasan, ide, konsep. Ontologi pada dataran ini memunculkan aliran idealisme, rasionalisme, ekstensialisme.
a.       Idealisme adalah dokterin yang mengajarakan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (roh).
b.      Rasionalisme adalah berfikir sehingga dengan pemahaman itu tidak terikat oleh dogma-dogma agama yang bersidat mistik.
c.       Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya “ex”, keluar dan sistere artinya berdiri, jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
3.      Ontologi pada dataran emperis, yakni hakikat proses adanya kebenaran melalui pancaindra. Ontologi pada dataran itu meunculkan aliran empirisme, naturalism, realisme, positivisme, dan materialismee.
a.       Emperisme adalah salah satu pemahaman dalam menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
b.      Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari pakta yang positif sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan.
c.       Materialisme adalah salah satu pemahaman yang memandang bahwa realiatas seluruhnya adalah materi belaka.
2.4 Analisis Subjektif
Analisis subjektif yang diperoleh mengenai ontologi, yang dapat dipahami bahwasanya suatu kebenaran dapat diukur melalui dataran transidental, dataran ideal, ataupun dataran empiris. Ketiga dataran itu merupakan suatu hakikat proses adanya kebenaran. Jika dalam mencapai kebenaran, dataran itu tidak digunakan, suatu kebenaran akan bersifat subjektif, hanya bias direkayasa tanpa disadari oleh cara berpikir secara teologis (dalam transidental), ideal, atau empiris.
Dalam mencapai suatu kebenaran, baik kebenaran relatif atau kebenaran mutlak, diperlukan spenelaahan terlibih dahulu apa yang menjadi objeknya dan proses apa yang harus digunakan dalam menganalogikan suatu kebenaran. Proses yang dimaksud adalah suatu cara dalam menggunakan metode-metode sehingga sampai pada tahapan kebenaran yang dapat diterima oleh hati nurani dalam bentuk keyakinan yang mendalam, identik pada suatu hal yang metafisik.
Secara ontologi, ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia.. pada datarn transidental yang berkaitan pada agama maka suatu kebenaran transeden harus di dasari pada pengetahuan.


BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan dari pemaparan tentang ontologi filasat yang ada pada pembahasan dapat disimpulkan bahawa:
1.      Ontologi merupakan hakikat suatu bentuk yang ada di dalam realitasnya, baik secara transidental melalui aksidentalnya dari Tuhan yang merupakan ciptaannya, dengan segala pluritasnya yang berbentuk (alam dunia ini) atau yang tidak terbentuk (abstrak) untuk dipahami dan diketahui ekstensinya, aatupun secara ideal dan empirik.
2.      Ontologi pada dataran ideal, yakni hakikat proses adanya kebenaran melalui proses berfikir, baik dalam bentuk gagasan, ide, konsep. Ontologi pada dataran ini memunculkan aliran idealisme, rasionalisme, ekstensialisme.
3.      Ontologi pada dataran emperis, yakni hakikat proses adanya kebenaran melalui pancaindra. Ontologi pada dataran itu meunculkan aliran empirisme, naturalism, realisme, positivisme, dan materialisme.
3.2 Saran
Berdasarkan penjelasan dari isi makalah sederhana ini yang membahas tentang “ontologi dalam kajian filsat” tidak terlepas dari rangkaian kalimat dan ejaan penulisannya. Kami menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diiharapkan oleh pembaca dan pada khususnya dosen pengampu mata kuiah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kepada para pembaca atau mahasiswa serta dosen pengampu kritik dan saran yang bersifat konstruktif dalam terselesainya makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, H.A.  2009. Filsafat Islam. Bandung : CV Pustaka Setia.
Salam, Burhanuddin. 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Solihin, M. 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

http://blog.uin-malang.ac.id/nita/2011/01/25/ontologi-dalam-filsafat-ilmu/

Comments

Popular posts from this blog

PENDEKATAN EKSPRESIF (ANALISIS PUISI "HANYA SATU" KARYA AMIR HAMZAH)

SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT

TEORI DEKONSTRUKSI (JACQUES DERRIDA)