Filsafat dan Bahasa (Linguistik Sebagai Ilmu)

Filsafat dan Bahasa
(Linguistik Sebagai Ilmu)

PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang

Filsafat dan bahasa merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu dan saling melengkapi antara satu sama lain. Dalam filsafat dan bahasa terjadi simbiosis mutualisme. Filsafat membantu mengembangkan dan memperluas kajian tentang bahasa, dan bahasa menjadi sarana komunikasi dalam menyampaikan gagasan-gagasan tentang kebenaran yang dilahirkan filsafat.  
Pada hakikatnya bahasa adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Secara sengaja atau tidak, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana berkomunikasi dan berinteraksi dalam setiap ranah kehidupan. Tanpa bahasa, kehidupan manusia akan menjadi lumpuh total, karena bahasa diperlukan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan antara seseorang dengan yang lainnya, dengan kata lain, manusia tidak dapat hidup tanpa menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berkomunikasi sebagai makhluk sosial.
Kemudian dalam kaitannya dengan ilmu linguistik, bahasa dikaji, diteliti dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan manusia sebagai makhluk pengguna bahasa, karena pada hakikatnya bahasa itu dinamis dan selalu berkembang dari masa ke masa sesuai dengan kebutuhan manusia. Perkembangan tersebut baik dari segi fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan lainnya sesuai       dengan kajian linguistik.
Di satu sisi, bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik. Akan tetapi, perhatian filsafat terhadap dunia bahasa belum pernah begitu luas, umum dan mendalam seperti sekarang ini. Dapat dikatakan, perhatian filsafat terhadap bahasa sekarang ini sama agungnya dengan “being” (yang ada) dalam filsafat klasik dulu. Pada keduanya ada kemiripan , konsep being dan bahasa sama-sama memilki universalitas. Perbedaannya terletak pada variasi sudut pandang.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam makalah ini kami rumuskan masalah  sebagai berikut:
a.       Bagaimanakah hubungan antara filsafat dan bahasa?
b.      Bagaimanakah bentuk linguistik sebagai ilmu?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui hubungan antara filsafat dan bahasa.
b.      Untuk mengetahui bentuk linguistik sebagai ilmu.

1.4. Manfaat penulisan
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah dapat menambah khazanah teoretis baik bagi penulis maupun para pembaca khususnya berkaitan dengan “Filsafat dan Bahasa (Linguistik Sebagi Ilmu)” sehingga para pembaca dapat mengetahui tentang Filsafat dan Bahasa (Linguistik Sebagai Ilmu)

PEMBAHASAN

2.1 Filsafat Ilmu
Kaitan filsafat dan ilmu dapat dilihat dari kelahiran keduanya, yaitu sebagai hasil proses kerja akal budi yang mewujud dalam pertanyaan. Karena filsafat itu memberi jawaban atas pertanyaan  yang bersifat mendasar, dibandingkan dengan ilmu, maka bisa dikatakan filsafat lahir lebih dahulu dari ilmu. C.I. Lewis mengatakan antara lain “pada awalnya filsafat mencakupi keseluruhan wilayah belajar segala sesuatu yang derajatnya lebih tinggi dari membaca, menulis, dan matematika. Tetapi, pada suatu saat dapat dikatakan “filsafat adalah induknya ilmu”Ilmu yang semula bernaung di bawah filsafat (filsof Aristoteles, bahkan Plato telah berbicara tentang kata dan hubungannya dengan makna, tentang perubahan makna, dan sebagainya, jauh mendahului lahirnya ilmu bahasa atau linguistik), kemudian menjadi mandiri dalam zaman moderen. (Sumarsono, 2004: 14-15).
A.    Ilmu Pengetahuan
dalam “Ensiklopedia Indonesia”, kita jumpai pengertian sebagai berikut:
“Ilmu pengetahuan, suatu sistem dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu sistem dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan cara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi)” (Salam, 2012: 8)
Afanasyef, seorang ahli pikir Marxist berkebangsaan Rusia menulis sebagai berikut: “science is the system of man’s knowledge oon nature society and tought. It reflect the world in concept, categories and law, the correctness and truth of which are verified by practical experience”. (Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dalam konsep-konsep, kategori-kategori dan hukum-hukum yang ketepatannya dan kebenaran diuji dengan pengalamn praktis). (Salam, 2012: 10)
Kata “ilmu” merupakan terjemahan dari kata “science”, yang secara etimologis berasal dari kata latin “scinre”, artinya “to know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. (Salam, 2012: 9)
Ilmu adalah suatu objek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, rumus, yang melalui percobaan sistematis dan dilakukan berulang kali, telah teruji kebenarannya; prinsip-prinsip dalil-dalil, rumus-rumus mana dapat diajarkan dan dipelajari (Sondang p. Siagan). Selanjutnya ilmu adalah pengetahuan yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis  oelh setiap orang lain yang mengetahuinya. (Soekanto)  (dalam Saffie, 2010: 25).
Menurut Syafiie (2010: 24) Pengetahuan pada prinsipnya adalah “tahu” yang terdiri dari sebagai berikut:
1.      Tahu mengerjakan (know to do)
2.      Tahu bagaiman (know how)
3.      Tahu mengapa (know why
Dari ketiga prinsip tersebut kemudian lahir berbagai kajian pokok dalam pengetahuan antara lain ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
Ontologi adalah teori tentang ada dan realitas. Meninjau persoalan secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas dengan refleksi rasional serta analisis dan sintesis logika. Jadi yang pertama dalam pengetahuan dikenal dulu mengenai “ada: dan “apa” tentang suatu hal.
Epistimologi adalah bagaimana sesuatu datang dan bagaiman kita mengetahuinya, serta bagaimana kita mengadakannya dengan yang lain, bagaimana adalah pertanyaan yang berkaitan dengan keadaan, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi dimensi ruang dan waktu suatu tersebut. Menurut Fauzan (2014: 40) Epistimologi merupakan teori pengetahuan (theory of knowledge) menyangkut kemampuan manusia dalam mencapai objek. Epistimologi mempelajari sifat-sifat dan cara kerja kemampuan-kemampuan tersebut.
Aksiologi adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas mulai dari klasifikasinya, kemudian dengan melihat tujuan pengetahuan itu sendiri, akhirnya dilihat perkembangannya. Menurut Fauzan (2014: 40) aksiologi merupakan menilaia masalahat-mudarat pembagian ilmu. Dengan demikian, aksiologi tak terpisahkan dari nilai-nilai (value). Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat untuk meningkatkan  kesejahteraan hidup, dengan tanpa mengorbankan martabat manusia dan merusak kelesatarian atau keseimbangan alam.
B.     Hubungan Bahasa dan Filsafat
Kearifan melayu melayu mengatakan:  “Bahasa adalah cermin budaya bangsa, hilang budaya maka hilang bangsa’. Jadi bahasa adalah sine qua non, suatu yang mesti  ada bagi kebudayaan masyarakta manusia. Karena itu siapapun orangnya akan senantiasa melakukan relasi yang erat  dengan bahasa. Seorang filosof, misalnya, ia akan senantiasa  bergantung pada bahasa. Fakta  telah menunjukkan  bahwa  ungkapan pikiran dan hasil-hasil  perenungan filosofis seorang tidak dapat dilakukan  tanpa bahasa. Alat yang utama dari filsafat  adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bisa mengungkapkan hasil-hasil perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Tanpa bantuan bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buah pikirang kefilsafatan.
Louis O.  Katsooff berpendapat bahwa suatu sistem filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa , dan perenungan kefilsafatan  dapat dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa bahasa tersebut. Karena itu fillsafat dan bahasa akan senantiasa beriringan, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama  adalah mencari jawaban atau makna dari seluruh simbol yang menampakkan diri di alam semesta. Bahasa adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia simbol-simbol tersebut. (Hidayat, 2009:31).
2.2 LINGUISTIK SEBAGAI ILMU
A. Teori dari ilmu linguistik
Bahasa yang merupakan ciri khas manusia itu memang merupakan hal yang kompleks dan merupakan objek studi bagi kegiatan ilmu yang bermacam-macam. Hakikat bahasa itu juga dapat bermacam-macam sesuai dengan pandangan ilmuan yang memperlajarinya. Bagi ahli filsafat, bahasa mungkin merupakan alat untuk  berpikir, bagi ahli logika mungkin suatu kalkulus, bagi ahli ilmu jiwa mungkin jendela yang kabur untuk dapat ditembus guna melihat proses berpikir, dan ahli bahasa suatu sistem lambang yang arbitrer (Macky dalam Dardjowidjojo, 1985: 11)

            Menurut Verhaar (1996: 3-6) mendefinisikan ilmu linguistik sebagai berikut:
1.      Mengenai linguistik
“Linguistik” berarti “ilmu bahasa”
Kata linguistik berasal dari kata latin lingua ‘bahasa’. Dalam bahasa-bahasa “roman” (yaitu bahasa-bahasa yang berasal dari bahasa latin) masih ada kata-kata serupa dengan lingua latin itu, yaitu langue dalam bahasa Prancis, dan lingua dalam bahasa Itali. Bahasa inggris memungut Prancis kata yang kini menjadi language. Istilah linguistics dalam bahasa inggris berkaitan dengan kata language itu, seperti dalam bahasa Prancis istilah linguistique berkaitan dengan langage. Dalam bahasa indonesia “linguistik” adalah nama bidang ilmu, dan kata sifatnya adalah “linguistis” atau “linguistik”.
Bagi Perdinan de Saussure, langue adalah salah satu bahasa (misalnya bahasa Prancis, bahasa Inggris, atau bahasa indonesia) sebagai suatu “sistem”. Sebaliknya, langage berarti bahasa sebagai sifat khas makhluk manusia, seperti dalam ucapan “manusia memiliki bahasa, binatang tidak memiliki bahasa”. Parole ‘tuturan’ adalah bahasa sebagaimana dipakai secara konkrit: ‘logat’, ‘ucapan’, ‘perkataan’.
2.      Mengapa Umum
Ilmu linguistik sering disebut “linguitik umum”. Artinya ilmu linguitik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja (seperti bahasa inggris, atau bahasa indonesia), tatapi linguistik itu menyangkut bahasa pada umumnya.  Dengan memakai istilah dari de Saussure, dapat kita merumuskan bahwa ilmu linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage itu, yaitu bahasa pada umumnya.
3.      linguistik sebagai ilmu pengetahuan spesifik
sebagai mana kita ketahui, ada bermacam-macam ilmu pengetahuan, misalnya ilmu pengetahuan hukum, ilmu pasti alam, ilmu psikologi, ilmu sosiologi, dan lain sebagainya. Dalam masing-masing ilmu tersebut, bahasa dapat menjadi “objek” penelitian. Misalnya seorang ahli ilmu psikologi, yang meneliti “kejiwaan” manusia. Sifat-sifat psikologis manusia tercermin, antara lain juga dalam bahasa, misalnya dalam hubungan afektif, atau emosi. Jadi jelas seorang ahli psikologi dapat berurusan dangan bahasa. Namun, ia tidak mutlak harus menjadi seorang ahli linguistik, karenan ahli linguistik berurusan dengan bahasa sebagai bahasa.
4.      Linguistik sebagai ilmu empiris
Ilmu-ilmu seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya, seiring disebut ilmu “empiris”. Artinya, ilmu-ilmu tersebut berdasarkan “fakta” dan “data” yang dapat diuji oleh ahli tertentu dan juga oleh semua ahli lainnya. Demikian pula halnya dengan ilmu linguistik. Dalam ilmu empiris peneliti menjauhkan diri dari “keyakinan” yang tidak berdasarkan fakta. Menurut Kant (dalam Fauzan, 2014: 27) empiris memberikan keputusan yang bersifat sintetis, yang kebenarannya tidak bersifat mutlak.
5.      Objek linguistik
Objek linguistik adalah bahasa. Akan tetapi penegrtian bahasa istilah “bahasa” itu belum tentu jelas. Pendefinisian bahasa yang dibahas sebagai berikut:
Pertama, istilah “bahasa”  sering dipakai dalam arti kiasan, seprti dalam ungkapan seperti “bahasa tari”, “bahasa alam”, “bahasa tubuh”, dan lain sebagainya. Perlu diperhatikan bahwa arti kiasan seperti itu tidak termasuk arti istilah “bahasa” dalam ilmu l;inguistik.
Kedua, ada pengertian istilah “bahasa” dalam arti “harafiah”. Arti itu yang kita temukan dalam ungkapan seperti “ilmu bahasa”, bahasa indonesia”, “bahasa inggris”, “semestaan bahasa”, dan lain sebagainya. Dalam pengertian demikian kita sebaliknya membedakan langage, langue, dan parole.
B. Keilmiahan Linguistik
Pada dasarnya setiap ilmu termasuk ilmu linguistik, telah mengalami tiga tahap perkembangan sebagai berikut.
Tahap pertama, yakni tahap spekulasi. Dalam tahap ini pembicaraan mengenai sesuatu dan cara mengambil simpulan dilakukan dengan sikap spekuatif. Artinya kesimpulan itu dibuat tanpa didukung oleh bukti-bukti empiris dan dilaksanakan tanpa mengguanakan prosedur-prosedur tertentu. Tindakan spekulatif ini kita lihat, misalnya, dalam bidang geografi. Dulu orang berpendapat bahwa bumi ini berbentuk datar seperti meja. Kalau dianya apa buktinya, atau bagaimana cara membuktiksnnya, tentu tidak dapat dijawab, atau kalaupun dijawab, tentu akan dijawab secara spekulatif pula. Kemudian karena melihat matahari setiap pagi terbit di sebelah timur dan terbenam pada sore hari di sebelah barat, maka orang berpendapat  bahwa matahari itu berputar mengelilingi bumi. Padahal padahal seperti yang kita tahu, bahwa pandangan kita sering sekali tidak sesuai dengan kenyataan atau kebenaran faktual.
            Dalam studi bahasa, dulu orang mengira bahwa semua bahasa di dunia ini berasal dari bahasa Ibrani, maka orang juga mengira bahwa Adam dan Hawa memakai bahsa Ibrani di taman Firdaus. Suku Dayak Iban di Kalimantan mempunyai legenda yang mengatakan bahwa pada zaman dahulu manusia hanya memiliki satu bahasa, tetapi karena mereka keracunan cendawan, mereka menjadi berbicara dalam berbagai bahasa, sehingga timbul kekacauan, dan manusia berpencar ke segala penjuru arah kemana-mana. Bahkan sampai awal abad ke-17 seorang filosof Swedia masih mengatakan bahwa di surga Tuhan berbicara dalam bahasa Swedia, Adam berbicara dalam bahasa Denmark, dan Ular berbicara dalam bahasa Prancis Pei dalam Chaer (2007: 7). Semuanya itu hanyalah spekulasi yang pada zaman sekarang tentunya sukar diterima.
Tahap kedua, adalah tahap observasi dan klasifikasi. Pada tahap ini para ahli dibidang bahasa mengumpulkan dan menggolongkan segala fakta bahsa dengan teliti tanpa memberi teori atau kesimpulan apapun. Kebanyakan ahli sebelum perang kemerdekaan, baru bekerja sampai ahap ini. Bahasa-bahasa di Nusantara didaftarkan, ditelaah ciri-cirinya, lalu dikelompok-kelompokkan berdasarkan kesamaan-kesamaan ciri yang dimiliki bahasa-bahasa tersebut. Cara seperti ini belum dapat dikatakan “ilmiah”, sebab sebelum sampai penarikan peda suatu teori. Pada saat ini cara kerja tahap kedua ini tampaknya masih diperlukan bagi kepentingan dokumentasi kebahasaan di negeri kita, sebab masih banyak sekali bahasa di Nusantara yang belum terdokumentasikan. Pada tahap berikut baru mungkin bahasa-bahasa Nusantara yang belum didokumentasikan itu dapat ditelaahdengan lebih serius secara ilmiah.
Tahap ketiga, adalah tahap adanya perumusan teori. Pada tahap ini, setiap disiplin ilmu berusaha memahami masalah-masalah dasar dan mengajikan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah-masalah itu berdasarkan data empiris yang dikumpulkan. Kemudian dalam disiplin itu dirumuskan hipotesis-hipotesis yang berusaha menjawab pertanyaan itu, dan menyusun tes untuk menguji hipotesis-hipotesis terhadap fakta-fakta yang ada.
            Disiplin linguistik dewasa ini sudah mengalami ketiga tahap di atas.  Artinaya, disiplin linguistik itu sekarang ini sudah bisa dikatakan merupakan kegiatan ilmiah. Selain itu, bisa dikatakan ketidakspekulatifan dalam menarik kesimpulan merupakan salah satu ciri keilmiahan. Tindakan tidak spekulatif dalam kegiatan ilmiah berarti tindakan itu dalam menarik kesimpulan atau teori harus didasarkan pada data empiris, yakni, data yang nyata ada, yang didapat dari alam yang wujudnya dapat diobservasi.
C. Hakikat Bahasa
1. Bahasa sebagai Sistem
          Kata sestem sudah biasa kita gunakan dalam kehidupan sehari-haridengan makna ‘cara’ atau ‘aturan’. Dalam kaitannya dengan keilmuan, system berarti susunan teratur berpola yang embentuk suatu keseluruhan yang berakna atau berfugsi. System ini dibentuk oleh sejumlah unsur atau komponen yangsatu dengan lainnya berhubungan secara fungsional. Untuk mendapat pengertian yang lebih baik, kita ambil contoh yng konkret, yaitu sebuah sepeda atau kereta angina. Sebuah sepeda disebut sebagai sepeda yang berfungsi  adalah kalau unsur-unsurnya atau komponen-komponennya (seperti roda, sadel rantai, rem lampu, dan sebagainya ) tersusun sesuai pola atau pda tempatnya. Kalau komponen-komponen tidak terletak pada tempat yang seharusnya, meskipun secara keseluruhannya utuh, maka sepeda itu tidak dapat berfungsi sebagai sebuah sepeda, karena susunannya tidak membentuk sebuah sistem. Barang tersebut lebih cocok disebut sebagai tumpukan suku cadang sepeda. Sistem dalam bahasapun begitu juga. Bahasa terdiri dari unsur-unsur atau komponn-komponen yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu, dan membentuk satu kesatuan yang utuh.
          Berbeda dengan susistem-subsistem dalam sepeda, subsistem-subsistem dalam bahasa, terutama subsistem morfologi, fonilogi, dan sintaksis tersusun secara hierarkial. Artinaya, subsistem yang satu terletak di bawah subsistem yang lain; lalu subsistem yang lainnya ini terletak  dibawah subsistem yang lainnya lagi. Ketiga subsistem itu (fonologi, morfologi, dan sintaksis) terkait dengan subsitem semantik. Sedangkan suubsistem leksikon yang juga diliputi subsistem seantik, beraada di luar ketiga subsistem structural itu (Chaer: 2003: 35).  
          Dalam kaitan keilmuan, sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna/berfungsi. Sistem ini dibentuk oleh sejumlah unsur/komponen yang satu dengan lainnya berhubungan secara fungsional. Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis yaitu bahasa itu tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak. Dan secara sistemis yaitu bahasa bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub-subsistem atau sistem bawahan.
2. Bahasa sebagai Lambang
           Dalam semiotika atau semiologi (yang di Aerika ditokohi oleh Charles Sanders Pierce dan di Eropa ileh Ferdinand de Saussure) dibedakan beberapa jenis tanda yaitu tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon.
Tanda, selain dipakai sebagai istilah generik dari semua yang termasuk kajian semiotika juga sebagai salah satu dari unsur spesifik kajian. Semiotika itu suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau mewakili ide, pikiran, perasaan, benda dan tindakan secara langsung dan alamiah (Chaer 2003: 37).
Berbeda dengan tanda, lambang atau simbol tidak bersifat langsung dan alamiah. Lambang menandai sesuatu yang lain secara konvensional tidak secara alamiah dan langsung. Yang penting yang harus anda pahami bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang dalam wujud bunyi bahasa, bukan dalam wujud yang lain.
           Menurut Ferdinand de Saussure (1857-1913), pengertian “tanda” dan bahasa sebagai sistemnya, diambil alih dan diperkembangkan menjadi suatu ilmu tanda oleh yang lain. Semuanya berawal dengan karyanya yang agak kabur dan diterbitkan setelah kematiannya Cours de linguistique Generale. (dalam Osborne, 2001:169)
3. Bahasa adalah Bunyi
           Bahasa adalah sistem lambang bunyi. Jadi system bahasa itu berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Secara teknis, menurut kridalaksana dalam Chaer (2003: 42)  bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Bunyi pada bahasa atau yang termasuk lambang bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi bahasa/bunyi ajaran (speech sound) adalah satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati sebagai “fon” dan di dalam fonemik sebagai “fonem”.
           Dalam linguistik, yang disebut bahasa,  bahasa adalah bunyi atau bahasa lisan, dapat kita saksikan sampai kini banyak sekali bahasa di dunia ini, termasuk di Indonesia, yang hanya punya bahasa lisan, tidak punya bahasa tulisan, karena bahasa-bahasa tersebut tidak atau belum mengenal sistem aksara.
4. Bahasa itu Bermakna
           Bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, atau bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan, maka yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna.
           Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna itu di dalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Semua satuan itu memiliki makna. Naun karena ada perbedaan tingkatannya, maka jenis maknanya pun tidak sama. Makna yang berkenaan dengan morfen dan kata dikenal dengan makna leksikal; yang berkenaan dengan frase, kalusa, dan kalimat disebut makna gramatikal; dan yang berkenaan dengan wacana disebut dengan makna pragmatic, atau makna konteks. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak memiliki makna dapat disebut dengan bukan bahasa (Chaer, 2003: 44)
5. Bahasa itu Arbitrer
           Kata arbitrer bisa diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut.
6. Bahasa itu Konvensional
           Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkan bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya semua anggota masyarakat bahasa ini mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Sebuah lambang bunyi memiliki makna bukanlah secara otomatis berdasarkan tanda yang melekat pada lambang tersebut, bahkan tidak ada hubungan langsung antara antara lambang bunyi tersebut dengan makna yang mewakilinya. Sebuah makna atas lambang bunyi tersebut tercipta atas konvensional (kesepakatan) masyarakat pengguna bahasa. Artinya manusialah yang menciptakan makan pada setiap lambang bunyi yang digunakan dalam berkomunikasi. 
7. Bahasa itu Produktif
           Kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti produktif adalah “banyak hasilnya” atau lebih tepat “terus menerus menghasilkan”. Lalu, kalau bahasa itu dikatakan produktif, maka maksudnya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuansatuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu.
           Keproduktifan bahasa memang ada batasnya. Dalam hal ini dapat dibedakan adanya dua macam keterbatasan yaitu keterbatasan pada tingkat parole dan keterbatasan pada tingkat langue. Katerbatasan pada tingkat parole adalah pada ketidaklaziman atau kebelumlaziman bentuk-bentuk yang dihasilkan. Selain itu keproduktifan pembentukan kata dalam bahasa Indonesia dengan afiks-afiks tertentu tampaknya juga dibatasi oleh ciri-ciri inheren bentuk dasarnya, yang sejauh ini belum dikaji orang.
8. Bahasa itu Unik
           Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Lalu, kalau bahasa dikatakan berifat unik, maka artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat atau sistem-sistem lainnya. Salah satu keunikan bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata tidak bersifat morfemis melainkan sintaksis. Maksudnya kalau pada kata tertentu di dalam kalimat kita berikan tekanan, maka makna kata itu tetap, yang berubah adalah makna keseluruhan kalimat (Chaer, 2003: 51).
9. Bahasa itu Universal
           Selain bersifat unik yakni mempunyai sifat atau ciri masing-masing, bahasa juga bersifat universa. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri-ciri yang universal ini tentunya merupakan unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain.
           Karena bahasa itu bersifat ujaran, maka ciri universal dari bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan. Tetapi berapa banyak vocal dan konsonan yang dimiliki oleh setiap bahasa, bukanlah persoalan keuniversalan (Chaer, 2003: 52).
10. Bahasa itu Dinamis
           Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai dengan bahasa. Malah dalam bermimpipun manusia menggunakan bahasa.
           Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu tidak tetap dan selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak statis, menjadi tidak statis. Karena itulah bahasa itu disebut dinamis. Perubahan bahasa bisa terjadi pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, semantic, maupun leksikon,
           Perubahan dalam bahasa, dapat juga bukan terjadi berupa pengembangnan dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami masyarakat bahasa yang bersangkutan. Berbagai alasan sosial dan politis menyebabkan banyak orang meninggalkan bahasanya atau tidak lagi menggunakan bahasanya lalu menggunakan bahasa lain. Di Indonesia, kabarnya telah banyak bahasa daerah yang ditinggalkan para penuturnya terutama dengan alasan sosial. Jika ini terjadi terus-menerus, maka pada suatu saat kelak banyak bahasa daerah yang hanya ada dalam dokumentasi belaka, karena tidak ada lagi penuturnya.
11. Bahasa itu bervariasi
           Mengenai variasi bahasa ini, ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu idialek, dialek, dan ragam.
Idialek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang tentu mempunyai ciri khas bahasanya masing-masing.
Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu.
           Ragam adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam baku atau ragam standar, untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam nonstandar.
12. Bahasa itu Manusiawi
Kalau kita menyimak kembali ciri-ciri bahasa, bahwa bahasa itu adalah sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, bersifat arbitrer, bermakna, dan produktif, maka dapat dikatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa. Bahwa binatang dapat berkomunikasi dengan sesama jenisnya, bahkan juga dengan manusia adalah memang suatu kenyataan. Namun, alat kounikasinya tidaklah sama dengan alat komunikasi yang ada pada manusia, yaitu bahasa. Sistem komunikasi pada binatang bersifat terbatas dan tidak berkembang, atau bersifat statis.
           Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa alat komunikasi manusia yang namanya bahasa adalah bersifat manusiawi, dalam arti hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia. alat komunikasi binatang bersifat terbatas, dalam arti hanya digunakan untuk keperluan hidup “kebinatangannya” itu saja. Kalaupun ada binatang yang dapat mengerti, dan dapat memahami, serta dapat melakukan perintah manusia, adalah bukan karena kemampuan intelegensinya, melainkan berkat latihan yang diberikan kepadanya.

D. Subsistem Ilmu Linguistik
1.      Fonologi
Menurut Abdul Chaer (2003:102), secara etimologi istilah fonologi ini dibentuk dari kata fon yang bermakna bunyi dan logi  yang berarti ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) dinyatakan bahwa fonologiadalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi–bunyi bahasa menurut fungsinya. Verhaar (1984:36) mengatakan bahwa fonologi  merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu sesuai fungsinya, untuk membedakan makna leksikal dalam suatu bahasa. Jadi bunyi bahasa yang dimaksud oleh Verhaar di sini adalah bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi membedakan makna kata.Dari pernyataan-pernyaataan tersebut, dapat dikatakan bahwa fonologi merupakan ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya.Baik itu bunyi bahasa yang bersifat membedkan makna, maupun bunyi bahasa yang tidak berfungsi membedakan makna. Objek kajiannya adalah fonatau bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.

Ilmu-ilmu yang tercakup dalam fonologi dalam tataran ilmu bahasa, dibagi menjadi dua jenis, yakni fonetik dan  fonemik.

1.      Fonetik
Beberapa pengertian tentang fonetik menurut para pakar linguistik, antar lain senagai berikut:
a.       Fonetik atau ilmu bunyi menyelidiki bunyi-bunyi sebagaimana terdapat dalam periode atau sedapat mungkin terdapat di dalamnya (Verhaar, 1982:8).
b.      Fonetik adalah studi tentang bunyi-bunyi ujar (Samsuri, 1991:91).
c.       Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisis bunyi-bunyi ujaran yangdipakai didalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebt dengan alat ucap manusia (Keraf, 1978: 30).
d.      Fonetik itu adalah ilmu yang berusaha menyelidiki bunyi-bunyi ujaran sesuatu bahasa atau bahasa-bahasa (Sulaiman, 1973:35).
Selaras dengan pernyataan-pernyataan di atas, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:319), fonetik didefinisikan sebagai bidang linguistik tentang pengucapan (penghasil) bunyi ujar.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fonetik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan alat ucap manusia, serta bagaimana bunyi itu dihasilkan.Selain itu, fonetik juga dapat diartikan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa, tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebur sebagai pembeda makna atau tidak.
Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam (bunyi bunyi itu diselidiki frekuensigetaranya, aplitudonya,dan intensitasnya.fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia.Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran.
Sebagai ilmu bahasa, fonetik berusaha menemukan kebenaran-kebenaran umum dan memformulasikan hukum-hukum tentang bunyi-bunyi itu dan pengucapannya sebagai kemahiran fonetik. Orang yang sudah terlatih dalam ilmu bunyi, mempunyai pengetahuan dan kemahiran menganalisis dan menghasilkan tiap bunyi bahasa, karena ia telah tahu tentang struktur dan fungsi alat-alat ujar.  Fonetik juga dapat menguraikan dengan sangat tepat dan sesederhana mungkin pembentukan bunyi-bunyi bahasa dan menggunakan alat ucapnya sesuai dengan uraian yang telah diformulasikan.
2.      Fonemik
Fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi sebagai pembeda makna. Terkait dengan pengertian tersebut,fonemik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:319) diartikan: (1) ilmu bahasa (linguistik) tentang sistem fonem; (2) sistem fonem suatu bahasa; (3) proseduruntuk menentukan fonem suatu bahasa. Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapatdihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan,maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan makna.

Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata.Misalnya bunyi [b], [u], [k]dan [u]; dan [s], [u], [k] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya padabunyi yang pertama, yaitu bunyi [b] dan bunyi [s].Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem [b] dan fonem [s].

2.      Morfologi
Secara etimologi, kata morfologi berasal dari bahasa Yunani, yaitumorphe yang berarti bentuk dan logos yang berarti ilmu.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:755) morfologi didefinisikan sebagai cabang linguistik yang mengkaji tentang morfem dan kombinasinya.Dalam kaitannya dengan ilmu bahasa, yang dipelajari oleh morfologi ialah bentuk kata, perubahan bentuk kata dan makna semantis yang muncul setelah perubahan kelas kata yang disebabkan setelah perubahan bentuk kata itu. Dengan kata lain, secara struktural objek kajian dalam morfologi adalah morfem pada tingkatan terendah dan kalimat pada tingkaan tertinggi.Itu sebabnya, dikatakan bahwa morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk kata (struktur kata) serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap makna dan kelas kata.

1.      Morfem
Morfem adalah satuan bentuk bahasa terkecil yang mempunyai makna secara lelatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yanglebih kecil (KBBI:2007: 755).Seiring dengan itu, (Bloomfield, 1974:6) mendefinisikanmorfem adalah suatu bentuk bahasa yang tidak mengandung bagian-bagian yang mirip dengan bentuk lain, baik bunyi maupun maknanya.Sedangkan (Hoockett dalam sutawijaya, dkk), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan morfemadalah unsur-unsur terkecil yang memiliki makna dalam tutur suatu bahasa.Kalau dihubungkan dengan konsep satuan gramatik, maka unsur-unsur yang dimaksud oleh Hockett itu, tergolong dalam satuan gramatik yang paling kecil.

2.      Kata
      Istilah kata sering kita dengar dan kita gunakan.Kata kata ini malah setiap hari dan setiap saat selalu kita gunakan dalam segala kesempatan dan untuk segala keperluan. Para linguis yang setiap hari bergelut dengan kata  ini, hingga saat ini tidak pernah mempunyai kesaman pendapat mengenai konsep apa yang dimaksud dengan kata itu.Para tata bahasawan tradisional memberikan pengertian terhadap kata berdasarkan arti dan ortografi.Menurut mereka, kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi, dan memiliki satu arti.

Para tata bahasawan struktural, terutama penganut aliran Bloomfield mendefinisikan kata sebagai satuan bebas terkecil (a minimal free from) tidak pernah dikomentari dan dibahas secara lebih mendalam, seolah-olah pengertian itu sudah bersifat final. Mereka melihat hierarki bahasa sebagai: fonem, morfem dan kalimat. Berbeda dengan tata bahasa tradisional yang melihat hierarki bahasa sebagai: fonem, kata, dan kalimat. Malah tata bahasa Generatif Transformasi, yang dicetus dan dikembngkan oleh Chomsky, meskipun mengatakan kata adalah dasar analisis kalimat, hanya menyajikan kata itu dengan simbol-simbol V (verba), N (nomina), A (ajektifa), P (pronomina), dan sebagainya.
Batasan kata yang umum kita jumpai dalam berbagai buku linguistik adalah bahwa kata mempunyai susunan morfologis yang relatif stabil dan tidak berubah.Batasan tersebut menyiratkan dua hal.Pertama, bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap tidak dapat berubah, serta tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain. Misalnya, kata meja, urutan fonemnya adalah /m/, /e/, /j/, dan /a/.urutan itu tidak dapat diubah misalnya menjadi /j/, /e/, /m/, dan /a/. atau diselipi fonem lain, misalnya, menjadi /m/, /e/, /r/, /j/, dan /a/. Kedua, setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat dalam kalimat, atau tempatnya dapat diisi atau digantikan oleh kata lain; atau juga dapat dipisahkan dari kata lain. 

3.      Sintaksis
Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti ‘dengan’ dan kata tattein yang berarti ‘menempatkan’.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:1072), sintaksis didefinsiikan sebagai 1) pengaturan hubungan kata dengan kata lain atau dengan satuan lain yang lebih besar. 2) cabang linguistik tentang susunan kalimat dan bagiannya atau ilmu tata kalimat.
1.      Struktur Sintaksis
Secara umum struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K).menurut Verhaar (1978) fungsi-fungsi sintaksis itu yang terdiri dari unsur S,P,O, dan K itu merupakan “kotak-kotak kosong” yang tidak mempunyi arti apa-apa karena kekosongannya. Tempat-tempat kosong itu akan diisi oleh sesuatu yang memiliki kategori dan peran tertentu.Subjek, objek, predikat, dan keterangan adalah istilah yang berkenaan dengan fungsi sintaksis.Sedangkan istilah nomina, verba, ajektiva, adverbial, dan numeralia adalah peristilahan yang berkenaan dengan kategori sintaksis.Kemudian pelaku, penderita, dan penerima adalah peristilahan yang berkenaan dengan peran sintaksis.
2.      Satuan Sintaksis
a.       Kata
Dalam tataran morfologi kata kata adalah satuan terbesar (satuan terkecilnya adalah morfem); tetapi dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil yang secara hierarki menjadi komponen pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase. Di di sini kata hanya dibicarakan sebagai satuan sintaksis yang terkecil, yaitu dalam hubungnnya denganunsur-unsur pembentukan sintaksis yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat. Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata berperan sebagai pengisi fungsi sintaksis, sebagai penanda kategori sintaksis, dan sebagai perangkai dalam penyatuan satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.
Dalam pembicaraan kata sebagai satuan sintaksis, kata dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (functionword). Kata penuh adalah kata yang secara leksikal memiliki makna, mempunyai kemungkinan untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat berperan sebagai satuan tuturan. Kata yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk dalam kategori nomina, verba, ajektiva, adverbia, dan numeralia.Sedangkan yang dimaksud dengan kata tugas adalah kata yang secara leksikal tidak memiliki makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan kelas tertutup, dan di dalam pertuturan dia tidak dapat berdiri sendiri.Contoh kata yang termasuk dalam kelas tertutup adalah kata dan, yang, meskipun dan sejenisnya atau yang biasa dikenal sebagai kunjungsi (kata penghubung).
b.      Frase
Menurut Chaer (2003:222) bahwa yang dimaksud dengan frase adalah satuan  kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Kemudian  (Putrayasa, 2002) mengemukakan yang dimaksud dengan frase adalah kelompok kata yang menduduki suatu fungsi di dalam kalimat, walaupun tidak semua frase terdiri atas kelompok kata. Farase harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem terikat, jadi,   konstruksiruamah batudan tanah tinggi adalah frase; sedangkan konstruksi tata boga dan interlokal bukan merupakan frase, karena boga dan inter adalah morfem terikat.
c.       Klausa
Klausa adalah kelompok kata yang hanya mengndung satu predikat (Cook, 1971:65; Elson dan Picket, 1969:64) dan Kridalaksana (1985:151) mengemukakan, bahwa yang dimaksud dengan  klausa adalah satuan gramatikal berupa gabungan kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat. Chaer (2003:231) berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata  berkonstruksi predikatif. Artinya,  di dalam konstruksi itu terdapat komponen berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, dan sebagai keterangan. Selain fungsi predikat yang harus ada dalam konstruksi kalusa ini, fungsi subjek, boleh dikatakan bersifat wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib.Kalau kita bandingkan konstruksi kamar mandi dan paman mandi, maka dapat dikatakan konstruksi kamar mandi bukanlah sebuah klausa, karena hubungan komponen kamar dan mandi bukanlah bersifat predikatif.Sebaliknya, konstruksi paman mandi adalah sebuah klausa, karena hubungan komponen paman dan komponen mandi bersifat predikatif; paman dalah fungsi subjek dan mandi adalah fungsi predikat.

d.      Kalimat
Berbagai definisi tentang kalimat memang telah banyak dibuat para pakar bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai buku tata bahsa yang ada.Di sini dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa), kalimat diartikan sebagai satuan sintaksis yang disusun dari konstituaen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan dan disertai dengan itonasi final. Berbagai definisi lain tentang kalimat adalah sebagai berikut: Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara  aktual ataupun potensial terdiri atas klausa (KBBI:2007:494).
Dari pengertian-pengertian tentang kalimat tersebut,  dapat disimpulkan, bahwa yang terpenting atau yang menjadi dasar kalimat adalah  konstituen dasar dan intonasi final, sebab konjungsi hanya ada kalau diperlukan. Konstituen dasar itu berupa klausa, jadi kalau pada sebuah klausa diberi intonasi final, maka akan terbentuklah sebuah kalimat.
4. Semantik
     Kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Analisis semantik mampu menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, setiap kata yang memiliki suku kata ‘pl’ memiliki arti sesuatu yang datar sehingga tidak cocok untuk nama produk/benda yang cekung. Ahli semantik juga dapat membuktikan suku kata apa yang cenderung memiliki makna yang negatif, sehingga suku kata tersebut seharusnya tidak digunakan sebagai nama produk asuransi. Sama halnya dengan seorang dokter yang mengetahui antibiotik apa saja yang sesuai untuk seorang pasien dan mana yang tidak sesuai.


BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Berdasarkan pemaparan dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan induk dari segala ilmu dan pengetahuan. ilmu adalah pengetahuan yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis oleh setiap orang lain yang mengetahuinya. Pengetahuan itu sendiri kajian pokok dalam pengetahuan antara lain Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi.
            Hubungan filsafat dan bahasa sangat erat kaitannya,  karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama  adalah mencari jawaban atau makna dari seluruh simbol yang menampakkan diri di alam semesta.
            Linguitstik sebagai ilmu adalah Bahasa yang merupakan ciri khas manusia itu memang merupakan hal yang kompleks dan merupakan objek studi bagi kegiatan ilmu yang bermacam-macam. Di mana linguistik dikaji dalam bentuk keilmiahan linguitik, Hakikat Bahasa, Sub-sistemlinguistik (Fonologi, Morfologi, Sintaksis, dan Semantik).

3.2 Saran
Berdasarkan penjelasan dari isi makalah sederhana ini yang membahas tentang “Filsafat dan Bahasa (Linguistik Sebagai Ilmu)” tidak terlepas dari rangkaian kalimat dan ejaan penulisannya. Kami menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diiharapkan oleh pembaca dan pada khususnya dosen pengampu mata kuiah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kepada para pembaca atau mahasiswa serta dosen pengampu kritik dan saran yang bersifat konstruktif dalam terselesainya makalah selanjutnya.





Comments

Popular posts from this blog

PENDEKATAN EKSPRESIF (ANALISIS PUISI "HANYA SATU" KARYA AMIR HAMZAH)

SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT

TEORI DEKONSTRUKSI (JACQUES DERRIDA)