Teori Behavioristik dan Aplikasinya terhadap Pembelajaran
Teori Behavioristik dan Aplikasinya terhadap Pembelajaran
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Belajar merupakan kegiatan seseorang untuk melakukan aktifitas
belajar. Menurut Piaget belajar
adalah aktifitas anak bila ia berinteraksi
dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Menurut
pandangan psikologi behavioristik merupakan akibat adanya interaksi antara
stimulus dan respon. Seseorang yang
telah selesai melakukan proses belajar akan menunjukkan
perubahan perilakunya.
Menurut teori
ini yang penting dalam belajar adalah input yang berupa stimulus dan
output yang berupa respon.
Jika ditinjau dari konsep atau teori, teori behavioristik
ini tentu berbeda dengan teori yang lain. Hal ini dapat kita lihat dalam
pembelajaran sehari-hari dikelas. Ada berbagai asumsi atau pandangan yang
muncul tentang teori behavioristik. Teori behavioristik memandang bahwa belajar
adalah mengubah tingkah laku siswa dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak
mengerti menjadi mengerti, dan tugas guru adalah mengontrol stimulus dan
lingkungan belajar agar perubahan mendekati tujuan yang diinginkan, dan guru
pemberi hadiah siswa yang telah mampu memperlihatkan perubahan bermakna
sedangkan hukuman diberikan kepada siswa yang tidak mampu memperlihatkan
perubahan makna. Oleh karenanya, menurut aliran behaviorisme yang juga
dilatar belakangi oleh rasa ingin tahu kami yang ingin mengetahui lebih lanjut
lagi tentang teori behaviorisme dan diharapkan tidak lagi muncul
asumsi yang keliru tentang pendekatan behaviorisme tersebut, sehingga
pembaca memang benar-benar mengerti apa dan bagimana pendekatan behaviorisme.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun masalah-masalah yang dapat
dirumuskan dari pemaparan di atas yaitu:
1. Apakah yang
dimaksud dengan teori behaviorisme ?
2. Apa saja teori yang termasuk ke
dalam pandangan behaviorisme ?
3. Bagaimanakah penerapan teori
behavioristik terhadap proses belajar?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari rumusan masalah yang telah dibuat adalah :
1. Mengetahui pengertian teori
behaviorisme
2. Mengetahui
teori-teori yang termasuk ke dalam pandangan behaviorisme
3. Mengetahui
penerapan teori behavioristik terhadap proses belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Belajar
Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat
diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan.
Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau
negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang
digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti
dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat
adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap
telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut
teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan
output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus
yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan
respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak
dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa
yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon)
harus dapat diamati dan diukur.
2.2 Tokoh-tokoh Aliran
Behavioristik
1. Teori
Pengkondisian Klasikal dari Pavlov
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan
klasik) adalah proses yang dikemukakan Pavlov
melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov
dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana
gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.
Untuk memahami teori kondisioning klasik secara
menyeluruh perlu dipahami ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis
stimulus tersebut adalah :
a) Stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), yaitu stimulus yang secara otomatis
menghasilkan respon tanpa didahului dengan pembelajaran apapun (contoh: makanan).
b) Stimulus
terkondisi (conditioned stimulus-CS),
yaitu stimulus yang sebelumnya bersifat netral, akhirnya mendatangkan sebuah
respon yang terkondisi setelah diasosiasikan dengan stimulus tidak terkondisi
(contoh : suara bel sebelum makanan datang).
Bertitik tolak
dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu,
perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Kemudian
Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia
menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan
segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.Ia
mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi pipi pada seekor anjing.
Sehingga
kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu
makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan
diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru
makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang
demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya
memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar
pula.
Makanan adalah
rangsangan wajar, sedang sinar merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau
perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan
menimbulkan syarat
(kondisi) untuk
timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut : Refleks Bersyarat atau
Conditioned Respons.
Pavlov
berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid
Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang
ternyata ditemukan banyak
refleks bersyarat yang
timbul tidak disadari manusia. Melalui eksperimen tersebut Pavlov menunjukkan bahwa
belajar dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
Generalisasi,
Deskriminasi, Pelemahan.
Faktor lain yang juga penting dalam teori
belajar pengkondisian klasik Pavlov adalah generalisasi,deskriminasi,dan
pelemahan.
Generalisasi. Dalam
mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur
begitu mendengar suara-suara yang mirip dengan bel, contoh suara peluit
(karena anjing mengeluarkan air liur ketika bel dipasangkan dengan makanan).
Jadi, generalisasi melibatkan
kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli
untuk menghasilkan respon serupa. Contoh, seorang peserta didik merasa gugup
ketika dikritik atas hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran matematika. Ketika
mempersiapkan ujian Fisika, peserta didik tersbut akan merasakan gugup karena
kedua pelajaran sama-sama berupa hitungan. Jadi kegugupan peserta didik
tersebut hasil generalisasi dari melakukan ujian mata pelajaran satu kepada
mata pelajaran lain yang mirip.
Deskriminasi.
Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak
terhadap yang lainnya. Pavlov memberikan makanan kepada anjing hanya setelah
bunyi bel, bukan setelah bunyi yang lain
untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian dikelas yang
berbeda, pesrta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian
bahasa Indonesia dan sejarah karena keduanya merupakan subjek yang berbeda.
Pelemahan (extincition). proses
melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus tak terkondisi.
Pavlov membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan. Akhirnya,
dengan hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mngeluarkan air liur. Contoh,
kritikan guru yang terus menerus pada hasil ujian yang jelek, membuat peserta
didik tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya peserta didik pernah
mendapat nilai ujian yang bagus dan sangat termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning
klasik digunakan untuk mengembangkan sikap yang menguntungkan terhadap peserta
didik untuk termotivasi belajar dan membantu guru untuk melatih kebiasaan
positif peserta
didik.
2.
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike,
belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa
yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau
hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah
reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat
kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak
konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan
teori koneksionisme, koneksi disebut sebagai koneksi saraf yang disebut
sambungan saraf antara stimuli (S) dan respon (R). Agar tercapai hubungan
antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang
tepat sertamelalui percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error)
terlebih dahulu (Slavin, 2000).
Hukum Efek Thorndike
Pada saat yang hampir sama dengan dilakukannya sebuah eksperimen
pengkondisian klasik anjing oleh Ivan Pavlov, E.L. Thorndike (1906) sedang
mempelajari kucing dalam kotak. Thorndike menempatkan kucing yang lapar dalam
sebuah kotak dan meletakkan ikan diluar kotak. Untuk bisa keluar dari kotak,
kucing itu harus mengetahui cara membuka palang di dalam kotak tersebut.
Pertama-tama kucing itu melakukan beberapa respons yang tidak efektif. Dia
mencakar atau menggigit palang. Akhirnya, kucing itu secara tidak sengaja
menginjak pijakan yang membuka palang pintu. Saat kucing dikembalikan ke kotak,
dia melakukan aktivitas acak sampai dia menginjak pijakan itu sekali lagi. Pada
percobaan berikutnya, kucing itu semakin sedikit melakukan gerakan acak, sampai
dia akhirnya bisa langsung menginjak pijakan itu untuk membuka pintu.
Hukum efek (law effect) Thorndike menyatakan bahwa
perilaku yang di ikuti dengan hasil positif akan diperkuat dan bahwa perilaku
yang diikuti hasil negatif akan diperlemah. Pertanyaan utama untuk Thorndike
adalah bagaimana respons stimulus yang benar (S-R) ini menguat dan akhirnya
mengalahkan respons stimulus yang tidak benar. Menurut Thorndike, asosiasi S-R
yang tepat akan diperkuat, dan asosiasi yang tidak tepat akan melemah, karena
konsekuensi dari tindakan organisme. Pandangan Thorndike disebut teori S-R
karena perilaku organisme itu dilakukan sebagai akibat dari hubungan antara
stimulus dan respons. Seperti yang akan kita lihat selanjutnya, pendekatan
Skinner memperluas ide dasar Thorndike ini.
3.
Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan
belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan
respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur.
Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri
seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai
hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah
seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman
empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
4.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga
menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku
bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh
sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan)
dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah
laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
(Bell, Gredler, 1991).
5.
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie
yang utama adalah hukum kontiguiti. yaitu gabungan stimulus-stimulus yang
disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh
gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel
hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar.
Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi
stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar
hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon
bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu
sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat
lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori
ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa
harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru
tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler,
1991).
6.
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang
dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya.
Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah
laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya.
Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena
stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar
stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan
ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang
nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam
memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus
yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan
berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Dari semua pendukung teori
behavioristik, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya. Program-program
pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul, dan
program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan oleh Skinner.
a) Penguatan
(Reinforcement)
Menurut Skinner, untuk memperkuat
perilaku atau menegaskan perilaku diperlukan suatu penguatan (reinforcement).
Ada juga jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan penguatan negative.
b) Penguatan positif
(positive reninforcement)
didasari prinsip bahwa frekuensi
dari suatu respon akan meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang
mengandung penghargaan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat karena
diikuti oleh stimulus menyenangkan. Contoh, peserta didik yang selalu rajin
belajar sehingga mendapat rangking satu akan diberi hadiah sepeda oleh orang
tuanya. Perilaku yang ingin diulang atau ditingkatkan adalah rajin belajar
sehingga menjadi rangking satu dan penguatan positif/stimulus menyenangkan
adalah pemberian sepeda.
c) Penguatan negatif
(negative reinforcement)
didasari prinsip bahwa frekuensi
dari suatu respon akan meningkat karena diikuti dengan suatu stimulus yang
tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan
meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan.
Contoh, peserta didik sering bertanya dan guru menghilangkan/tidak mengkritik
terhadap pertanyaan yang tidak berkenan dihati guru sehingga peserta didik akan
sering bertanya. Jadi, perilaku yang ingin diulangi atau ditingkatkan adalah
sering bertanya dan stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan
adalah kritikan guru sehingga peserta didik tidak malu dan akan sering bertanya
karena guru tidak mengkritik pertanyaan yang tidak berbobot/melenceng.
d) Hukuman
Hukuman (punishmen) yaitu suatu
konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya suatu perilaku. Jadi, perilaku
yang tidak diharapkan akan menurun atau bahkan hilang karena diberikan suatu
stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik yang berperilaku
mencontek akan diberikan sanksi, yaitu jawabannya tidak diperiksa dan nilainya
0 (stimulus yang tidak menyenangkan/hukuman). Perilaku yang ingin dihilangkan
adalah perilaku mencontek dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus
yang tidak menyenangkan atau hukuman).
Perbedaan antara penguatan negatif
dan hukuman terletak pada perilaku yang ditimbulkan. Pada penguatan negatif,
menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan (kritik) untuk meningkatkan
perilaku yang diharapkan (sering bertanya). Pada hukuman, pemberian stimulus
yang tidak menyenangkan nilai 0 untuk menghilangkan perilaku yang tidak
diharapkan (perilaku mencontek).
2.3 Analisis Tentang Teori
Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses
perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment
menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih
menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan
menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki,
dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para
pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program
pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan
program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respon serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang
sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda
tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran
atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori
ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu
membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta
didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang
berpengaruh yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak
sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang
tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa
yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement)
cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses
belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan
Guthrie, yaitu:
1.
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara.
2.
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi
bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3.
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain
(meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain,
hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala
lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat
negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak
pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul
berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,
seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika
sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi
(bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya
bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif
menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respon.
2.4 Aplikasi Teori
Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau
siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping)
dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini
semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik.
Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal
ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang
paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan
cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau
hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)
ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang
sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap
sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran
dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus
dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa
kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan
telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan
sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik
adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar
harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”,
yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada
buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali
isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi
menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan tes tulis. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal
ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar
dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya
dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi
pada kemampuan siswa secara individual.
- Menyikapi Perilaku
yang Sulit di Kelas
- Mengurangi dan menghilangkan perilaku yang tidak
diinginkan
- Jangan memberikan penguatan pada perilaku yang tidak
diinginkan
- Berikan isyarat pada para siswa ketika anda melihat
mereka berperilaku tidak sesuai
- Doronglah dan beri penguatan terhadap perilaku yang
berlawanan dengan perilaku yang tidak diinginkan
- Jelaskan baik perilaku yang tepat maupun tidak tepat,
juga konsekuensi-konsekuensinya, dengan kata-kata yang jelas dan
eksplisit.
- Tekankan bahwa perilakulah, dan bukan siswa, yang tidak
diinginkan.
- Bantulah siswa memahami mengapa perilaku tertentu tidak
dapat diterima.
- Ketika perilaku yang tidak
patut terus berulang kendati telah mengerahkan segenap usaha untuk
memperbaikinya, carilah nasehat ahli.
- Prosedur-prosedur pengembangan
tingkah laku baru
Di samping penggunaan reinforcement
untuk memperkuat tingkah laku, ada dua metode lain yang penting untuk
mengembangkan pola tingkah laku baru yakni shaping dan modelling.
a)
Shaping
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah urutan tingkah laku
yang kompleks, bukan hanya “simple response”. Tingkah laku yang kompleks
ini dapat diajarkan melalui proses “shaping” atau “successive
approximations” (menguatkan komponen-komponen respon final dalam usaha
mengarahkan subyek kepada respon final tersebut), beberapa tingkah laku yang
mendekati respon terminal. Bila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan
dengan memberikan reinforcement pada langkah-langkah menuju
keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik yang disebut shaping. Reinforcement
dan extinction merupakan alat agar terbentuknya tingkah laku operant
baru.
Frazier dalam (Sri Esti,2006: 139) menyampaikan penggunaan shaping
untuk memperbaiki tingkah laku belajar. Ia mengemukakan lima langkah perbaikan
tingkah laku belajar murid antara lain:
·
Datang di kelas pada waktunya.
·
Berpartisipasi dalam belajar dan merespon guru.
·
Menunjukkan hasil-hasil tes dengan baik.
·
Mengerjakan pokerjaan rumah.
·
Penyempurnaan.
b)
Modelling.
Dalam modelling,
seorang individu belajar menyaksikan tingkah laku orang lain sebagai model.
Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modeling atau
imitasi, sehingga kadang-kadang disebut belajar dengan pengajaran langsung.
Pola bahasa, gaya pakaian, dan musik dipelajari dengan mengamati tingkah laku
orang lain. Modelling dapat terjadi, baik dengan “direct
reinforcement” maupun dengan “vicarious reinforcement”. Misalnya,
seseorang yang menjadi idola kita menawarkan produk tertentu di layar TV. Kita
akan merasa senang jika bisa memakai produk serupa.
Sangat mungkin kita
belajar meniru karena di-reinforced untuk melakukannya. Hampir sebagian
besar anak mempunyai pengalaman belajar pertama termasuk reinforcement
langsung dengan meniru model (orang tuanya). Hal yang biasa jika kita mendengar
bahwa anak kita dengan bangga mengatakan, bahwa dia telah mengerjakan
sebagaimana yang telah dikerjakan orang tuanya.
Modelling juga dapat dipakai untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan akademis dan motorik.
Modelling juga dapat dipakai untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan akademis dan motorik.
Clarizio (1981) memberi
contoh bagus tentang bagaimana guru menggunakan modelling untuk
mengembangkan minat murid-murid terhadap literatur bahasa Inggris. la memberi
contoh membaca buku bahasa Inggris kadang-kadang tertawa terbahak-bahak,
tersenyum,mengerutkan dahi dan sebagainya, untuk membangkitkan minat anak
terhadap buku itu. Modelling bisa diterapkan di sekolah dengan mengambil
guru maupun orang lain atau anak lain yang sebaya sebagai model dari suatu
tingkah laku, mungkin pelajaran Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan lain-lain.
Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik dan akademis, misal siswa
diajak ke suatu tempat di mana terdapat sesuatu yang bisa ditiru oleh anak atau
menghadirkan model tersebut ke dalam kelas/sekolah.
- Prosedur-prosedur
Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku
a)
Memperkuat Tingkah Laku Bersaing
Dalam usaha merubah tingkah laku yang tak diinginkan diadakan
penguatan tingkah laku yang diinginkan misalnya dengan kegiatan-kegiatan
kerjasama, membaca dan bekerja di satu meja untuk mengatasi kelakuan-kelakuan
menentang, melamun, dan hilir mudik. Contohnya, sekelompok siswa yang
memperlihatkan tingkah laku yang tidak diinginkan, yaitu menarik rambut,
mengabaikan perintah guru, berkelahi, berjalan sekeliling kelas. Sesudah
menerapkan aturan-aturan kelas kepada siswa, guru melupakan atau mengabaikan
tingkah laku siswa yang mengacau dan memuji tingkah laku siswa yang memberi
kesempatan guru untuk mengajar. Dalam beberapa waktu, social reinforcement
untuk tingkah laku yang tepat mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan.
b) Ekstinksi
Ekstinksi ialah proses di mana suatu operant yang telah terbentuk
tidak mendapat reinforcement lagi. Ekstinksi dilakukan dengan membuat/meniadakan
peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstinksi dapat dipakai bersama-sama
dengan metode lain seperti “modelling dan social reinforcement”.
Misalnya, Ana salah seorang siswi kelas tiga yang selalu mengacungkan tangan
ketika guru meminta para siswa untuk menjawab pertanyaan. Tetapi guru tidak
memberikan perhatian pada Ana yang ingin menjawab pertanyaan gurunya tersebut.
Suatu ketika Ana tidak mau lagi mengacungkan tangan ketika guru meminta para
siswa untuk menjawab pertanyannya meskipun ia bisa menjawabnya.
Ekstinksi berlangsung terutama jika reinforcement adalah
perhatian. Apabila murid memperhatikan ke sana ke mari, maka perubahan
interaksi guru akan menghentikan tingkah laku murid tersebut.
c)
Satiasi
Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan
perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh: seorang
ayah yang memergoki anak kecilnya merokok menyuruh anak merokok sampai habis
satu pak sehingga anak itu bosan.
d) Perubahan Lingkungan
Stimuli
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi
stimuli yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika suatu tugas yang sulit
mengecewakan murid, maka guru dapat mengganti dengan tugas yang kurang begitu
sulit. Jika di kelas ada dua orang murid yang melamun, guru dapat menghampiri
atau duduk di dekat mereka.
e)
Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya diterapkan di
kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak
diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement.
Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan reward
menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid. Bukti menunjukkan, bahwa
hukuman atas kelakuan murid yang tak pantas lebih efektif daripada tidak
menghukum. Ada dua bentuk hukuman:
·
Pemberian stimulus derita, misalnya: bentakan, cemoohan, atau
ancaman.
·
Pembatalan perlakuan positif, misalnya: mengambil kembali suatu
mainan atau mencegah anak untuk bermain-main bersama teman-temannya.
2.5 Kelebihan dan Kekurangan Teori
Behavioristik
1. Kelebihan Teori
Behavioristik
Kelebihan teori behaviorisme adalah sebagai
berikut:
a) Teori ini cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk
penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
b) Membiasakan
guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar
2. Kelemahan Teori
Behavioristik
Kelemahan teori
behaviorisme adalah sebagai berikut:
a) Pembelajaran
siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan
hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
b) Murid hanya
mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang
didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.
Penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa (teori
skinner) baik hukuman verbal maupun fisik seperti kata-kata kasar,
ejekan, jeweran yang justru berakibat buruk pada siswa.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Bahwa
behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur,
diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan
terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif
terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan
dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan
menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Teori belajar
behavioristik menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat
interaksi antara stimulus dan respon. Belajar merupakan suatu proses perubahan
tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan tingkah
lakunya.
DAFTAR PUSTAKA
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar
dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu
Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud.
Hadi, Ahmad. 2013. Teori Belajar Behavioristik.
dalam http://nudisaku.blogspot.com
Haryanto. 2010. Teori Belajar Behaviorisme. dalam
http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme.
Ormrod, Jeanne Ellis . 2012 . Psikologi
Pendidikan . United States of America : Pearson Education.
Pateda, Mansoer, Aspek-aspek Psikolinguistik, 1990, Nusa Indah.
Flores.
Slavin, Robert E . 2008 . Psikologi Pendidikan :
Teori dan Praktik . Jakarta : PT.Indeks.
Suryabrata, Sumardi.1998. Psikologi pendidikan. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta
Theoryabs@well.com
Theoryabs@well.com
Suharnan, 2005. Psikologi Kognitif. Srikandi. Surabaya
Comments
Post a Comment