Filsafat dan Bahasa (Linguistik Sebagai Ilmu)
Filsafat dan Bahasa
(Linguistik Sebagai Ilmu)
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Filsafat
dan bahasa merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Keduanya bagaikan dua sisi
mata uang yang senantiasa bersatu dan saling melengkapi antara satu sama lain.
Dalam filsafat dan bahasa terjadi simbiosis mutualisme. Filsafat membantu
mengembangkan dan memperluas kajian tentang bahasa, dan bahasa menjadi sarana
komunikasi dalam menyampaikan gagasan-gagasan tentang kebenaran yang dilahirkan
filsafat.
Pada
hakikatnya bahasa adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Secara sengaja atau tidak, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana
berkomunikasi dan berinteraksi dalam setiap ranah kehidupan. Tanpa bahasa,
kehidupan manusia akan menjadi lumpuh total, karena bahasa diperlukan sebagai
sarana untuk menyampaikan pesan antara seseorang dengan yang lainnya, dengan
kata lain, manusia tidak dapat hidup tanpa menggunakan bahasa untuk
berinteraksi dan berkomunikasi sebagai makhluk sosial.
Kemudian
dalam kaitannya dengan ilmu linguistik, bahasa dikaji, diteliti dan
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan manusia sebagai makhluk pengguna bahasa,
karena pada hakikatnya bahasa itu dinamis dan selalu berkembang dari masa ke
masa sesuai dengan kebutuhan manusia. Perkembangan tersebut baik dari segi
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan lainnya sesuai dengan kajian linguistik.
Di satu
sisi, bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.
Akan tetapi, perhatian filsafat terhadap dunia bahasa belum pernah begitu luas,
umum dan mendalam seperti sekarang ini. Dapat dikatakan, perhatian filsafat
terhadap bahasa sekarang ini sama agungnya dengan “being” (yang ada) dalam filsafat klasik dulu. Pada keduanya ada
kemiripan , konsep being dan bahasa sama-sama memilki universalitas.
Perbedaannya terletak pada variasi sudut pandang.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dalam makalah ini kami rumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah
hubungan antara filsafat dan bahasa?
b. Bagaimanakah
bentuk linguistik sebagai ilmu?
1.3. Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini sebagai berikut:
a. Untuk
mengetahui hubungan antara filsafat dan bahasa.
b. Untuk
mengetahui bentuk linguistik sebagai ilmu.
1.4. Manfaat penulisan
Manfaat yang diharapkan
dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah dapat menambah khazanah
teoretis baik bagi penulis maupun para pembaca khususnya berkaitan dengan “Filsafat dan Bahasa (Linguistik Sebagi Ilmu)”
sehingga para pembaca dapat mengetahui tentang Filsafat dan Bahasa (Linguistik
Sebagai Ilmu)
PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Ilmu
Kaitan filsafat dan ilmu dapat dilihat dari kelahiran
keduanya, yaitu sebagai hasil proses kerja akal budi yang mewujud dalam
pertanyaan. Karena filsafat itu memberi jawaban atas pertanyaan yang bersifat mendasar, dibandingkan dengan
ilmu, maka bisa dikatakan filsafat lahir lebih dahulu dari ilmu. C.I. Lewis
mengatakan antara lain “pada awalnya filsafat mencakupi keseluruhan wilayah
belajar segala sesuatu yang derajatnya lebih tinggi dari membaca, menulis, dan
matematika. Tetapi, pada suatu saat dapat dikatakan “filsafat adalah induknya ilmu”Ilmu yang semula bernaung di bawah
filsafat (filsof Aristoteles, bahkan Plato telah berbicara tentang kata dan
hubungannya dengan makna, tentang perubahan makna, dan sebagainya, jauh
mendahului lahirnya ilmu bahasa atau linguistik), kemudian menjadi mandiri
dalam zaman moderen. (Sumarsono, 2004: 14-15).
A.
Ilmu Pengetahuan
dalam “Ensiklopedia Indonesia”,
kita jumpai pengertian sebagai berikut:
“Ilmu pengetahuan,
suatu sistem dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu
lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas
tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu sistem dari pelbagai pengetahuan yang
masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan
cara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi)” (Salam,
2012: 8)
Afanasyef, seorang ahli pikir Marxist berkebangsaan Rusia menulis
sebagai berikut: “science is the system
of man’s knowledge oon nature society and tought. It reflect the world in
concept, categories and law, the correctness and truth of which are verified by
practical experience”. (Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan manusia tentang
alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dalam konsep-konsep,
kategori-kategori dan hukum-hukum yang ketepatannya dan kebenaran diuji dengan
pengalamn praktis). (Salam, 2012: 10)
Kata “ilmu” merupakan terjemahan dari kata “science”, yang secara
etimologis berasal dari kata latin “scinre”, artinya “to know”. Dalam
pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan
alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. (Salam, 2012: 9)
Ilmu adalah suatu objek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil,
rumus, yang melalui percobaan sistematis dan dilakukan berulang kali, telah
teruji kebenarannya; prinsip-prinsip dalil-dalil, rumus-rumus mana dapat
diajarkan dan dipelajari (Sondang p. Siagan). Selanjutnya ilmu adalah
pengetahuan yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran,
pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis oelh setiap orang lain yang mengetahuinya.
(Soekanto) (dalam Saffie, 2010: 25).
Menurut
Syafiie (2010: 24) Pengetahuan pada prinsipnya adalah “tahu” yang terdiri dari
sebagai berikut:
1.
Tahu mengerjakan
(know to do)
2.
Tahu bagaiman (know how)
3.
Tahu mengapa (know why)
Dari ketiga prinsip tersebut kemudian lahir berbagai
kajian pokok dalam pengetahuan antara lain ontologi, epistimologi, dan
aksiologi.
Ontologi
adalah teori tentang ada dan realitas. Meninjau persoalan secara ontologis
adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas dengan refleksi
rasional serta analisis dan sintesis logika. Jadi yang pertama dalam
pengetahuan dikenal dulu mengenai “ada: dan “apa” tentang suatu hal.
Epistimologi
adalah bagaimana sesuatu datang dan bagaiman kita mengetahuinya, serta
bagaimana kita mengadakannya dengan yang lain, bagaimana adalah pertanyaan yang
berkaitan dengan keadaan, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi dimensi
ruang dan waktu suatu tersebut. Menurut Fauzan (2014: 40) Epistimologi
merupakan teori pengetahuan (theory of knowledge) menyangkut kemampuan manusia
dalam mencapai objek. Epistimologi mempelajari sifat-sifat dan cara kerja
kemampuan-kemampuan tersebut.
Aksiologi
adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas mulai dari klasifikasinya, kemudian
dengan melihat tujuan pengetahuan itu sendiri, akhirnya dilihat
perkembangannya. Menurut Fauzan (2014: 40) aksiologi merupakan menilaia
masalahat-mudarat pembagian ilmu. Dengan demikian, aksiologi tak terpisahkan
dari nilai-nilai (value). Dalam hal
ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, dengan tanpa
mengorbankan martabat manusia dan merusak kelesatarian atau keseimbangan alam.
B. Hubungan
Bahasa dan Filsafat
Kearifan melayu melayu
mengatakan: “Bahasa adalah cermin budaya
bangsa, hilang budaya maka hilang bangsa’. Jadi bahasa adalah sine qua non, suatu yang mesti ada bagi kebudayaan masyarakta manusia.
Karena itu siapapun orangnya akan senantiasa melakukan relasi yang erat dengan bahasa. Seorang filosof, misalnya, ia
akan senantiasa bergantung pada bahasa.
Fakta telah menunjukkan bahwa
ungkapan pikiran dan hasil-hasil
perenungan filosofis seorang tidak dapat dilakukan tanpa bahasa. Alat yang utama dari
filsafat adalah bahasa. Tanpa bahasa,
seorang filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bisa mengungkapkan hasil-hasil
perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Tanpa bantuan bahasa, seseorang
tidak akan mengerti tentang buah pikirang kefilsafatan.
Louis O. Katsooff berpendapat bahwa suatu sistem
filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa ,
dan perenungan kefilsafatan dapat
dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa bahasa tersebut. Karena itu
fillsafat dan bahasa akan senantiasa beriringan, tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol.
Sedangkan tugas filsafat yang utama
adalah mencari jawaban atau makna dari seluruh simbol yang menampakkan
diri di alam semesta. Bahasa adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia
simbol-simbol tersebut. (Hidayat, 2009:31).
2.2 LINGUISTIK
SEBAGAI ILMU
A. Teori dari
ilmu linguistik
Bahasa yang merupakan ciri khas manusia itu memang merupakan hal yang
kompleks dan merupakan objek studi bagi kegiatan ilmu yang bermacam-macam.
Hakikat bahasa itu juga dapat bermacam-macam sesuai dengan pandangan ilmuan
yang memperlajarinya. Bagi ahli filsafat, bahasa mungkin merupakan alat
untuk berpikir, bagi ahli logika mungkin
suatu kalkulus, bagi ahli ilmu jiwa mungkin jendela yang kabur untuk dapat
ditembus guna melihat proses berpikir, dan ahli bahasa suatu sistem lambang
yang arbitrer (Macky dalam Dardjowidjojo, 1985: 11)
Menurut
Verhaar (1996: 3-6) mendefinisikan ilmu linguistik sebagai berikut:
1.
Mengenai
linguistik
“Linguistik” berarti “ilmu bahasa”
Kata linguistik berasal dari kata latin lingua ‘bahasa’. Dalam bahasa-bahasa
“roman” (yaitu bahasa-bahasa yang berasal dari bahasa latin) masih ada
kata-kata serupa dengan lingua latin
itu, yaitu langue dalam bahasa
Prancis, dan lingua dalam bahasa
Itali. Bahasa inggris memungut Prancis kata yang kini menjadi language. Istilah linguistics dalam bahasa inggris berkaitan dengan kata language itu, seperti dalam bahasa
Prancis istilah linguistique berkaitan
dengan langage. Dalam bahasa
indonesia “linguistik” adalah nama bidang ilmu, dan kata sifatnya adalah
“linguistis” atau “linguistik”.
Bagi Perdinan de Saussure, langue adalah salah satu bahasa (misalnya bahasa Prancis, bahasa
Inggris, atau bahasa indonesia) sebagai suatu “sistem”. Sebaliknya, langage berarti bahasa sebagai sifat
khas makhluk manusia, seperti dalam ucapan “manusia memiliki bahasa, binatang
tidak memiliki bahasa”. Parole ‘tuturan’ adalah bahasa sebagaimana dipakai
secara konkrit: ‘logat’, ‘ucapan’, ‘perkataan’.
2.
Mengapa Umum
Ilmu linguistik sering disebut “linguitik umum”.
Artinya ilmu linguitik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja (seperti
bahasa inggris, atau bahasa indonesia), tatapi linguistik itu menyangkut bahasa
pada umumnya. Dengan memakai istilah
dari de Saussure, dapat kita merumuskan bahwa ilmu linguistik tidak hanya
meneliti salah satu langue saja,
tetapi juga langage itu, yaitu bahasa
pada umumnya.
3.
linguistik
sebagai ilmu pengetahuan spesifik
sebagai mana kita ketahui, ada bermacam-macam ilmu
pengetahuan, misalnya ilmu pengetahuan hukum, ilmu pasti alam, ilmu psikologi,
ilmu sosiologi, dan lain sebagainya. Dalam masing-masing ilmu tersebut, bahasa
dapat menjadi “objek” penelitian. Misalnya seorang ahli ilmu psikologi, yang
meneliti “kejiwaan” manusia. Sifat-sifat psikologis manusia tercermin, antara
lain juga dalam bahasa, misalnya dalam hubungan afektif, atau emosi. Jadi jelas
seorang ahli psikologi dapat berurusan dangan bahasa. Namun, ia tidak mutlak
harus menjadi seorang ahli linguistik, karenan ahli linguistik berurusan dengan
bahasa sebagai bahasa.
4.
Linguistik
sebagai ilmu empiris
Ilmu-ilmu seperti psikologi, sosiologi, antropologi,
dan lain sebagainya, seiring disebut ilmu “empiris”. Artinya, ilmu-ilmu
tersebut berdasarkan “fakta” dan “data” yang dapat diuji oleh ahli tertentu dan
juga oleh semua ahli lainnya. Demikian pula halnya dengan ilmu linguistik.
Dalam ilmu empiris peneliti menjauhkan diri dari “keyakinan” yang tidak
berdasarkan fakta. Menurut Kant (dalam Fauzan, 2014: 27) empiris memberikan
keputusan yang bersifat sintetis, yang
kebenarannya tidak bersifat mutlak.
5.
Objek linguistik
Objek linguistik adalah bahasa. Akan tetapi penegrtian
bahasa istilah “bahasa” itu belum tentu jelas. Pendefinisian bahasa yang
dibahas sebagai berikut:
Pertama, istilah “bahasa” sering dipakai dalam arti kiasan, seprti
dalam ungkapan seperti “bahasa tari”, “bahasa alam”, “bahasa tubuh”, dan lain
sebagainya. Perlu diperhatikan bahwa arti kiasan seperti itu tidak termasuk
arti istilah “bahasa” dalam ilmu l;inguistik.
Kedua, ada pengertian istilah “bahasa” dalam arti
“harafiah”. Arti itu yang kita temukan dalam ungkapan seperti “ilmu bahasa”,
bahasa indonesia”, “bahasa inggris”, “semestaan bahasa”, dan lain sebagainya.
Dalam pengertian demikian kita sebaliknya membedakan langage, langue, dan parole.
Pada dasarnya setiap ilmu termasuk ilmu
linguistik, telah mengalami tiga tahap perkembangan sebagai berikut.
Tahap pertama,
yakni tahap spekulasi. Dalam tahap ini pembicaraan mengenai sesuatu dan cara
mengambil simpulan dilakukan dengan sikap spekuatif. Artinya kesimpulan itu
dibuat tanpa didukung oleh bukti-bukti empiris dan dilaksanakan tanpa mengguanakan
prosedur-prosedur tertentu. Tindakan spekulatif ini kita lihat, misalnya, dalam
bidang geografi. Dulu orang berpendapat bahwa bumi ini berbentuk datar seperti
meja. Kalau dianya apa buktinya, atau bagaimana cara membuktiksnnya, tentu
tidak dapat dijawab, atau kalaupun dijawab, tentu akan dijawab secara
spekulatif pula. Kemudian karena melihat matahari setiap pagi terbit di sebelah
timur dan terbenam pada sore hari di sebelah barat, maka orang berpendapat bahwa matahari itu berputar mengelilingi bumi.
Padahal padahal seperti yang kita tahu, bahwa pandangan kita sering sekali
tidak sesuai dengan kenyataan atau kebenaran faktual.
Dalam
studi bahasa, dulu orang mengira bahwa semua bahasa di dunia ini berasal dari
bahasa Ibrani, maka orang juga mengira bahwa Adam dan Hawa memakai bahsa Ibrani
di taman Firdaus. Suku Dayak Iban di Kalimantan mempunyai legenda yang
mengatakan bahwa pada zaman dahulu manusia hanya memiliki satu bahasa, tetapi
karena mereka keracunan cendawan, mereka menjadi berbicara dalam berbagai
bahasa, sehingga timbul kekacauan, dan manusia berpencar ke segala penjuru arah
kemana-mana. Bahkan sampai awal abad ke-17 seorang filosof Swedia masih
mengatakan bahwa di surga Tuhan berbicara dalam bahasa Swedia, Adam berbicara
dalam bahasa Denmark, dan Ular berbicara dalam bahasa Prancis Pei dalam Chaer
(2007: 7). Semuanya itu hanyalah spekulasi yang pada zaman sekarang tentunya
sukar diterima.
Tahap kedua,
adalah tahap observasi dan klasifikasi. Pada tahap ini para ahli dibidang
bahasa mengumpulkan dan menggolongkan segala fakta bahsa dengan teliti tanpa
memberi teori atau kesimpulan apapun. Kebanyakan ahli sebelum perang
kemerdekaan, baru bekerja sampai ahap ini. Bahasa-bahasa di Nusantara
didaftarkan, ditelaah ciri-cirinya, lalu dikelompok-kelompokkan berdasarkan
kesamaan-kesamaan ciri yang dimiliki bahasa-bahasa tersebut. Cara seperti ini
belum dapat dikatakan “ilmiah”, sebab sebelum sampai penarikan peda suatu
teori. Pada saat ini cara kerja tahap kedua ini tampaknya masih diperlukan bagi
kepentingan dokumentasi kebahasaan di negeri kita, sebab masih banyak sekali
bahasa di Nusantara yang belum terdokumentasikan. Pada tahap berikut baru
mungkin bahasa-bahasa Nusantara yang belum didokumentasikan itu dapat
ditelaahdengan lebih serius secara ilmiah.
Tahap ketiga,
adalah tahap adanya perumusan teori. Pada tahap ini, setiap disiplin ilmu
berusaha memahami masalah-masalah dasar dan mengajikan pertanyaan-pertanyaan
mengenai masalah-masalah itu berdasarkan data empiris yang dikumpulkan. Kemudian
dalam disiplin itu dirumuskan hipotesis-hipotesis yang berusaha menjawab
pertanyaan itu, dan menyusun tes untuk menguji hipotesis-hipotesis terhadap
fakta-fakta yang ada.
Disiplin
linguistik dewasa ini sudah mengalami ketiga tahap di atas. Artinaya, disiplin linguistik itu sekarang
ini sudah bisa dikatakan merupakan kegiatan ilmiah. Selain itu, bisa dikatakan
ketidakspekulatifan dalam menarik kesimpulan merupakan salah satu ciri
keilmiahan. Tindakan tidak spekulatif dalam kegiatan ilmiah berarti tindakan
itu dalam menarik kesimpulan atau teori harus didasarkan pada data empiris,
yakni, data yang nyata ada, yang didapat dari alam yang wujudnya dapat
diobservasi.
C. Hakikat Bahasa
1. Bahasa sebagai Sistem
Kata sestem sudah biasa kita gunakan dalam
kehidupan sehari-haridengan makna ‘cara’ atau ‘aturan’. Dalam kaitannya dengan
keilmuan, system berarti susunan teratur berpola yang embentuk suatu
keseluruhan yang berakna atau berfugsi. System ini dibentuk oleh sejumlah unsur
atau komponen yangsatu dengan lainnya berhubungan secara fungsional. Untuk
mendapat pengertian yang lebih baik, kita ambil contoh yng konkret, yaitu
sebuah sepeda atau kereta angina. Sebuah sepeda disebut sebagai sepeda yang
berfungsi adalah kalau unsur-unsurnya
atau komponen-komponennya (seperti roda, sadel rantai, rem lampu, dan
sebagainya ) tersusun sesuai pola atau pda tempatnya. Kalau komponen-komponen
tidak terletak pada tempat yang seharusnya, meskipun secara keseluruhannya
utuh, maka sepeda itu tidak dapat berfungsi sebagai sebuah sepeda, karena
susunannya tidak membentuk sebuah sistem. Barang tersebut lebih cocok disebut
sebagai tumpukan suku cadang sepeda. Sistem dalam bahasapun begitu juga. Bahasa
terdiri dari unsur-unsur atau komponn-komponen yang secara teratur tersusun
menurut pola tertentu, dan membentuk satu kesatuan yang utuh.
Berbeda
dengan susistem-subsistem dalam sepeda, subsistem-subsistem dalam bahasa,
terutama subsistem morfologi, fonilogi, dan sintaksis tersusun secara
hierarkial. Artinaya, subsistem yang satu terletak di bawah subsistem yang
lain; lalu subsistem yang lainnya ini terletak
dibawah subsistem yang lainnya lagi. Ketiga subsistem itu (fonologi,
morfologi, dan sintaksis) terkait dengan subsitem semantik. Sedangkan suubsistem
leksikon yang juga diliputi subsistem seantik, beraada di luar ketiga subsistem
structural itu (Chaer: 2003: 35).
Dalam
kaitan keilmuan, sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu
keseluruhan yang bermakna/berfungsi. Sistem ini dibentuk oleh sejumlah
unsur/komponen yang satu dengan lainnya berhubungan secara fungsional. Sebagai sebuah sistem, bahasa
itu sekaligus bersifat sistematis yaitu bahasa itu tersusun menurut suatu pola,
tidak tersusun secara acak. Dan secara sistemis yaitu bahasa bukan merupakan
sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub-subsistem atau sistem bawahan.
2. Bahasa sebagai Lambang
Dalam
semiotika atau semiologi (yang di Aerika ditokohi oleh Charles Sanders Pierce
dan di Eropa ileh Ferdinand de Saussure) dibedakan beberapa jenis tanda yaitu
tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), gerak
isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon.
Tanda, selain dipakai sebagai istilah
generik dari semua yang termasuk kajian semiotika juga sebagai salah satu dari
unsur spesifik kajian. Semiotika itu suatu atau sesuatu yang dapat menandai
atau mewakili ide, pikiran, perasaan, benda dan tindakan secara langsung dan
alamiah (Chaer 2003: 37).
Berbeda dengan tanda, lambang atau
simbol tidak bersifat langsung dan alamiah. Lambang menandai sesuatu yang lain
secara konvensional tidak secara alamiah dan langsung. Yang penting yang harus
anda pahami bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang dalam wujud bunyi bahasa,
bukan dalam wujud yang lain.
Menurut
Ferdinand de Saussure (1857-1913), pengertian “tanda” dan bahasa sebagai
sistemnya, diambil alih dan diperkembangkan menjadi suatu ilmu tanda oleh yang
lain. Semuanya berawal dengan karyanya yang agak kabur dan diterbitkan setelah
kematiannya Cours de linguistique Generale.
(dalam Osborne, 2001:169)
3. Bahasa
adalah Bunyi
Bahasa
adalah sistem lambang bunyi. Jadi system bahasa itu berupa lambang yang
wujudnya berupa bunyi. Secara teknis, menurut kridalaksana dalam Chaer (2003:
42) bunyi adalah kesan pada pusat saraf
sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena
perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Bunyi pada bahasa atau yang termasuk
lambang bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi
bahasa/bunyi ajaran (speech sound) adalah satuan bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati sebagai “fon” dan di dalam
fonemik sebagai “fonem”.
Dalam
linguistik, yang disebut bahasa, bahasa
adalah bunyi atau bahasa lisan, dapat kita saksikan sampai kini banyak sekali
bahasa di dunia ini, termasuk di Indonesia, yang hanya punya bahasa lisan,
tidak punya bahasa tulisan, karena bahasa-bahasa tersebut tidak atau belum
mengenal sistem aksara.
4. Bahasa itu Bermakna
Bahasa
itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, atau bunyi ujar. Sebagai lambang
tentu ada yang dilambangkan, maka yang dilambangkan itu adalah suatu
pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran, maka dapat dikatakan
bahwa bahasa itu mempunyai makna.
Lambang-lambang
bunyi bahasa yang bermakna itu di dalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang
berwujud morfem, kata, frase, klausa,
kalimat, dan wacana. Semua satuan
itu memiliki makna. Naun karena ada perbedaan tingkatannya, maka jenis maknanya
pun tidak sama. Makna yang berkenaan dengan morfen dan kata dikenal dengan
makna leksikal; yang berkenaan dengan frase, kalusa, dan kalimat disebut makna
gramatikal; dan yang berkenaan dengan wacana disebut dengan makna pragmatic,
atau makna konteks. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak
memiliki makna dapat disebut dengan bukan bahasa (Chaer, 2003: 44)
5. Bahasa itu Arbitrer
Kata
arbitrer bisa diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka.
Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib
antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian
yang dimaksud oleh lambang tersebut.
6. Bahasa itu Konvensional
Meskipun
hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkan bersifat arbitrer,
tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat
konvensional. Artinya semua anggota masyarakat bahasa ini mematuhi konvensi
bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya.
Sebuah lambang bunyi memiliki makna bukanlah secara otomatis berdasarkan tanda
yang melekat pada lambang tersebut, bahkan tidak ada hubungan langsung antara
antara lambang bunyi tersebut dengan makna yang mewakilinya. Sebuah makna atas
lambang bunyi tersebut tercipta atas konvensional (kesepakatan) masyarakat
pengguna bahasa. Artinya manusialah yang menciptakan makan pada setiap lambang
bunyi yang digunakan dalam berkomunikasi.
7. Bahasa itu Produktif
Kata produktif adalah bentuk ajektif dari
kata benda produksi. Arti produktif
adalah “banyak hasilnya” atau lebih tepat “terus menerus menghasilkan”. Lalu,
kalau bahasa itu dikatakan produktif, maka maksudnya meskipun unsur-unsur
bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu
dapat dibuat satuansatuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara
relatif sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu.
Keproduktifan
bahasa memang ada batasnya. Dalam hal ini dapat dibedakan adanya dua macam
keterbatasan yaitu keterbatasan pada tingkat parole dan keterbatasan pada
tingkat langue. Katerbatasan pada tingkat parole adalah pada ketidaklaziman
atau kebelumlaziman bentuk-bentuk yang dihasilkan. Selain itu keproduktifan
pembentukan kata dalam bahasa Indonesia dengan afiks-afiks tertentu tampaknya
juga dibatasi oleh ciri-ciri inheren bentuk dasarnya, yang sejauh ini belum
dikaji orang.
8. Bahasa itu Unik
Unik
artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain.
Lalu, kalau bahasa dikatakan berifat unik, maka artinya setiap bahasa mempunyai
ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa
menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat
atau sistem-sistem lainnya. Salah satu keunikan bahasa Indonesia adalah bahwa
tekanan kata tidak bersifat morfemis melainkan sintaksis. Maksudnya kalau pada
kata tertentu di dalam kalimat kita berikan tekanan, maka makna kata itu tetap,
yang berubah adalah makna keseluruhan kalimat (Chaer, 2003: 51).
9. Bahasa itu Universal
Selain
bersifat unik yakni mempunyai sifat atau ciri masing-masing, bahasa juga
bersifat universa. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap
bahasa yang ada di dunia ini. Ciri-ciri yang universal ini tentunya merupakan
unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri-ciri atau
sifat-sifat bahasa lain.
Karena
bahasa itu bersifat ujaran, maka ciri universal dari bahasa yang paling umum
adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan
konsonan. Tetapi berapa banyak vocal dan konsonan yang dimiliki oleh setiap
bahasa, bukanlah persoalan keuniversalan (Chaer, 2003: 52).
10. Bahasa itu Dinamis
Bahasa
adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan
dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang
berbudaya dan bermasyarakat. Tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai
dengan bahasa. Malah dalam bermimpipun manusia menggunakan bahasa.
Karena
keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam
kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu tidak tetap dan selalu
berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak statis,
menjadi tidak statis. Karena itulah bahasa itu disebut dinamis. Perubahan
bahasa bisa terjadi pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis,
semantic, maupun leksikon,
Perubahan
dalam bahasa, dapat juga bukan terjadi berupa pengembangnan dan perluasan,
melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami masyarakat
bahasa yang bersangkutan. Berbagai alasan sosial dan politis menyebabkan banyak
orang meninggalkan bahasanya atau tidak lagi menggunakan bahasanya lalu
menggunakan bahasa lain. Di Indonesia, kabarnya telah banyak bahasa daerah yang
ditinggalkan para penuturnya terutama dengan alasan sosial. Jika ini terjadi
terus-menerus, maka pada suatu saat kelak banyak bahasa daerah yang hanya ada
dalam dokumentasi belaka, karena tidak ada lagi penuturnya.
11. Bahasa itu bervariasi
Mengenai
variasi bahasa ini, ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu idialek,
dialek, dan ragam.
Idialek adalah variasi atau ragam
bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang tentu mempunyai ciri khas
bahasanya masing-masing.
Dialek adalah variasi bahasa yang
digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu
waktu.
Ragam
adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan atau untuk
keperluan tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam baku atau ragam
standar, untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau
ragam nonstandar.
12. Bahasa
itu Manusiawi
Kalau kita menyimak kembali ciri-ciri
bahasa, bahwa bahasa itu adalah sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia, bersifat arbitrer, bermakna, dan produktif, maka dapat dikatakan bahwa
binatang tidak mempunyai bahasa. Bahwa binatang dapat berkomunikasi dengan
sesama jenisnya, bahkan juga dengan manusia adalah memang suatu kenyataan.
Namun, alat kounikasinya tidaklah sama dengan alat komunikasi yang ada pada
manusia, yaitu bahasa. Sistem komunikasi pada binatang bersifat terbatas dan
tidak berkembang, atau bersifat statis.
Oleh
karena itu, bisa disimpulkan bahwa alat komunikasi manusia yang namanya bahasa
adalah bersifat manusiawi, dalam arti hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan
oleh manusia. alat komunikasi binatang bersifat terbatas, dalam arti hanya
digunakan untuk keperluan hidup “kebinatangannya” itu saja. Kalaupun ada
binatang yang dapat mengerti, dan dapat memahami, serta dapat melakukan
perintah manusia, adalah bukan karena kemampuan intelegensinya, melainkan
berkat latihan yang diberikan kepadanya.
D. Subsistem Ilmu Linguistik
1.
Fonologi
Menurut
Abdul Chaer (2003:102), secara etimologi istilah fonologi ini dibentuk dari kata fon
yang bermakna bunyi dan logi yang berarti ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1997) dinyatakan bahwa fonologiadalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki
bunyi–bunyi bahasa menurut fungsinya. Verhaar (1984:36) mengatakan bahwa
fonologi merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati
bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu sesuai fungsinya, untuk membedakan makna
leksikal dalam suatu bahasa. Jadi bunyi bahasa yang dimaksud oleh Verhaar di
sini adalah bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi membedakan makna kata.Dari
pernyataan-pernyaataan tersebut, dapat dikatakan bahwa fonologi merupakan ilmu
yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya.Baik itu bunyi bahasa yang
bersifat membedkan makna, maupun bunyi bahasa yang tidak berfungsi membedakan
makna. Objek kajiannya adalah fonatau
bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Ilmu-ilmu
yang tercakup dalam fonologi dalam tataran ilmu bahasa, dibagi menjadi dua
jenis, yakni fonetik dan fonemik.
1.
Fonetik
Beberapa
pengertian tentang fonetik menurut para pakar linguistik, antar lain senagai
berikut:
a. Fonetik atau ilmu bunyi menyelidiki
bunyi-bunyi sebagaimana terdapat dalam periode atau sedapat mungkin terdapat di
dalamnya (Verhaar, 1982:8).
b. Fonetik adalah studi tentang
bunyi-bunyi ujar (Samsuri, 1991:91).
c. Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki
dan menganalisis bunyi-bunyi ujaran yangdipakai didalam tutur, serta
mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebt dengan alat ucap manusia
(Keraf, 1978: 30).
d. Fonetik itu adalah ilmu yang
berusaha menyelidiki bunyi-bunyi ujaran sesuatu bahasa atau bahasa-bahasa
(Sulaiman, 1973:35).
Selaras dengan pernyataan-pernyataan
di atas, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:319), fonetik didefinisikan
sebagai bidang linguistik tentang pengucapan (penghasil) bunyi ujar.Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa fonetik adalah ilmu bahasa yang membahas
bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan alat ucap manusia, serta bagaimana bunyi itu
dihasilkan.Selain itu, fonetik juga dapat diartikan sebagai cabang studi
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa, tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi
tersebur sebagai pembeda makna atau tidak.
Fonetik juga
mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan
dengan penggunaan bahasa. Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi
bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:fonetik artikulatoris atau
fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari bagaimana mekanisme
alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta
bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. fonetik akustik mempelajari
bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam (bunyi bunyi itu
diselidiki frekuensigetaranya, aplitudonya,dan intensitasnya.fonetik
auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh
telinga kita.
Dari
ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik
adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan
masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan
manusia.Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan
fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran.
Sebagai ilmu bahasa, fonetik
berusaha menemukan kebenaran-kebenaran umum dan memformulasikan hukum-hukum tentang
bunyi-bunyi itu dan pengucapannya sebagai kemahiran fonetik. Orang yang sudah
terlatih dalam ilmu bunyi, mempunyai pengetahuan dan kemahiran menganalisis dan
menghasilkan tiap bunyi bahasa, karena ia telah tahu tentang struktur dan
fungsi alat-alat ujar. Fonetik juga dapat
menguraikan dengan sangat tepat dan sesederhana mungkin pembentukan bunyi-bunyi
bahasa dan menggunakan alat ucapnya sesuai dengan uraian yang telah
diformulasikan.
2.
Fonemik
Fonemik
adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi sebagai
pembeda makna. Terkait dengan pengertian tersebut,fonemik dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1997:319) diartikan: (1) ilmu bahasa (linguistik) tentang
sistem fonem; (2) sistem fonem suatu bahasa; (3) proseduruntuk menentukan fonem
suatu bahasa. Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang
dapatdihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu
dilaksanakan,maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki
kemungkinan-kemungkinan, bunyi ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi
untuk membedakan makna.
Chaer
(2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi
membedakan makna kata.Misalnya bunyi [b], [u], [k]dan [u]; dan [s], [u], [k]
dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya padabunyi yang pertama, yaitu
bunyi [b] dan bunyi [s].Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi
tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem [b] dan
fonem [s].
2.
Morfologi
Secara etimologi, kata morfologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitumorphe yang berarti bentuk dan logos yang berarti ilmu.Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2007:755) morfologi didefinisikan sebagai cabang
linguistik yang mengkaji tentang morfem dan kombinasinya.Dalam kaitannya dengan
ilmu bahasa, yang dipelajari oleh morfologi ialah bentuk kata, perubahan bentuk kata dan makna semantis yang muncul setelah
perubahan kelas kata yang disebabkan setelah perubahan bentuk kata itu. Dengan
kata lain, secara struktural objek kajian dalam morfologi adalah morfem pada
tingkatan terendah dan kalimat pada tingkaan tertinggi.Itu sebabnya, dikatakan
bahwa morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk kata (struktur kata)
serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap makna dan kelas kata.
1. Morfem
Morfem
adalah satuan bentuk bahasa terkecil yang mempunyai makna secara lelatif stabil
dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yanglebih kecil (KBBI:2007:
755).Seiring dengan itu, (Bloomfield, 1974:6) mendefinisikanmorfem adalah suatu
bentuk bahasa yang tidak mengandung bagian-bagian yang mirip dengan bentuk
lain, baik bunyi maupun maknanya.Sedangkan (Hoockett dalam sutawijaya, dkk),
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan morfemadalah unsur-unsur terkecil yang
memiliki makna dalam tutur suatu bahasa.Kalau dihubungkan dengan konsep satuan
gramatik, maka unsur-unsur yang dimaksud oleh Hockett itu, tergolong dalam
satuan gramatik yang paling kecil.
2. Kata
Istilah
kata sering kita dengar dan kita
gunakan.Kata kata ini malah setiap
hari dan setiap saat selalu kita gunakan dalam segala kesempatan dan untuk segala
keperluan. Para linguis yang setiap hari bergelut dengan kata ini, hingga saat ini tidak pernah mempunyai
kesaman pendapat mengenai konsep apa yang dimaksud dengan kata itu.Para tata bahasawan tradisional memberikan pengertian
terhadap kata berdasarkan arti dan
ortografi.Menurut mereka, kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu
pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi, dan
memiliki satu arti.
Para
tata bahasawan struktural, terutama penganut aliran Bloomfield mendefinisikan
kata sebagai satuan bebas terkecil (a
minimal free from) tidak pernah dikomentari dan dibahas secara lebih
mendalam, seolah-olah pengertian itu sudah bersifat final. Mereka melihat
hierarki bahasa sebagai: fonem, morfem
dan kalimat. Berbeda dengan tata bahasa tradisional yang melihat hierarki
bahasa sebagai: fonem, kata, dan kalimat.
Malah tata bahasa Generatif Transformasi, yang dicetus dan dikembngkan oleh
Chomsky, meskipun mengatakan kata adalah dasar analisis kalimat, hanya
menyajikan kata itu dengan simbol-simbol V (verba), N (nomina), A (ajektifa), P
(pronomina), dan sebagainya.
Batasan
kata yang umum kita jumpai dalam berbagai buku linguistik adalah bahwa kata
mempunyai susunan morfologis yang relatif stabil dan tidak berubah.Batasan tersebut
menyiratkan dua hal.Pertama, bahwa
setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap tidak dapat berubah,
serta tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain. Misalnya, kata meja, urutan fonemnya adalah /m/, /e/,
/j/, dan /a/.urutan itu tidak dapat diubah misalnya menjadi /j/, /e/, /m/, dan
/a/. atau diselipi fonem lain, misalnya, menjadi /m/, /e/, /r/, /j/, dan /a/. Kedua, setiap kata mempunyai kebebasan
berpindah tempat dalam kalimat, atau tempatnya dapat diisi atau digantikan oleh
kata lain; atau juga dapat dipisahkan dari kata lain.
3.
Sintaksis
Sintaksis
berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun
yang berarti ‘dengan’ dan kata tattein
yang berarti ‘menempatkan’.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:1072),
sintaksis didefinsiikan sebagai 1) pengaturan hubungan kata dengan kata lain
atau dengan satuan lain yang lebih besar. 2) cabang linguistik tentang susunan
kalimat dan bagiannya atau ilmu tata kalimat.
1. Struktur
Sintaksis
Secara
umum struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek
(O), dan keterangan (K).menurut Verhaar (1978) fungsi-fungsi sintaksis itu yang
terdiri dari unsur S,P,O, dan K itu merupakan “kotak-kotak kosong” yang tidak
mempunyi arti apa-apa karena kekosongannya. Tempat-tempat kosong itu akan diisi
oleh sesuatu yang memiliki kategori dan peran tertentu.Subjek, objek, predikat,
dan keterangan adalah istilah yang berkenaan dengan fungsi sintaksis.Sedangkan
istilah nomina, verba, ajektiva, adverbial, dan numeralia adalah peristilahan
yang berkenaan dengan kategori sintaksis.Kemudian pelaku, penderita, dan
penerima adalah peristilahan yang berkenaan dengan peran sintaksis.
2. Satuan
Sintaksis
a. Kata
Dalam
tataran morfologi kata kata adalah
satuan terbesar (satuan terkecilnya adalah morfem); tetapi dalam tataran
sintaksis kata merupakan satuan
terkecil yang secara hierarki menjadi komponen pembentuk satuan yang lebih
besar, yaitu frase. Di di sini kata hanya dibicarakan sebagai satuan sintaksis
yang terkecil, yaitu dalam hubungnnya denganunsur-unsur pembentukan sintaksis
yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat. Sebagai satuan terkecil
dalam sintaksis, kata berperan sebagai pengisi fungsi sintaksis, sebagai
penanda kategori sintaksis, dan sebagai perangkai dalam penyatuan satuan-satuan
atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.
Dalam
pembicaraan kata sebagai satuan sintaksis, kata dibedakan menjadi dua macam,
yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (functionword). Kata
penuh adalah kata yang secara leksikal memiliki makna, mempunyai kemungkinan
untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat berperan
sebagai satuan tuturan. Kata yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang
termasuk dalam kategori nomina, verba, ajektiva, adverbia, dan
numeralia.Sedangkan yang dimaksud dengan kata tugas adalah kata yang secara
leksikal tidak memiliki makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan
kelas tertutup, dan di dalam pertuturan dia tidak dapat berdiri sendiri.Contoh
kata yang termasuk dalam kelas tertutup adalah kata dan, yang, meskipun dan
sejenisnya atau yang biasa dikenal sebagai kunjungsi (kata penghubung).
b. Frase
Menurut
Chaer (2003:222) bahwa yang dimaksud dengan frase adalah satuan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis
di dalam kalimat. Kemudian (Putrayasa,
2002) mengemukakan yang dimaksud dengan frase adalah kelompok kata yang
menduduki suatu fungsi di dalam kalimat, walaupun tidak semua frase terdiri atas
kelompok kata. Farase harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem terikat,
jadi, konstruksiruamah batudan tanah tinggi
adalah frase; sedangkan konstruksi tata
boga dan interlokal bukan
merupakan frase, karena boga dan inter adalah morfem terikat.
c. Klausa
Klausa
adalah kelompok kata yang hanya mengndung satu predikat (Cook, 1971:65; Elson
dan Picket, 1969:64) dan Kridalaksana (1985:151) mengemukakan, bahwa yang
dimaksud dengan klausa adalah satuan
gramatikal berupa gabungan kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan
predikat. Chaer (2003:231) berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan klausa
adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu terdapat komponen
berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain
berfungsi sebagai subjek, dan sebagai keterangan. Selain fungsi predikat yang
harus ada dalam konstruksi kalusa ini, fungsi subjek, boleh dikatakan bersifat
wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib.Kalau kita bandingkan
konstruksi kamar mandi dan paman mandi, maka dapat dikatakan
konstruksi kamar mandi bukanlah
sebuah klausa, karena hubungan komponen kamar
dan mandi bukanlah bersifat
predikatif.Sebaliknya, konstruksi paman
mandi adalah sebuah klausa, karena hubungan komponen paman dan komponen mandi
bersifat predikatif; paman dalah
fungsi subjek dan mandi adalah fungsi
predikat.
d. Kalimat
Berbagai
definisi tentang kalimat memang telah banyak dibuat para pakar bahasa. Hal ini
dapat dilihat dalam berbagai buku tata bahsa yang ada.Di sini dalam kaitannya
dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa),
kalimat diartikan sebagai satuan sintaksis yang disusun dari konstituaen dasar,
yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan dan
disertai dengan itonasi final. Berbagai definisi lain tentang kalimat adalah
sebagai berikut: Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri
sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa
(KBBI:2007:494).
Dari pengertian-pengertian tentang
kalimat tersebut, dapat disimpulkan,
bahwa yang terpenting atau yang menjadi dasar kalimat adalah konstituen dasar dan intonasi final, sebab konjungsi
hanya ada kalau diperlukan. Konstituen dasar itu berupa klausa, jadi kalau pada
sebuah klausa diberi intonasi final, maka akan terbentuklah sebuah kalimat.
4.
Semantik
Kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna
dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Analisis semantik mampu
menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, setiap kata yang memiliki suku kata
‘pl’ memiliki arti sesuatu yang datar sehingga tidak cocok untuk nama
produk/benda yang cekung. Ahli semantik juga dapat membuktikan suku kata apa
yang cenderung memiliki makna yang negatif, sehingga suku kata tersebut
seharusnya tidak digunakan sebagai nama produk asuransi. Sama halnya dengan seorang
dokter yang mengetahui antibiotik apa saja yang sesuai untuk seorang pasien dan
mana yang tidak sesuai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pemaparan dari
pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan induk dari
segala ilmu dan pengetahuan. ilmu adalah pengetahuan yang tersusun sistematis
dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat diperiksa
dan ditelaah dengan kritis oleh setiap orang lain yang mengetahuinya.
Pengetahuan itu sendiri kajian pokok dalam pengetahuan antara lain Ontologi,
Epistimologi, dan Aksiologi.
Hubungan filsafat dan bahasa sangat
erat kaitannya, karena bahasa pada
hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang
utama adalah mencari jawaban atau makna
dari seluruh simbol yang menampakkan diri di alam semesta.
Linguitstik sebagai ilmu adalah
Bahasa yang merupakan ciri khas manusia itu memang merupakan hal yang kompleks
dan merupakan objek studi bagi kegiatan ilmu yang bermacam-macam. Di mana
linguistik dikaji dalam bentuk keilmiahan linguitik, Hakikat Bahasa, Sub-sistemlinguistik
(Fonologi, Morfologi, Sintaksis, dan Semantik).
3.2 Saran
Berdasarkan penjelasan
dari isi makalah sederhana ini yang membahas tentang “Filsafat
dan Bahasa (Linguistik Sebagai Ilmu)” tidak terlepas
dari rangkaian kalimat dan ejaan penulisannya. Kami menyadari bahwa masih jauh
dari kesempurnaan seperti yang diiharapkan oleh pembaca dan pada khususnya
dosen pengampu mata kuiah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kepada para
pembaca atau mahasiswa serta dosen pengampu kritik dan saran yang bersifat
konstruktif dalam terselesainya makalah selanjutnya.
Comments
Post a Comment