KUMPULAN TEORI BAHASA, SASTRA, DAN TEORI BELAJAR
KUMPULAN TEORI
BAHASA, SASTRA, DAN TEORI BELAJAR
A. TEORI RESEPSI
1.
Konsep Teori
Resepsi
Secara
etimologi kata resepsi berasal dari
bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan atau
penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks,
cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon
terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan
seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam
periode tertentu.
Menurut Pradopo (2007:218) yang
dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan
pembaca terhadap karya sastra. penelitian resepsi dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis
merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu
periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode.
Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah
teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.
Resepsi sastra
merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan
pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan
tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial.
Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception
(Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam
arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna
terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang
dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan
pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna 2009:
165).
2.
Tokoh Teori Resepsi
a.
Hans Robert Jausz
Teori Dalam membahas teori resepsi
sastra, kita akan menemukan beberapa tokoh pemikir teori tersebut, seperti Hans
Robert Jausz. Jausz adalah tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan
peranan pembaca. Pendekatan tersebut mirip dengan teori Mukarovsky dan
Vodicka. Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis
abadpertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam
bisangsastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakanproduk
masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang,da
lam arti ada
nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan
relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yangterkenal: Horizon Harapan yang
memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap
sebuah objek literer.Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah
sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan
jenis sastra(genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra
diterima, sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan
selanjutnya. Pada tahun 1967 Jausz menggegarkan dunia ilmu sastra
tradisional di Jerman Barat. Jausz mempunyai latar belakang sebagai peneliti
sastra dan sejarah sastra abad pertengahan di Eropa Barat. Menurutnya,
penelitian sejarah sastradi Eropa Barat menemui jalan buntu. Pada abad ke-20
menurut Jausz ada dua aliran yang menentangnya, aliran pertama yaitu pendekatan
sastra kaum Marxis. kalangan Marxisme lebih menekankan pada sisi fungsi sosial
karya dari pada nilai estetik karya tersebut dalam kajianya. Aliran kedua yaitu
aliran formalis Rusia yang dianggap terlalu mementingkan nilai estetik karya
dari pada nilai fungsi sosialnya. Berbagai survai mengenai pendekatan dalam
penelitian sastra, dahulu dan sekarang. Jausz mengemukakan gagasannya yang
baru, setidaknya dalam rangka ilmu sastra tradisional: menurut Jausz para
peneliti sastra, juga dalam aliran marxis dan formalis, telah melupakan atau
menghilangkan factor terpenting dalam proses semiotic yang disebut
kasusastraan, yaitu pembaca. Justru pembacalah yang merupakan faktir yang
hakiki dalam menentukan dalam sastra.
b.
Wolfgang Iser
Berbeda dengan
Jauz, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi. Dalam hal
ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan dialektika antara teks, pembaca,
dan interaksi antara keduanya. Iser (1987: 27-30) memberikan perhatian pada
hubungan antara teks dengan pembaca, dalam hubungan ini kekuatan karya untuk
memberikan efek kepada pembaca. Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah
pembaca nyata melainkan pembaca implisit, instansi pembaca yang dicptakan oleh
teks. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan
terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca
yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks
itu dengan cara tertentu. Iser mementingkan pelaksanaan teorinya pada soal
kesan (wirkung). Iser menghendaki pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca
suatu teks atau karya sastra. Dengan kata lain, kita sebagai pembaca diajak
untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam karya, membentuk dunia
sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-tokoh di
dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam karya
tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung),
pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra,
sedih atau gembira, suka atau benci, dll. Hal itu tidak terlepas karena Iser
juga mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, di
mana pembaca secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya. Ruang kosong
mengandaikan teks bersifat terbuka, penulis seolah – olah hanya menyediakan
kerangka secara global sehingga pembaca secara aktif dan kreatif dapat
berpartisipasi.
c.
Jonathan Culler
Keinginan Culler yang utama adalah
menggeser fokus perhatian dari teks kepada pembaca. Culler menyatakan bahwa
suatu teori pembacaan harus mengungkap norma dan prosedur yang menuntun pembaca
kepada suatu penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap pembaca memiliki penafsiran yang
berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama. Berbagai variasi penafsiran itu
harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun penafsiran itu berbeda-beda tetapi
mungkin saja mereka mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama. Konvensi dalam
sastra jelas bersifat terbuka dan beragam sesuai dengan genre yang dimaksudkan
oleh penulisnya.
3.
Daftar Bacaan
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
B.
TEORI
INTERTEKTUAL
1.
Konsep Intertekstual
Secara luas intereks diartikan sebagai jaringan hubungan
antara satu teks dengan teks yang lain. Intertekstual merupakan kajian teks
yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu
teks, dalam kacamata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus
dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Menurut Kristeva (dalam
Worton) Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia
Kristeva. Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu
teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik
kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks
lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan,
peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis,
pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan dasar
untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan
penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang
utuh. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan:
Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses
penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai
jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua,sebuah teks tersedia hanya melalui
proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada
pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1). Menurut Bakhtin,
pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra
dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra
lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor, 2007:
4-5). Selain itu masala tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan
pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam
Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan intertektual sebagai “kitaa menulis dan
membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang
tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa
yang dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.
Istilah hipogram diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar,
walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain.
wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah
bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi
dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983: 65). Mengenai keberadaan suatu
hypogram dalam interteks, selanjunya Riffaterre (dalam Ratna, 2009: 222)
mendifinisikan hypogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika.
Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap
sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu,
misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide,
gagasan,peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks
yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha
menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada
karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah
untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan
dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya
sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan
itu (Teeuw, 1983: 62-50). Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil
justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Dalam
interteks, sesuai dengan hakikat teori-teori pasca strukturalis, pembaca bukan
lagi merupakan konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara
pasti sebab merupakan struktur dari struktur, setiap teks menunjuk kembali
secara berbeda-beda kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas,
sebagai teks jamak.
2.
Daftar Bacaan
Kristeva,
Julia. 1980. Desire in Language a
Semiotic Approach to Literature and Art. Oxford: Basil Blackwell.
Noor,
Redyanto. 2007. Prespektif Resepsi Novel
Chiklit dan Teenlit Indonesia. Makalah diskusi Program Studi S3 Sastra.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A..
1983. Membaca dan Menulis Sastra. Jakarta:
Gramedia.
Worton,
Micheal and Judith Still. 1990. Intertextuality
and Practices. New York: Manchester University Press.
C.
TEORI STRUKTURALISME
1.
Konsep
Strukturalisme
Sudah sepantasnya, kita
menyebut Istilah strukturalisme lahir dari seorang bapak linguistik modern
bernama Ferdinand de Saussure. Saussure tidak hanya mempengaruhi pemikiran
strukturalismenya pada satu titik yaitu bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang cukup radikal
dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Penelitian bahasa menurut
pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai system yang sinkronik, makna dan
fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitan dengan unsur-unsur
lain. Sifat utama bahasa sebagai system tanda ialah sifat relasionalnya yang
berarti keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan aspek-aspeknya
harus diteliti dan dipahami lebih dahulu baru kemudian secara efektif dapat
ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsepsi yang demikianlah merupakan awal
mula aliran ilmu bahasa yang disebut strukturalis yang kemudian berpuluh-puluh
tahun lamanya menjadi dominan dalam ilmu bahasa, baik di Eropa maupun di
Amerika Serikat.
Telaah sastra merupakan tahap awal dalam penelitian karya
sastra yang harus dilakukan untuk mengetahui karya satra itu berkualitas apa
tidak, tetapi untuk mengetahui hal tersebut tidak bisa hanya dilihat dari satu
sisi saja melainkan harus dari semua elemen secara keseluruhan. Analisis
struktural merupakan salah satu cara untuk mengetahui kualitas sastra, dan
merupakan jembatan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam karya sastra.
Analisis struktural sastra disebut juga pendekatan objektif
dan menganalisis unsur intrinsiknya, Fananie (2000: 112) mengemukakan bahwa
pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra
secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari eksistensi sastra itu sendiri
berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut misalnya,
aspek-aspek instrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima,
struktur kalimat, tema, plot (setting), karakter. Menurut Stanton (2007:20)
membagi unsur-unsur instrinsik yang dipakai dalam menganalisis struktural karya
sastra diantaranya, alur, karakter, latar, tema, saranasarana sastra, judul,
sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi.
Kelemahan terbesar dari strukturalisme adalah sifatnya yang
sinkronistis. Sebuah karya sastra dianggap sebagai sebuah dunia tersendiri yang
terlepas dari dunia lainnya. Padahal, sebuah karya sastra adalah cermin
zamannya. Artinya, karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang pada suatu
kurun waktu tertentu merupakan gambaran dari kondisi kehidupan yang terdapat
dalam kurun waktu tersebut. Di dalamnya terdapat gambaran tentang situasi
sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dari kurun waktu (zaman) tersebut.
Strukturalisme mengabaikan semua itu. Strukturalisme hanya
"bermain-main" dengan bangunan bentuk dari sebuah karya sastra semata-mata.
Aspek-aspek kesejarahan dari sebuah karya sastra tidak dibenarkan untuk
dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dapatlah dipahami jika teori
strukturalisme diposisikan sebagai teori sastra yang a-historis. Seorang
pengarang tidaklah menulis dalam sebuah ruang kosong. Ia menulis dalam sebuah
ruang yang di dalamnya penuh dengan berbagai persoalan kehidupan.
Persoalan-persoalan itu tentulah mempengaruhi alam pikiran pengarang ketika
membuat karangannya. Kondisi itu diabaikan oleh teori strukturalisme
Berdasarkan penejelas di atas maka disimpulkan bahwa analisis
struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, serinci dan
semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang
bersama-sama menghasilkan karya menyeluruh. Aspek yang dimaksud adalah unsut
intrinsic yang meliputi alur, karakter, latar, tema, saranasarana sastra,
judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi. Namun, teori ini
lemah pada sistem pengkajian yang dimelirik unsur di luar teks.
2.
Daftar
Bacaan
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Universitas
Muhamadiyah Surakarta.
Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum (diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat dari
judul Course De Linguistique Generale). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
D. TEORI
SRTUKTURAL FORMALISME RUSIA
1.
Konsep Struktural Formalisme Rusia
Konsep dasar Aliran Formalisme Rusia menitikberatkan pada
pandangan bahwa, karya sastra mempunyai bahasa yang khas. Begitupun, aliran ini
hanya menyentuh pada kajian instrinsik karya sastra. Sebab, menurutnya karya
sastra tidak bisa dihubungkan dengan ilmu-ilmu yang lain dan tetap fokus pada
otonomisasi tanda sebuah teks. Tokoh-tokoh yang mempelopori kelompok kajian ini
antara lain, Roman Jakobson, Shklovsky, Eichenbaum dan Jurij Tynjanov. Mereka
cukup lama tidak dikenal di Eropa Barat dan Amerika Serikat karena
karya-karyanya diterbitkan dalam bahasa Rusia, kemudian sesudah tahun 1930
dilarang oleh Joseph Stalin yang menganggap aliran ini sangat bertentangan
dengan ajaran-ajaran Marxis (Teuuw, 2003: 107).
Formalisme Rusia terbentuk dari sebuah perkumpulan yang
dikenal dengan OPOJAZ (Obcestvo izucenija Poeticeskogo Jazzyka) atau Masyarakat
Studi Puitika Bahasa yang didirikan di St. Petersburg. Aliran ini didirikan
pada tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Viktor Shklovsky dan Jurij Tynjanov.
OPOJAZ ini tidak berdiri sendiri dalam menghasilkan pemikiran Formalisme Rusia,
kelompok lain yang ikut bergabung ialah Lingkaran Linguistik Moskow yang
didirikan oleh Roman Jakobson, Peter Bogatyrev serta G.O Vinokur pada tahun
1914 (Susanto, 2012: 141). Istilah Formalisme diambil dari kata “form”
bentuk atau isi dan mendasarkan pada pendekatan linguistik.
Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra,
dengan cara meneliti unsur-unsur kesusastraan, puitika, asosiasi, oposisi dan
sebagainya. Metode yang digunakan, baik dalam kebiasaan formalisme, bahkan
sesudah menjadi strukturalisme adalah metode formal. Metode formal tidak
merusak teks ataupun mereduksi melainkan merekontruksi dengan cara
memaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikan teks sebagai satu kesatuan
yang terorganisir (Ratna, 2011:83).
Di satu sisi, formalisme Rusia memiliki beberapa tujuan lain.
Pertama, formalisme Rusia bertujuan untuk menghasilkan satu bidang ilmu
sastra yang independen dan faktual. Tujuan ini dikenalkan lewat istilah yang
disebut puitika (poetics). Kedua, karena karya sastra
bermediumkan bahasa, linguistik menjadi fondasi utama atau elemen utama dalam
ilmu sastra. Ketiga, sastra memiliki satu otonomi khusus dari dunia
eksternalnya sehingga bahasa sastra dibedakan dari bahasa yang digunakan
sehari-hari. Keempat, sastra memiliki sejarahnya sendiri, yakni sejarah
yang inovatif dalam struktur-struktur formalnya dan hal itu didominsai oleh
dunia eksternalnya, atau sejarah materialnya. Kelima, sebuah karya
sastra tidak dapat dipisahkan dari maksud atau isi karya itu sendiri, yang
termanifestasi dalam bentuk dan struktur. Manifestasi itu merupakan
elemen-elemen fakta yang mengisi karya itu (Susanto, 2012:142). Kerangka
pemikiran formalisme Rusia ini mampu mengembangan kajian sastra dalam
persfektif linguistik. Dari sini, disiplin semiotika berhasil muncul pasca revolusi
yang mengatasnamakan dirinya sebagai aliran semiotika Rusia. Roman Jakobson
adalah salah satu yang mengembangkan teori semiotika Rusia.
2.
Daftar Bacaan
Ratna,
Nyoman Kutha. 2011. Teori,
Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogykarta: Pustaka
Pelajar.
Susanto,
Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: CAPS.
Teeuw,
A. 2003. Sastera dan ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.
E.
TEORI
STRUKTURAL GENETIK
1.
Konsep Teori Strukturalisme Genetik
Orang yang dianggap sebagai peletak dasar madhab genetik adalah Hippolyte
Taine (1766-1817) seorang kritikus dan sejarawan Francis. Ia mencoba menelaah
sastra dari presfektif sosiologis dan mencoba mengembangkan wawasan sepenuhnya
ilmiah dalam pendekatan sastra seperti halnya ilmu scientific dan exacta. Menurutnya
bahwa sastra tidak hanya karya yang bersifat imajinatif dan pribadi melainkan
suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu lahir. Ini merupakan
konsep ginetik pertama tetapi metode yang digunakan berbeda, setiap tokoh
mempunyai metodenya masing-masing. Tetapi kesamaan konsep setruktur hanya pada
konteks hubungan phenomena konsep. Lucien Goldman (1975) seorang Marksis adalah
orang yang kemudian mengembangkan fenomena hubungan tersebut dengan teorinya
yang dikenal dengan strukturalisme genetic. Pada prinsifnya teori ini
melengkapi sutrukturalisme murni yang yang hanya menganalisis karya sastra dari
aspek intristiknya saja dan memakai peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang
khas.
Teori Strukturalisme Genetik adalah analisis struktur dengan
memberikan perhatian terhadap asal-usul karya (Chalima, 1994). Strukturalisme
genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog
Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The
Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Paskal and the Tragedies
of Racine (Chalima, 1994). Strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di
dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi pendekatan strukturalisme
murni yang anti historis dan kausal. Pendekatan strukturalisme juga dinamakan
sebagai pendekatan objektif (Juhl dalam Arif, 2007).
Teori strukturalisme genetik menjelaskan struktur dan asal
muasal struktur tersebut dengan memperhatikan relevansi konsep homologi yaitu
kelas sosial yang mempertahankan relevansi struktur dan ia menggunakan metode
dialektika yang menekankan dan merpertimbangkan koherensi struktural dalam
teori ini menekankan subjek transindividual yang berarti sebagai subjek dalam
menciptakan karya sastra yakni penulis harus bisa menyampaikan perasaan dan
pikiranya kepada pembaca dalam karya sastra misalnya supaya pembaca bisa
memahami dan mengerti apa yang disampaikan penulis dan terjadi sama rasa dan
pikiran dalam memahami karya sastra dan pandangan dunia pengarang terhadap
subjek kolektif (transindividual subject) dan fakta manusia.
Untuk menopang teorinya tersebut Goldmann membangun
seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain sehingga membentuk
apa yang disebut sebagai strukturalisme genetik di atas. Kategori-kategori itu
adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia,
pemahaman dan penjelasan (Faruk dalam Chalima, 1994).
1. Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktifitas atau perilaku manusia baik yang
verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta
ini dapat berwujud aktifitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu,
maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan seni
sastra (Faruk dalam Chalima, 1994). Fakta-fakta kemanusiaan pada hakikatnya
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fakta individual dan fakta sosial.
Fakta yang kedua mempunyai peranan penting dalam sejarah, sedangkan fakta yang
pertama tidak memiliki hal itu (Faruk dalam Chalima, 1994). Goldmann (Faruk dalam
Chalima, 1994) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu
struktur yang berarti. Yang dimaksudkannya adalah bahwa fakta-fakta itu
sekaligus mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu. Oleh karena itu,
pemahaman mengenai fakta-fakta kemanusiaan harus mempertimbangkan struktur dan
artinya. Goldman (Faruk dalam Chalima, 1994) juga mengatakan bahwa fakta-fakta
kemanusiaan mempunyai arti karena merupakan respon-respon dari subjek kolektif
atau individual, pembangunan suatu percobaan untuk memodifikasi situasi yang
ada agar cocok bagi aspirasi-aspirasi subjek itu. Dengan kata lain, fakta-fakta
itu merupakan hasil usaha manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam
hubungannya dengan dunia sekitar .
2. Subjek kolektif
Subjek kolektif adalah subjek yang berparadigma dengan subjek fakta sosial
(historis). Subjek ini juga disebut subjek trans individual. Goldmann
mengatakan (Faruk dalam Chalima,1994) revolusi sosial, politik, ekonomi, dan
karya-karya kultural yang besar, merupakan fakta sosial (historis). Individu
dengan dorongan libidonya tidak akan mampu menciptakannya. Yang dapat
menciptakannya hanya subjek transindividual. Subjek transindividual adalah
subjek yang mengatasi individu, yang didalamnya individu hanyalah merupakan bagian.
Subjek trans individual adalah kumpulan individu-individu yang tidak berdiri
sendiri-sendiri, merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas.
3. Struktur Karya Sastra
Struktur karya sastra, dalam hal ini roman, tetap menjadi sesuatu yang penting.
Struktur roman merupakan hal pokok yang harus diketahui dan dianalisis lebih
dulu sebelum menganalisis pandangan dunia pengarang. Struktur roman adalah
hal-hal pokok dalam roman yang meliputi unsur-unsur intrinsiknya. Di dalam
eseinya yang berjudul The Epistemology of Sociology, Goldmann
mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya yaitu pertama
bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. dan
kedua bahwa dalam usahanya dalam mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang
menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasirelasi secara imajiner
. Dengan mengemukakan dua hal tersebut Goldmann dapat membedakan karya sastra
dari filsafat dan sosiologi. Menurutnya filsafat mengekspresikan pandangan
dunia secara konseptual, sedangkan sosiologi mengacu pada empirisitas (Chalima
dalam Faruk, 1994).
Dalam eseinya yang berjudul The Sociology of Literature: Status and Problem
Method Goldmann mengatakan bahwa dalam hampir seluruh karyanya penelitian
dipusatkan pada elemen kesatuan, pada usaha menyingkapkan struktur yang
koheren dan terpadu yang mengatur keseluruhan semesta karya sastra (Faruk
dalam Chalima,1994).
4. Pandangan Dunia
Goldmann (dalam Endraswara, 2003:57) berpendapat, karya sastra sebagai struktur
bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis,
tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian,
dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang
menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui
pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya
sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan
masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian
unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang.
Pandangan dunia menurut Goldmann adalah istilah yang cocok
bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan
perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggotaanggota suatu
kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannyadengan kelompok-kelompok
sosial lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia itu berkembang
sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi subjek
kolektif yang memilikinya.
2.
Daftar Bacaan
Arif.
2007. “Strukturalisme Genetik” (online), (http://arif-irfan-fauzi.blogspot.com,
diakses tanggal 20 Desember 2015).
Chalima,
Nur.1994. “Novel senja di jakarta sebuah analisis strukturalisme Genetik”. Skripsi.
Surabaya : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga
Eagleton.
2007. Teori Sastra. Jakarta: Jalasutra.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Wellek,
Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (penerjemah Melani Budianta).
Jakarta: PT Gramedia.
F. TEORI
POSTMODERNISME
1.
Postmodernisme: Pengertian dan Konseptualisasi
Pencetus pemikiran
postmodernist, pertama kali adalah Arnold Toynbee pada tahun 1939. sedangkan
Charles Jencks menegaskan juga bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari
tulisan seorang Spanyol Frederico de
Onis. Dalam tulisannya
Antologia de
la poesia espanola
e hispanoamericana (1934),
Yang memperkenalkan istilah postmodernisme untuk menggambarkan reaksi
dalam lingkup modernisme (Benhabib, 1984: 111). Toynbee dianggap sebagai pencetus istilah tersebut
dibuktikan dengan bukunya yang terkenal berjudul Study of History. Pada tahun 1960, istilah postmodernisme berhasil menembus benua Eropa
sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut.
Semisal J. Francois Lyotard, adalah satu
contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil
menggarap karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition” sebagai
kritikan atas karya “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng
hayalan hasil karya masa Modernitas. Berdasar konseptualisasi ini --jika
disepakati-- maka sekarang (tahun 2011)
“kita” berada dalam zaman
postmodern. Suatu zaman, di mana pramodern dan modern telah dilewati.
Postmodernisme
adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Zaman
modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas,
strukturalisasi/ sistematisasi (Leahy, 1985: 271), universalisasi tunggal dan
kemajuan saints Postmodern memiliki ide cita-cita, ingin meningkatkan kondisi
sosial, budaya dan kesadaran akan semua
realitas serta perkembangan dalam berbagai bidang. Postmodern mengkritik
modernisme yang dianggap telah menyebabkan sentralisasi dan universalisasi ide
di berbagai bidang ilmu dan teknologi, dengan pengaruhnya yang mencengkram kokoh dalam bentuknya globalisasi dunia.
Prinsip
postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar
budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, antara
simbol dan realitas, antara universal dan peripheral dan segala oposisi biner
lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat
konvensional. Jadi postmodern secara
umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala
bidang. Postmodernisme merupakan intensifikasi (perluasan konsep) yang dinamis, yang merupakan upaya terus menerus untuk mencari kebaruan,
eksperimentasi dan revolusi kehidupan, yang menentang dan tidak percaya pada
segala bentuk narasi besar (meta naratif),
dan penolakannya terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala
bentuk pemikiran totalitas, dan lain-lain. Postmodern dalam bidang filsafat
diartikan juga segala bentuk refleksi kritis atas paradigma modern dan atas
metafisika pada umumnya dan berusaha untuk menemukan bentuknya yang
kontemporer.
Postmodernisme jika diperhadapkan dengan
modernisme, memiliki posisi yang beragam. Disatu sisi modernisme dianggap tidak berhasil mengangkat martabat
manusia modern. Bahkan mengantarkan manusia ke jurang ketimpangan. Atas dasar kritik ini, maka perlu gerakan dan ide-ide baru yang
disebut dengan postmodernisme. Sedang sebagian lagi beranggapan, postmodernisme
adalah pengembangan dari modernita. Perbedaan pendapat dua
kelompok mengenai pemahaman Post-modernisme cukup berbeda secara signifikan.
Satu konsep mengatakan bahwa modernisme berseberangan dengan postmodernisme
bahkan terjadi paradoks yang kontras. Sedang yang lain menganggap bahwa
postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, seperti pijakan tangga
yang satu dengan tangga berikutnya secara berurutan. Dalam konsep ini kita
tidak dapat masuk jenjang tangga postmodernisme tanpa melalui tahapan tangga
modernisme (Turner, 2000)
Di tengah perdebatan dua konsep di atas, terdapat
pendapat ketiga yang ingin menengahi dua pendapat yang kontradiktif tadi. Kata
“Post” dalam sebutan postmodernisme
bukan hanya berarti “setelah” (masa berikutnya), postmodernisme adalah
usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu
saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah
akibat dari tekanan yang bersumber dari nalar intelektual manusia yang terus
bermetamorfosis. Disinilah postmodernisme muncul sebagai sebuah ide ke dalam
kancah perdebatan dengan berbagai lingkup Diskursus dan dengan segala dimensinya.
Berkaitan dengan postmodernisme mengandung sejumlah konseptualisasi yang kompleks. Postmodernisme
memiliki pengertian yang cukup ambigu. Postmodernisme merupakan gabungan dan peleburan
dari berbagaia gaya pemikiran filosofis. Yang kesemuanya dirangkum dan diikat
oleh sebuah nalar unik dan seolah – olah tiada batasan dengan rambu-rambu yang konkret dan jelas.
Kerangka konseptual itu misalnya ruang diskursive yang dikaji,
persoalan-persoalan yang dicoba ditemukan jawabannya oleh kaum posmodernisme
dan teori-teori posmodernisme yang dilontarkan oleh para teoritikus ilmu
pengetahuan. Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan
ide-ide zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio,
objektivitas, totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi, universalisasi tunggal
dan kemajuan saints.
Ciri dari
postmodern adalah melingkupi hal-hal secara konseptual ide melakukan kritik
ideologi iolmu pengetahuan modern yang meliputi: pengangkatan derajad martaba
manusi. bahasa semoitotik Hermeneutik, Filologi
sebagai language game. merupakan
ide-ide cemerlang yang menjadi daya dorong
kebangkitan golongan tertindas, seperti golongan ras, gender, kelas
minoritas secara sosial yang tersisihkan. Ide tentang tumbuhnya kesadaran akan
pentingnya interdependensi secara radikal dari semua pihak dengan cara
yang dapat dan memungkinkan terpikirkan oleh manusia sehingga hal- hal yang
mapan dan permanen harus di
dekonstruksi.
2.
Daftar Bacaan
Benhabib, Seyla. 1984. Epistemologies of Postmodernism: A
Rejoinder to Jean - Francois Lyotard. Autum: Telos press.
Leahy, Louis. 1985. Manusia Sebuah
Misteri;sintesa filosofis makhluk paradoks. Jakarta: Gramedia.
Turner, Bryan S. 2000. Teori-teori
Sosiologi Modernitas Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
G.
TEORI DEKONSTRUKSI
1.
Konsep Teori
Dekonstruksi
Sebagaimana kita tahu, pemikiran Barat selalu
menunjukkan terjadinya pertarungan antara Metos dan Logos.
Pada zaman modern, Logos nampak menguasai pemikiran manusia. Para filsuf
berdebat tentang dasar-dasar, asas-asas, eidos, aarche, telos
energeia, ousia (hakikat, eksistensi, substansi, subjek), aletheia, transendentalitas,
kesadaran atau suara hati, Allah, manusia dan seterusnya. Mereka menganggap bahwa
dengan berhasil menjelaskan konsep tersebut berarti mereka telah menguasai
realitas. Sampai sekarang jika kita lihat bahwa bagi tradisi metafisis segala
sesuatu yang hadir juga dan seandainya terdapat sesuatu yang hadir maka tanda
adalah sarana untuk menghadirkannya.
Derrida menolak pandangan tersebut, justru
menurutnya tanda, kata, atau konsep tidaklah menghadirkan “Ada”, melainkan
hanya merupakan “bekas”(trace). Derrida berusaha memikirkan tanda
sebagai trace, yakni suatu yang sebelumnya sudah dipakai sebagai
istilah teknis dalam filsafat, pada Plotinos misalnya dan di zaman kita
sekarang pada Heidegger dan terutama Levinas. Tidak mudah menjelaskan maksud
dari istilah ini. Yang penting di sini adalah bahwa sebuah bekas tidak
mempunyai substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak
dapat dimengerti terpisah (terisolir dari segala sesuatu yang lain), tetapi
hanya sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Bagi Derrida, bekas mendahului
objek. Bekas itu sebenarnya bukan efek, melainkan penyebab. Paham ini
memungkinkan untuk memikirkan kehadiran sebagai efek dari bekas itu. Dengan
demikian, kehadiran tidak lagi merupakan sesuatu yang asali, melainkan
diturunkan dari bekas (Bertens, 1985: 495). Karena metafisika modern bertumpu
pada pandangan tersebut, maka ia harus didekonstruksi jika mengiginkan solusi
atas delema modernitas.
Derrida memandang bahwa pandangan para filsuf
Barat, dari Plato hingga Rousseau, dari Descartes hingga Husserl, juga masih
dikungkung oleh tradisi berpikir “logosentrisme”. Logosentrisme artinya
mempercayakan sepenuhnya pada logos atau rasio. Ciri yang menonjol dari tradisi
logosentrisme ini adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi biner yang
bersifat hirarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksidensi, jiwa/badan, makna/bentuk,
transenden/empiris, positif/negatif, bahasa lisan/bahasa tulisan,
konsep/metafor, dan seterusnya) dengan anggapan bahwa yang pertama merupakan
pusat, asal-muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedang yang kedua
hanya sebagai derivasi, manifestasi pinggir, dan sekunder dalam kaitannya
dengan yang pertama (Sahal, 1994: 19).
Menurut Derrida, tugas dekonstruksi adalah untuk
menghilangkan
ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat, yaitu ide yang mengatakan bahwa rasio bisa lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. meskipun filsafat mencoba menyingkirkan karakter tekstual atau “tertulis”-nya, namun tanda-tanda (signs) pertempuran tersebut masih tetap terpampang jelas di dalam berbagai kelemahan metafor dan strategi retorikal filsafat lainnya.
ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat, yaitu ide yang mengatakan bahwa rasio bisa lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. meskipun filsafat mencoba menyingkirkan karakter tekstual atau “tertulis”-nya, namun tanda-tanda (signs) pertempuran tersebut masih tetap terpampang jelas di dalam berbagai kelemahan metafor dan strategi retorikal filsafat lainnya.
Kritik tersebut juga diarahkan pada
logosentrisme yang dicirikan oleh dominannya konsep totalitas dan konsep
esensi. Konsep totalitas merupakan ide yang menyatakan akan kesatuan realitas.
Konsekuensinya dari pemahaman ini adalah adanya pengetahuan yang menindas,
karena memaksa manusia masuk ke dalam sistem. Konsep esensi adalah konsep
tentang pengetahuan yang mendasari sesuatu. Konsep ini pada akhirnya menimbulkan
dogmatisme dan melegitimasi kekuasaan mutlak rasio.
Karena itu, banyak pemikiran Derrida beranjak
dari pengandaian adanya sesuatu di antara kedua kategori oposisional, yang
disebutnya kediantaraan (in-betweenness). Dalam hal ini ia mengingatkan
kemungkinan semacam itu selalu terjadi karena adanya kecenderungan pengelakan
dan ketakdapatditentukannya (undecidability) realitas. Suatu
ketidakdapatditentukan adalah sesuatu yang tak dapat cocok terhadap kedua
polaritas dari sebuah dekotomi, misalnya zombie, yang berada antara hidup dan
mati, atau androgini, yang berada di antara laki-laki dan perempuan, maupun
orang asing yang berada di antara teman dan musuh. Bahkan, seringkali realitas
bisa saja menunjukkan sekaligus tidak berada dalam keduanya sehingga bisa sekaligus
berarti berada dalam keduanya pada saat yang sama.
Dengan demikian, ketakdapatditentukan
mengacaukan struktur biner dari pemikiran metafisis karena membuat struktur
oposisi either/or tersingkir. Ketakdapatditentukan menempuh
segala jalan, tapi tak memihak. Pembuyaran kepastian ini lalu sekaligus menjadi
pembyaran metafiska juga. Oleh karena itulah filsafat Derrida ini kerap disebu
anti-fondasionalisme. Di samping itu, Derrida juga mengkritik phonosentrisme
yang lebih mengutamakan ujaran dibanding tulisan (speech/writing). Suara adalah
pokok, sementara tulisan hanyalah derivasi belaka (Danujaya, 2004).
2.
Dekonstruksi dan Kritik Epistemologi
Pandangan logosentrisme berimplikasi pada
pandangan epistemologi modern yang ditandai dengan dikotomi subjek-objek.
Ketika peranan subjek demikian besar, maka objek akan menjadi bahan eksploitasi
bagi subjek. Dengan rasionya, subjek akan menjadi penentu validitas kebenaran.
Demikian, karena metafisika telah mempengaruhi pandangan epistemologisnya. Ciri
yang paling menunjol adalah dominasi subjek dan kebenaran yang absolut, yaitu
kebenaran yang tunggal, umum dan universal. Kebenaran yang demikian tentunya
sangat berbahaya, karena akan menjadi tempat persembunyian kepentingan
kekuasaan antara pihak yang satu atas pihak yang lain.
Dalam perspektif Derrida, kecenderungan filsafat
selama ini adalah mencari kebenaran absolut, sehingga mengabaikan pengertian
bahasa yang digunakan untuk menyusun konsep dan teori. Filsafat percaya bahwa
konsep dan teori mampu mempresentasikan kebenaran seperti apa adanya. Oleh
karena itu, praksis dan etika kehidupan publik manapun harus mendasarkam
dirinya di atas konsep filosofis yang kuat klaim kesahihannya. Demikianlah yang
diyakini para filsuf seperti Plato, Hegel, Marx, dan Teori Kritis Mazhab
Frankfurt (Santoso, 2003: 252). Derrida menginginkan kebenaran itu tidak harus
dibatasi pada kebenaran tunggal, umum, dan universal, karena dalam kenyataaanya
kebenaran itu bersifat plural, partikular, dan relatif. Untuk merealisasikan
gagasan sekaligus kritiknya atas modernitas, Derrida mengungkapkannya dalam
metode dekonstruksi dan uraian tentang “differance”.
Istilah difference berperan
utama sebagai pengacau dalam mengobrak-abrik gagasan-gagasan Husserl. Istilah
ini pertama-pertama diperkenalkan dengan cara mendeskripsikan elemen-elemen
pertandaaan tak-bermaksud (non-intent), yang merujuk pada wilayah
rasa (sense) indikatif, tanpa melewati refleksi yang sadar.
Logika Derrida sebenarnya sederhana saja, tetapi punya tenaga perusak yang
sangat besar. Bahasa dapat memenuhi syarat-syarat kehadiran-diri sebuah makna,
kalau dia bisa menyediakan akses total dan langsung ke dalam pikiran yang telah
memberi kesempatan bagi bahasa agar bisa dituturkan.
Tetapi ini adalah syarat yang tak mungkin
dipenuhi. Kita tidak akan bisa memiliki apa yang disebut Derrida sebagai
“intuisi primordial tentang pengalaman langsung yang lain”. Dalam bentuk
apapun, harus diakui bahwa bahasa akan selalu gagal mencapai tujuan
kehadiran-diri ekspresif. Bahasa harus selalu memakai karakter indikatif yang
memadai ketertangguhan makna. Berdasarkan praduga tradisional, hal ini
barangkali merpakan proses kematian yang sedang terjadi dalam diri tanda-tanda.
Namun sayangnya, tradisi tidak punya apa-apa lagi untuk ditawarkan, karena
motif dan metafor-metafor yang mendasarinya telah dipertanyakan. Di manapun
kehadiran langsung dan utuh tanda-tanda diketahui, hakikat penanda akan selalu
bersifat indikatif (Derrida, 1973: 40).
3.
Dekonstruksi dan Kebenaran
Menurut Derrida, manusia harus menyikapi secara
hati-hati represetasi realitas yang diklaim secara universal mengandung
kebenaran tunggal. Realitas demikian menurutnya dikonstruksi lewat penalaran
yang mendominasi (logosentrisme), bahasa rasional yang mencoba
merepresentasikan dunia yang dikatakan sesungguhnya (real). Bahasa
rasional demikian berupaya menjamin esensi dari segala sesuatu menciptakan
makna dengan metafisika kehadiran. Strategi dekonstruksi membongkar semua itu
bukan dengan hanya menciptakan makna baru kerena pembongkaran makna adalah yang
melibatkan what is dan bukan what isn’t. Oleh
karena itu, konsep difference menjadi penting, konsep yang
mengungkapkan what isn’t bukan berdasarkan perbedaan, namun
secara terus-menerus melakukan penundaan/gap (deffered). Di sini
Derrida mengajukan argumen yang menarik bahwa upaya untuk mendekonstruksi makna
lewat difference dengan cara kerja what isn’t melibatkan
sekaligus perbedaan dan penundaan.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan benar dan
tidak benar di sini? Pertanyaan ini tentunya tidak sesederhana yang
dibayangkan, dan banyak filsuf berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada filsuf
yang menganggap bahwa kebenaran adalah pernyataan, atau yang benar-benar nyata,
atau sebuah persoalan mental dan linguistik. Oleh sebab itu, pembahasan
kebenaran dapat dikatakan merupakan persoalan korespondensi (dengan fakta,
situasi, realitas, keadaan, dan sebagainya), atau koherensi. Pada dasarnya,
kebenaran itu menurut filsafat modern adalah yang secara natural ada atau
secara objektif ada.
4.
Daftar Bacaan
Bertens, K. 1985. Filsafat
Abad XX Jilid II: Prancis. Jakarta: Gramedia.
Danujaya, Budiarto. 2004. Dekonstruksi dan Kontroversi. Kompas,
Minggu, 17 Oktober 2004.
Derrida,
Jacques. 1973. Speech and Phenomena, and
Other Essays on Hurserl’s Theory of Singns. Northewestern: Northewestern
University Press.
Sahal,
Ahmad. 1994. “Kemudian di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis,
Geneologi, dan Dekonstruksi”, dalam Jurnal Kebudayaan KALAM, no.1 Th. 1994,
Yayasan Kalam Dan Penerbit Pustaka Grafiti, Jakarta.
Santoso,
Heri. 2003. Metode Dekonstruksi Jacques
Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press.
H.
TEORI SEMIOTIKA
1.
Konsep Semiotika
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de
Saussure melalui
dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant
yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada
hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified)
dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk
penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata
lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi,
penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau
didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental,
pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens,
2001:180).
2.
Semiotika
Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure
tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama
bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami
dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order
of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap
mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos”
yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat
kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda
tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos. Secara ringkas teori dari Barthes ini
dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Dalam menelaah tanda,
kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat
dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih
melihat tanda secara denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara
bahasa. Dari pemahaman bahasa ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni
menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini konteks budaya, misalnya, sudah
ikut berperan dalam penelaahan tersebut. Dalam contoh di atas, pada tahap I,
tanda berupa BUNGA MAWAR ini baru dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya
berwujud dua kuntum mawar pada satu tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga
mawar itu memberi petanda mereka akan mekar bersamaan di tangkai tersebut.
Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan untuk masuk ke tahap II, maka
secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar yang akan mekar itu
merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam budaya kita, bunga
adalah lambang cinta? Atas dasar ini, kita dapat sampai pada tanda (sign) yang
lebih dalam maknanya, bahwa hasrat cimta itu abadi seperti bunga yang tetap
bermekaran di segala masa. Makna denotatif dan konotatif ini jika digabung akan
membawa kita pada sebuah mitos, bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi
segalanya.
I.
TEORI HERMENEUTIKA
1.
Konsep
Hermeneutika
Secara etimologis kata hermeneutika (hermeneneutic)
berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti
menjelaskan, menerjemahkan dan mengekspresikan (Sumaryono, 1993). Kata bendanya
hermeneia, artinya tafsiran. Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein
dan hermeneia dipakai dalam tiga makna, yaitu (1) “mengatakan”, to
say (2) ”menjelaskan” to explain dan (3) “menterjemahkan”, to
translate. Tiga makna inilah yang dalam kata Inggris diekspresikan dalam
kata : to interpret. Interpretasi dengan demikian menunjuk pada tiga hal
pokok: pengucapan lisan (an oral ricitation), penjelasan yang
masuk akal (a reasonable explation) dan terjemahan dari bahasa lain (a
reation from another language) (Siswanto, 1998).
2.
Pandangan Hans-George Gadamer
tentang Hermeneutika
Hans-George Gadamer lahir di Marburg
pada tahun 1900. Ia belajar filsafat pada universitas di kota asalnya, antara
lain pada Nikolai Hartmann dan Martin Heidegger dan mengikuti
kuliah juga pada Rodolf Bultmann, seorang
teolog protestan. Gadamer dikenal sebagai seorang penulis kontemporer dalam
bidang hermeneutika yang amat terkemuka. Lewat karya monumentalnya Wahrheit
and Methode: Grundzuge einer Philosophischen Hermeneutik (Kebenaran
dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis menurut garis besarnya) telah
menghantarkan dirinya sebagai seorang filsuf terkemuka di bidang hermeneutika
filosofis. Dalam penjelasan
ontologis hermeneutik, Gadamer menguraikannya dengan proposisi berikut ini:
a. Historikalitas.
Proposisi historikalitas adalah penyadaran bagi subjek (interpretator teks)
dalam melakukan analisis (penafsiran teks) diharuskan untuk tidak terlepas dari
kajian pengalaman- pengalaman (historis) yang berkatian dengan teks. Pemahaman
Gadamer tentang sejarah tidak seperti pemahan orang pada umunya, yang
menganggap sejarah adalah bagian dari teks ”mati” (teks mati adalah pemahan
positivistik yang beranggapan sejarah itu mati dan tidak berkontribusi bagi
masa kini atau masa depan). Bagi Gadamer, sejarah adalah objek dinamis yang
perlu dikaji oleh subjek dalam menentukan objektivitas teks (objek).
b.
Prasangka Historikalitas
Proposisi ini berangkat dari pemikiran Heidegger yang beranggapan dalam
penafsiran sejarah, diusahakan subjek melakukan visualisasi dan imajinasi
pemikiran.Gadamer mendefinisikan penjelasan tersebut adalah kerja prasangka
subjek. Subjek dalam mengalisis pengalaman diberi kesempatan untuk melakukan
prasangka atas sejarah teks. Menurut Heidegger, dalam penafsiran sejarah,
subjek tidak berangkat dengan otak kosong, subjek harus berangkat dari
prasangka, ide dan gagasan. Tanpa hal tersebut subjek tidak bisa menggiring
sejarah pada posisi dinamisasi. Karena pada intinya, kerja hermeneutika adalah
kerja dialogisasi. Oleh karean itu sejarah harus dibentuk sebagai objek
dinamisasi melalui prasangka subjek. Prasangka subjek adalah pertanyaan awal
atas objek. Ingat, pertanyaan atau prasabgka hanyalah proses bukan akhir.
c.
Dialogisasi Hermeneutika
Propoisi ini menjadi hal yang penting dalam hermeneutika Gadamer dengan
alasan, pertama,melalui dialogisasi
subjek dan objek mampu menghindari pemahaman dogmatisasi atas kebenaran
(menurut Gadamer, dogmatisasi adalah istilah haram dimliki oleh
hermeneutikasian),kedua, dialog
adalah prasyarat utama dalam membahasakan teks, ketiga, dialog adalah prsayat utama dalam menemukan titik tengah
atas multitafsiran teks.
d.
Linguistikalitas Hermeneutik.
Bagi Gadamer, dalam hermeneutika bahasa menjadi kata kunci utama setelah
dialogisasi. Bahasa dalam pandangan Gadamer tidak seperti yang dipahami oleh
orang pada umumnya. Menurut Gadamer, bahasa adalah individu dan struktur sosial
(tradisi, budaya, norma, dan nilai). Bahas berperan penting bagi pembentukan
prilaku subjek maupun teks. Oleh karena itu memahami bahasa adalah memahami
teks.
Bagi Gadamer manusia tidak akan bisa
menemukan kebenaran sejati (kebenaran aksiomatik), sekalipun menggunakan
filsafat hermeunitika seperti yang diuraikan sebelumnya. Inilah inti dari
ajaran hermeunitika Gadamer. Pertanyaanya, jika tidak dapat menemukan kebenaran
lalu apa tujuan hermeunitika? Kenapa Gadamer mengatakan tidak ada kebenaran
sejati. Berikut penjelasan Gadamer.
Apa yang ada di dalam pernyataan bukanlah cara yang tepat
untuk mengatakan apa yang dimaksudkan seseorang karena peristiwa pemahaman
bahasa sekaligus memuat apa yang dikatakan ketidakterbatasan dari apa yang tak
terkatakan dalam satu kesatuan dengan ketidakterbatasan dari apa yang tak
terkatakan dalam satu kesatuan makna, sehingga dengan cara demikian membuatnya
dapat dimengerti.Tepatnya dengan cara ini apa yang tak terkatakan dan apa yang
akan dikatakan sama- sama terkandung dalam bahasa. Maka kata- kata akan
mengungkapkan suatu hubungan tertentu dengan totalitas ada dan membiarkannya
masuk ke dalam bahasa itu sendiri. Sebaliknya, setiap orang yang hanya
mengulangi apa yang sudah dikatakan tersebut karena didalam setiap pengulangan,
ungkapan asli mengenai konteks makna yang tidak dibicarakan menghilang
(Gadamer, 2004).
Sudah jelas, bagi Gadamer esensi kebenaran adalah relatif, yaitu tergantung
bagaimana orang menafsirkannya, dan dalam konteks mana teks itu muncul. Ingat,
kebenaran teks adalah kebenaran kontekstualitas bukan universalisisme seperti
kaum positivistik memahaminya. Oleh karena itu, Gadamer mewajibkan kepada siapun,
jika ingin memahami teks maka pahamilah sejarah munculnya teks itu. Inilah
kunci utama Gadamer dalam ilmu hermeunitika.
Berdasarkan
landasan keilmuan sebetulnya tidak ada perbedaan anatara hermeneutika dengan
penafsiran, karena merupakan pisau analisa atau alat bedah dari metode tafsir
dan interpretasi. Sehingga Gadamer memandang hermeneutika sebagai gerbang
tafsir atas kondisi material, objektif dan struktural yang berusaha menemukan
makna dalam lingkup teks. Dengan kalimat lain, hermeneutika adalah teori
penafsiran.
3.
Daftar Bacaan
Bleicher, Josef.
2005. Hermeneutika Kontempores:
Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. Yogyakarta: Fajar
Pustaka.
Darmaji, Agus.
1999. Pergeseran Hermeneutik Ontologis
Melalui Bahasa dalam Pemikiran Hans Georg Gadamer. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Gadamer,
Hans-Goerg. 2004. Kebenaran dan Metode:
Pengantar Filsafat Hermeneutika (diterjemahkan Ahmad Sahida dari judul Truth
and Method). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswanto, Joko. 1998. Sistem-sistem Metafisika Barat dan Aristoteles sampai Derrida. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sumaryono,
E.. 1993. Hermeneutika Sebuah Metode
Filsafat. Jakarta: Kanisius.
J.
TEORI MIMPI
1.
Konsep Teori Mimpi Sigmund Freud
Sigmund Freud yang membuka babak baru disepanjang usianya
mulai dari tahun 1856 sampai 1939 (Sundberg, Winebarger, & Taplin, 2007).
Banyak pemikiran dan gagasannya dalam teori psikologi yang begitu substansial
sekaligus kontroversial (Alwisol, 2006). Ia telah menuai berbagai macam
tanggapan, mulai dari pujian dan kekaguman hingga kritik dan celaan dari
berbagai kalangan. Salah satu maha karya revolusioner buah pemikirannya adalah
buku “The Interpretation of Dream” atau Tafsir Mimpi yang terbit pada bulan Desember
dengan angka tahun terbit 1900 .
Pada pergantian abad di Wina, Austria, Dr. Sigmund Freud
mengklaim bahwa ia menemukan pintu baru menuju alam bawah sadar, dengan cara
meminta pasiennya untuk menceritakan apa yang ada di dalam pikirannya atau
mimpinya semalam, sigmund freud percaya bahwa ia dapat menafsirkan makna yang
terkandung dalam sebuah mimpi dengan menggunakan teknik-teknik psikologis
tertentu. Dalam klaimnya tersebut Freud berpendapat bahwa tujuan dari
mimpi-mimpi yang dialami manusia adalah untuk sarana memuaskan atau pemenuhan
hasrat (wish fulfillment) dari dorongan insting alamiah yang tidak bisa
diterima oleh masyarakat seperti agresi, kekerasan, atau dorongan seksual.
Di dalam buku “The Interpretation of Dream” Freud juga
menjanjikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika kepribadian manusia.
Terminologi dan gagasannya menyerap dalam kehidupan kontemporer umat manusia.
Freud mengajari umat manusia untuk menyadari setiap tindakan dan perasaan yang
terkadang kita anggap tidak bermakna seperti selip lidah (slip of tongue) dan
tentu saja mimpi. Freud berusaha untuk menciptakan metode tafsir mimpi untuk
mengungkap makna sebenarnya dari tindakan manusia yang tampak tak bermakna dan
tidak disadari sepenuhnya.
Maha karya freud tentang mimpi dimulai pada tahun 1887
ketika dia mengamati sejumlah wanita muda yang menderita gejala histeria.
Sebuah gejala kompleks yang membingungkan mulai dari rasa sakit/nyeri, kedutan,
hingga lumpuh total (paralyzed). Dia semakin yakin bahwa gejala tersebut muncul
akibat pembelaan dan pengingkaran yang rumit terhadap rasa sakit dari syok
fisik akibat trauma masa lalu yang terlupakan. Ketika itu Freud gagal merawat
pasien histeria dengan menggunakan teknik hipnosis. Namun demikian, ketika
pasiennya mulai menceritakan tentang mimpi-mimpinya, Freud semakin tertarik dan
penasaran. Ia semakin yakin bahwa ada peran yang dimainkan oleh mimpi dalam
mengungkap trauma tersembunyi. Saat Freud menafsirkan mimpi, dia bertanya pada
pasien mengenai apa yang bisa diingatnya. Mimpi yang diingat tersebut oleh
Freud disebut dengan “isi jelas dari mimpi” atau “The manifest content of
dream”. Selanjutnya, dia minta pasiennya untuk menghubungkan elemen-elemen
mimpinya dan itu berarti pasiennya harus menceritakan setiap hal yang terlintas
di benaknya yang terkait dengan mimpi secara keseluruhan maupun rinciannya.
Penafsiran freud tentang makna mimpi didasarkan pada
pemahamannya yang luas mengenai sifat manusia. Freud beranggapan bahwa manusia
merupakan hewan egois yang memiliki dorongan agresif dan hasrat mencari
kenikmatan. Kemudian, manusia belajar untuk menekan dorongan hewani itu ketika
dewasa untuk dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Tapi kita (manusia)
tidak pernah benar-benar dapat menaklukkan insting primitif itu. Menurutnya,
struktur kepribadian manusia terdiri dari tiga bagian: (1) diri hewani yang
mengandung inti jiwa yang disebut dengan “id”; (2) “ego” sebagai diri rasional;
dan (3) “superego” sebagai representasi tekanan dari masyarakat mengenai apa
yang benar (ego ideal) dan salah (conscience). Diri “id” sudah terbentuk sejak
manusia itu lahir, sedangkan “ego” dan “superego” terbentuk setelahnya dari
kebutuhan untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
Seringkali “superego” dan “id” saling berkonflik satu sama lain.
Freud memandang jiwa sebagai medan perang yang penuh konflik
dengan berbagai komponen kepribadian yang saling berjuang tanpa henti. Perasaan
akan ditekan ketika “ego” atau “superego” terlalu mendominasi “id”. Baginya,
perasaan dan emosi yang ditekan dan tidak terekpresikan dengan baik akan
menimbulkan permasalahan.
Lebih lanjut, dalam buku “The Interpretation of Dream” Freud
memberikan formula yang bisa merasionalkan mimpi yang paling membingungkan
sekalipun. Teorinya tersebut mengandalkan bagian dari pikiran yang berfungsi
sebagai sensor, sensor yang berfungsi untuk mengedit mimpi-mimpi kita. Jika
kita memimpikan pemenuhan hasrat yang sebenarnya, freud mengatakan, “hal itu
akan menimbulkan emosi, dan emosi kuat yang tercipta akan membangunkan kita.”.
Oleh karena itu, sensor tersebut mengubah isi mimpi yang menyamarkan makna
sebenarnya. Freud menyebut proses penyamaran makna ini sebagai transformasi
hasrat atau “Dreamwork”, yang terdiri dari beberapa proses. (1) Displacement,
menggeser emosi dari satu gagasan ke gagasan lainnya. (2) Condentation,
meleburkan banyak gagasan menjadi sebuah simbol. Bersama (3) symbolization dan
(4) projection komponen “dreamwork” bergabung untuk mengubah gagasan-gagasan
mimpi yang sebenarnya menjadi gambaran mimpi yang lebih bisa diterima. Setelah
sensor menyelesaikan “dreamwork”, ego mengatur komponen-komponen aneh mimpi
agar mimpi memiliki makna. Proses ini yang kemudian oleh Freud disebut sebagai
manifestasi mimpi.
Proses penafsiran mimpi melibatkan penguraian isi “nyata”
untuk menemukan makna sebenarnya dari mimpi yang tersembunyi atau isi “mimpi
terpendam”. Tafsir mimpi dalam buku Freud sebagian besar bertemakan tentang
bagaimana manusia hidup dengan sebuah kehilangan. Bagaimana merasionalkan masa
lalu dengan elemen-elemen masa lalu yang telah hilang, dan bagaimana manusia
menyimpannya menjadi bentuk yang bermakna untuk kehidupan yang sekarang.
K.
TEORI
HEGEMONI
1.
Konsep Toeri Hegemoni Gramci
Titik awal konsep
Gramci tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan ke
kuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi,.
Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, the Prince (Sang
penguasa), Gramsci menggunakan centaur mitologi yunani, yaitu setengah
binatang dan setengah manusia, sebagai simbol dari ‘perspektif ganda’ suatu
tindakan politik kekuatan dan konsensus, otoritas dn hegemoni, kekerasan dan
kesopanan. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaa,
melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan
ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus. Dalam beberapa prgaraf
dari karya Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata direczione (kepemimpinan,
pengarahan) secara bergantian dengan egemonia (Hegemoni) dan
berlawanan dengan dominazione (dominasi). Penggunaan kata hegemoni
dalam penegertian Gramsci harus dibedakan dari makna asalnya dalam bahasa
Yunani, yaitu penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain.
Teori hegemoni Gramsci
adalah salah satu teori politik paling penting abad XX. Toeri ini dibangun
diatas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam
kontrol sosial politik. Di mata Gramsci , agar yang dikuasai tidak hanya harus
merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih
dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah
yang dimaksu gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan kepemimpinan moral
dan intelektual secara konsensual. Dalam konteks ini, Gramsci secara berlawanan
mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok atau beberapa
kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supremasi lain yang dinamakan
“dominasi,” yaitu kekuasaan yang ditopang oleh keuatan fisik. Tentu saja
teori hegemoni bukanlah barang baru dalam tradisi marxis.
Jadi gramsci mengubah
makna hegemoni dari strategi (sebagaimana menurut lenin) menjadi sebuah konsep
yang seperti halnya konsep marxis tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas
dan negara, menjadi sarana unutk memahami masyarakat dengan tujuan mengubahnya,
ia mengambangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaanya sebagai syarat
untuk memperoleh kekuasaan negara kedalam konsepnya tentang hegemoni. Hegemoni
merupakan hubungan antara kelas dengan keuatan sosial lain. Kelas hegemonik,
atau kelompok kelas hegemonik, adalah kelas yang mendaparkan persetujuan dari
keuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan memepertahankan
sistem aliansi melalui perjauangan politik dan ideologis. Konsep ideologis
dibangun degnan memesaukkan beberapa konsep lain yang berkaitan dengannnya.
Itulah sebabnya mengapa definisi yang singkat mengenai hegemoni tidak pernah
memadai.
Kelas yang lebih rendah
hanya dapat menajdi kelas hegemonik degan cara memeperkuat kemapuan untuk
memperoleh dukungan dari kelas dan keuatan sosial lain. Kelas yang lebih rendah
harus mulai melampui aktifitas korporasi dama lingkup setempat, yaitu aktifitas
ketika mereka hanya peduli dengan kepentingan mereka sendiri yang bersifat
sesaat, dan harus bergerak maju menuju fase hegemonik dengan memperhatikan juga
kepentingan kelas kelompok lain. Hubungan antara dua kelas utama, feodal dan
kapitalis, atau kapitalis dan kelas pekerja, bukan merupakan suatu hubungan
oposisi yang sederhana antara dua kelas, tetapi merupakan ancaman dari beberapa
hubungan yang rumit dan melibatkan berbgai kelas kelompok dan kekuasaan sosial
yang lain.
Sejauh ini Gramsci
hanya memberikan difinisi marxis klasik terhadap lahinya sebuah kelas.
Sumbangannya yang nyata terkihat pada anilisisnya mengenai hubungan berbagai
keuatan politik. Ia mengambil contoh munculnya kelas kapitalis, dan membedakan
tiga fase perkembangan kesadaran politik kolektif dan organisasi. Dua fase yang
pertama adalah fase ekonomi-korporasi (sering singkat korporasi). Sedang etiga
adalah fase hegemonik.
Fase pertama dan paling
awal terjadi ketika seorang pedagang merasa perlu bediri sejajar dengan
pedagang lain, seorang pengusaha dengan penguasa yang lain, dan lain sebgainya
; namun pedagang belum merasakan timbulnya solidaritas dari pengusaha. Anggota kelompok
profesional sadar akan kepentingan bersama mereka dan perlunya mereka bersatu,
namun mereka belum menyadari kebutuhan untuk bergabung dengan kelompok lain ke
dalam kelas yang sama.
Kedua yang lebih maju
adalah fase dimana telah tumbuh kesadaran akan kepentingan bersama semua kelas
namun masih dalam bidang ekonomi. Pada tahapan ini masalah negara sudah
diperhatikan, namun hanya sebatas untuk memperoleh persamaan politik dan hukum
dengan kelompok yang berkuasa hak untuk ikut serta dalam peneetapan undang-undang
dan adminstrasi, bahkan untuk mengubahnya memang dalam struktur dasar yanmg
ada.
Fase ketiga adalah fase
hegemoni “dimana orang menajdi sadar bahwa kepentingan perusahannya dalam
perkembangan dimasa sekarang dan mendatang, mellampui batas-batas korporasi
kelas yang bersifat murni ekonomi, dan kepentingan itu dapat harus menjadi
kepentingan dari kelompok yang lebih rendah”. Ini adlah tahap yang murni
politik, ini adalah fase dimana fase ideologi-ideologi yang sebelumnya
terpecah-pecah sekarang bersaing sampai salah satunya , atau gabungan dari
ideologi-ideologi itu, memeng sehingga bisa menyatukan tujuan-tujuan ekonomi,
politik, intelektual dan moral serta persoalan sehingga perjuangan tidk
berlangsung dalam dataran korporasi namun dataran ‘universal’ yang pada
akhirnya terciptalah hegemoni suatu kelompok sosial yang kuat terhadap kelompok
lain yang lebih rendah.
2.
Daftar
Bacaan
Sugiono,
muhadi. 2006. Kritik Antonio Gramsci terhadap pembangunan dunia ketiga. Yoyakarta: Pustaka
Pelajar.
Roger,
Simon. 2004. Gagasan-gagasan politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
Sugiono,
Muhammad. 2006. Kritik Antonio Gramsci terhadap pembangunan dunia ketiga. Yogyakrta:
Pustaka Pelajar.
L.
TEORI
FEMINISME
1.
Konsep
Teori Fenisme Simon de Beauvoir
Simone de Beauvoir adalah tokoh
feminisme modern dan ahli filsafat Perancis yang terkenal pada awal abad ke-20,
ia juga pengarang novel, esai, dan drama dalam bidang politik dan ilmu sosial.
Beauvoir yang lahir di Paris, 9 Januari 1908, memperoleh gelar dalam bidang
filsafat dari Universitas Sorbonne di Perancis, ia lulus tahun 1929. Kemudian
ia mengajar di sekolah menengah di Marseille dan Rouen mulai 1931 hingga 1937,
dan di Paris tahun 1938-1943.
Setelah Perang Dunia, ia muncul sebagai
pejuang pergerakan eksistensialisme, bersama Jean-Paul Sartre dengan karya Les Temp Modernes. Ia dikenal karena
karyanya dalam politik, filsafat, eksistensialisme, dan feminisme, terutama
karya Le Deuxième Sexe yang diterbitkan
pada tahun 1949. Buku tahun 1949 karya eksistensialis Simone de Beauvoir yang
berjudul The Second Sex (bahasa
Perancis:Le Deuxième Sexe) adalah
salah satu karya Beauvoir yang paling terkenal, mengisahkan mengenai perlakuan
terhadap wanita sepanjang sejarah dan sering dianggap sebagai karya utama dalam
bidang filsafat feminis yang menandai dimulainya feminisme gelombang kedua.
Beauvoir meneliti dan menulis buku ini dalam waktu 14 bulan saat ia berusia 38
tahun. Ia menerbitkan buku ini dalam dua volume, dan beberapa bab pertama kali
ditampilkan dalam Les Temps modernes.
Meski buku ini terkenal, Vatikan menempatkan buku ini di Daftar Buku
Terlarang.
Bertolak dari sebuah
pernyataan terkenal dalam buku Simone de Beauvoir, The Second Sex: “One is not
born a woman”–yang menunjukkan perjuangan diri perempuan dalam
eksistensinya. Di sampaikan dalam makalahanya tentang teori Beauvoir
yaitu perempuan sebagai “Other”.
“Kesadaran akan situasi sebagai perempuan berbeda dengan laki-laki membuat
Beauvoir skepts dengan Sartre tentang filsafat manusia yang mendifiniskan
manusia sebagai Subyek. Karena situasi perempuan tersebut yang didefinisikan
oleh budaya dan masyarakat (dan bukan oleh dirinya sebagai Subyek itu sendiri),
membuat relasi laki-laki terhadap perempuan sebagai yang “diluar” dirinya,
sebagai seks semata (bukan manusia). Sebab, perempuan di definisikan dengan
referensi kepada laki-laki dan bukan referensi kepada dirinya sendiri dengan
demikian perempuan adalah insidentil. Semata, tidak esensial, laki-laki adalah
Subyek dan ia Absolut—sedangkan perempuan adalah “Other” atau yang lain.
Budaya patriarki
memulai riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi negatif
terhadap kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh perempuan dilekati
dengan atribut-atribut patriarkat dengan cara menegaskan bahwa tubuh perempuan
adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri. Perempuan diciutkan semata
dalam fungsi biologisnya saja. Dengan cara demikian, tubuh bagi kaum perempuan
tak lagi dapat menjadi instrumen untuk melakukan transendensi sehingga
perempuan tak dapat memperluas dimensi subjektivitasnya kepada dunia dan
lingkungan di sekitarnya. Tubuh yang sudah dilekati nilai-nilai patriarkat ini
kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi serta diinternalisasikan melalui
mitos-mitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial: keluarga, sekolah,
masyarakat, bahkan mungkin juga negara.
Feminisme adalah
ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya
adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis
kelaminnya (Humm, 2002: 158). Feminisme berjuang untuk mendapatkan kesetaraan
antara perempuan dan laki-laki. Seorang feminis adalah seseorang yang mengenali
dirinya sendiri, dan dikenali orang lain, sebagai seorang feminis, (Humm 2002:
156). Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa teori feminis eksistensialis
yang dikemukakan oleh Simone de Beauvoir , “Feminist
eksistensialis: man define what it means to be human, including what it means
to be female”, (Charles E. Bressler, 2007: 173). Teori eksistensialis
adalah teori yang memandang suatu hal dari sudut keberadaan manusia, teori yang
mengaji cara manusia berada di dunia dengan kesadarannya. Jadi, teori feminisme
eksistensialis merupakan kajian yang melihat adanya ketimpangan pengakuan
terhadap perempuan. Keberadaan perempuan adalah objek bagi laki-laki. Perempuan
hanya dianggap sebagai “second sex”
maka tidak bisa mendapat kesamaaan hak seperti halnya laki-laki.
2.
Daftar
Bacaan
Bressler, Charles E.. 2007. Literary Cristicism: An Introduction to Theory and Practice. New
Jersey: Pearson Prentice Hall.
Humm, Maggie. 2002. Dictionary of Feminist Theories. Yogyakarta: Gama Media
M.
TEORI
PSIKOANALIS
1.
Teori
Kepribadian Psikoanalisis Sigmun Freud
Teori psikoanalisis di kembangkan oleh sigmun freud yang
lahir pada tanggal 6 mei 1856 dan meninggal pada tanggal 23 september 1939.
Pada tahun 1873 Freud masuk fakultas kedokteran di Wina dan lulus pada tahun
1881 dengan yudisium excellent. Sebagai seorang ahli neurologi dia sering
membantu masalah-masalah pasiennya seperti rasa takut yang irrasional, obsesi
dan rasa cemas. Dalam membantu menyembuhkan masalah-masalah mental freud
menggunakan prosedur yang inovatif yang dinamakan psikoanalisis. Penggunaan psikoanalisis
memerlukan interaksi verbal yang cukup lama dengan pasien untuk menggali
pribadinya yang lebih dalam. Banyak buku yang telah di tulis freud, dan dari
teori freud ini memiliki beberapa kelemahan terutama dalam hal-hal, yakni (1)
ketidaksadaran (uniconsciousness) amat berpengaruh terhadap prilaku manusia,
(2) pengalaman masa kecil sangat menentukan atau berpengaruh terhadap kepribadian
masa dewasa, dan (3) kepribadian manusia terbentuk berdasarkan cara-cara yang
ditempuh untuk mengatasi dorongan-dorongan seksualnya.
Frued membagi struktur kepribadian kedalam tiga komponen,
yaitu id, ego, dan superego. Prilaku seseorang merupakan hasil dari interaksi
antara ketiga komponen tersebut.
a.
Id
(Das Es)
Id berisikan motifasi dan energy positif dasar, yang sering
disebut insting atau stimulus. Id berorientasi pada prinsip kesenangan
(pleasure principle) atau prinsip reduksi ketegangan, yang merupak sumber dari
dorongan-dorongan biologis (makan, minum, tidur, dll) Prinsip kesenangan
merujuk pada pencapaian kepuasan yang segera, dan id orientasinya bersifat
fantasi (maya). Untuk memperoleh kesengan id menempuh dua cara yaitu melalui
reflex dan proses primer, proses primer yaitu dalam mengurangi ketegangan
dengan berkhayal.
b.
Ego (Das
Ich)
Peran utama dari ego adalah sebagai mediator (perantara) atau
yang menjembatani anatar id dengan kondisi lingkungan atau dunia luar dan
berorintasi pada prinsip realita (reality principle). Dalam mencapai kepuasan
ego berdasar pada proses sekunder yaitu berfikir realistic dan berfikir
rasional. Dalam proses disebelumnya yaitu proses primer hanya membawanya pada
suatu titik, dimana ia mendapat gambaran dari benda yang akan memuaskan
keinginannya, langkah selanjutnya adalah mewujudkan apa yang ada di das es dan
langkah ini melalui proses sekunder. Dalam upaya memuaskan dorongan, ego sering
bersifat prakmatis, kurang memperhatikan nilai/norma, atau bersifat hedonis. Hal yang perlu diperhatikan dari ego
adalah (1) ego merupakan bagian dari id yang kehadirannya bertugas untuk
memuaskan kebutuhan id, (2) seluruh energy (daya) ego berasal dari Id, (3) peran
utama memenuhi kebutuhan id dan lingkungan sekitar, dan (4) ego bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan individu dan pengembanbiakannya.
c.
Super Ego
(Das Uber Ich)
Super ego merupak cabang dari moril atau keadilan dari
kepridadian, yang mewakili alam ideal daripada alam nyata serta menuju kearah
yang sempurna yang merupakan komponen kepribadian terkait dengan sytandar atau
norma masyarakat mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Dengan terbentukny
super ego berarti pada diri individu telah terbentuk kemampuan untuk mengontrl
dirinya sendiri (self control) menggantikan control dari orang tua (out
control). Fungsi super ego adalah (1) merintangi dorongan-dorongan id, terutama
dorongan seksual dan agresif, (2) mendorong ego untuk mengantikan tujuan-tujuan
relistik dengan tujuan-tujuan moralistis, dan (3) mengejar kesempurnaan
2.
Dinamika Kepribadian
Freud memandang organisme manusia sebagai sistem energi yang
kompleks. Berdasarkan doktrin konservasi energi bahwa energi berubah dari
energy fisiologis ke energi psikis atau sebaliknya. Freud berpendapat bahwa
apabila energy digunakan dalam kegiatan psikologis seperti berfikir, maka
energi itu merupakan energi psikis. Titik tumpu atau jembatan antara energi
jasmaniah dengan energi kepribadian adalah id dan instink-instinknya.
Instink-instink ini meliputi seluruh energy yang digunakan oleh ketiga struktur
kepribadian (id, ego, dan superego) untuk menjalankan fungsinya. Dinamika
kepribadian terkait dengan proses pemuasan instink, pendistribusian energy
psikis dan dampak dari ketidakmampuan ego untuk mereduksi ketegangan pada saat
bertransaksi dengan dunia luar yaitu kecemasan (anxiety).
a.
Instink
Instink merupakan kumpulan hasrat atau keinginan (wishes).
Tujuan dari instink-instink adalah mereduksi ketegangan (tension reduction)
yang dialami sebagai suatu kesenangan. Freud mengklasifikasikan instink ke
dalam dua kelompok, yaitu:
1.
Instink hidup (life instink : eros). Instink hidup
merupakan motif dasar manusia yang mendorongnya untuk bertingkah laku secara
positif atau konstruktif, berfungsi untuk melayani tujuan manusia agar tetap
hidup dan mengembangkan rasanya. Energy yang bertanggung jawab bagi instink
hidup adalah libido. Libido ini bersumber dari erotogenic zones yaitu
bagian-bagian tubuh yang sangat peka terhadap rangasangan seperti: bibir/mulut,
dubur dan organ seks).
2.
Instink mati (death instink : thanatos). Instink
ini merupakan motifasi dasar manusia yang mendorongnya untuk bertingkah laku
yang bersifat negative atau destruktif. Freud meyakini bahwa manusia dilahirkan
dengan mambawa dorongan untuk mati (keadaan tak barnyawa = inanimate state).
Pendapat ini didasarkan kepada prinsip konstansi dari Fechner yaitu bahwa
proses kehidupan itu cenderung kembali kepada dunia yang anorganis. Kenyataan
manusia akhirnya mati, oleh karena itu tujuan hidup adalah mati. Hidup itu
sendiri tiada lain hanya perjalanan kea rah mati. Dia beranggapan bahwa
instink ini merupakan sisi gelap dari kehidupan manusia.
b.
Pendistribusian
dan penggunaan Energi Psikis
Dinamika kepribadian merujuk kepada cara kepribadian berubah
atau berkembang melalui pendistribusian dan penggunaan energi psikis,
baik oleh id, ego, maupun superegoengha. Id menggunakan energi ini untuk
memperoleh kenikmatan (pleasure principle) melalui (1) gerakan refleksi dan (2)
proses primer (menghayal atau berfantasi). Mekanisme atau proses pengalihan
energi dari id ke ego atau dari id ke superego disebut identifikasi. Ego
menggunakan energi untuk keperluan (1) memuaskan dorongan atau instink melalui
proses sekunder, (2) meningkatkan perkembangan aspek-aspek psikologi, (3)
mengekang menangkal id agar tidak bertindak impulsive atau irasional dan (4)
menciptakan integrasi di antara ketiga sistem kepribadian dengan tujuan
terciptanya keharmonisan dalam kepribadian, sehingga dapat melakukan transaksi
dengan dunia luar secara efektif. Seperti halnya ego, superego memperoleh
energy itu melalui identifikasi.
Oleh karena itu dalam proses pendistribusian energy itu
terjadi persaingan antara ketiga komponen kepribadian, maka suasana konflik
diantara ketiganya tidak dapat dielakan lagi. Disamping itu ada kemungkinan,
ego mendapat tekanan yang begitu kuat, baik dari id maupun superego.
1.
Konflik
Freud berasumsi bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil
dari rentetan konflik internal yang terus menerus. Konflik (peperangan) antara
id, ego, superego adalah hal yang bisa (rutin). Feurd menyakini bahwa
konflik-konflik itu bersumber kepada dorongan-dorongan seks dan agresif.
Konflik sering terjadi secara tidak disadari. Walaupun tidak
disadari, konflik tersebut dapat melahirkan kecemasan (anxiety). Kecemasan ini
dapat dilacak dari kekhawatiran ego akan dorongan id yang tidak dapat di
kontrol, sehingga melahirkan suasana yang mencekam/mengerikan. Setiap orang
berusaha untuk membebaskan diri dari kecemasan ini yang dalam usahanya sering
menggunakan mekanisme pertahanan ego.
2.
Kecemasan
Kecemasan mempunyai peranan sentral dalam teori
psikoanalisis, kecemasan digunakan oleh ego sebagai isyarat adanya bahaya
yang mengancam. Perasaan terjepit dan terancam disebut kecemasan (anxiety).
Perasaan ini berfungsi sebagai ego bahwa ketika dia bertahan sambil tetap
mempertimbangkan kelangsungan hidup organism, dia sebenarnya sedang berada
dalam bahaya. Freud
mengklasifikasikan kecemasan dalam tiga tipe, yaitu sebagai berikut:
Tipe kecemasan
|
Pengertian
|
Kecemasan
Realistik
|
Resrpon
terhadap ancaman dari dunia luar atau perasaan takut terhadap bahaya-bahaya
yang nyata(real) yang berada di lingkungan. Contoh seorang merasa takut bila
di depannya ada ular. Maka orang tersebut mengalami kecemasan realistik.
|
Kecemasan
Neurotik
|
Respon
yang mengancam dari dorongan id ke dalam kesadaran. Kecemasan ini berkembang
berdasarkan pengalaman masa anak yang terkait dengan hukuman yang maya
(hayalan) dari orang tua atau orang lain yang mempunyai otoritas secara maya
pula untuk memuaskan dorongan instinknya. Neurotik adalah kata latin dari
perasaan gugup.
|
Kecemasan
moral
|
Respon
superego terhadap dorongan id yang mengancam untuk memperoleh kepuasan secara
“immoral”. Kecemasan ini di wujudkan dalam bentuk perasaan bersalah (guilty
feeling) atau rasa malu (shame). Seseorang yang mengalami kecemasan ini,
merasa takut akan dihukum oleh superegonya atau katahatinya.
|
3.
Mekanisme Pertahanan Ego.
Mekanisme pertahanan ego merupakan proses mental yang
bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan dilakukan melalui dua karakteristik
khusus yaitu : (1) tidak disadari dan (2) menolak, memalsukan atau
mendistorsi (mengubah) kenyataan. Mekanisme pertahanan ini dapat juga diartikan
sebagai reaksi-reaksi yang tidak disadari dalam upaya melindungi diri dari
emosi atau perasaan yang menyakitkan seperti cemas dan perasaan bersalah. Ego
berusaha sekuat mungkin menjaga kestabilan hubungannya dengan realitas, id dan
superego. Namun kecemasan begitu menguasai, ego harus berusahan mempertahankan
diri. Secara tidak sadar, dia akan bertahan dengan cara memblokir seluruh
dorongan-dorongan atau menciutkan dorongan-dorongan tersebut menjadi wujud yang
lebih dapat diterima atau tidak terlalu mengancam. Jenis-jenis mekanisme
pertahanan ego itu adalah sebagai berikut.
a.
Represi
Represi merupakan proses penekanan dorongan-dorongan ke alam
tak sadar, ka, orang atau karena mengancam keamanan ego. Anna Freud mengartikan
pula sebagai “melupakan yang bermotivasi”, adalah ketidakmampuan untuk
mengingat kembali situasi, orang atau peristiwa yang menakutkan. Represi merupakan
mekanisme pertahanan dasar yang terjadi ketika memori, pikiran atau perasaan
(kateksis objek = id) yang menimbulkan kecemasan ditekan keluar dari kesadaran
oleh antikateksis (ego). Orang cenderung merepres keinginan atau
hasrat yang apabila dilakukan dapat menimbulkan perasaan bersalah (guilty
feeling) dan konflik yang menimbulkan rasa cemas atau merepres memori (ingatan)
yang meyakitkan.
b.
Projeksi
Projeksi merupakan pengendalian pikiran, perasaan, dorongan
diri sendiri kepada orang lain. Dapat juga diartikan sebagai mekanisme
perubahan kecemasan neurotik dan moral dengan kecemasan realistik. Anna freud
mengatakan projeksi sebagai penggantian kea rah luar atau kebalikan dari
melawan diri sendiri, mekanisme ini meliputi kecendrungan untuk melihat hasrat anda
yang tidak bisa diterima oleh orang lain. Projeksi memungkinkan orang untuk
mengatakan dorongan yang mengancamnya dengan menyamarkanya sebagai pertahanan
diri. Projeksi bertujuan untuk mengurangi pikiran atau perasaan yang
menimbulkan kecemasan.
c.
Pembentukan Reaksi (Reaction Formation).
Pembentukan reaksi atau reaksi formasi ialah suatu mekanisme
pertahanan ego yang mengantikan suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan
kecemasan dengan lawan atau kebalikannya dalam kesadarannya (Hall dan Gardner).
Dapat juga di artikan pergantian sikap dan tingka laku dengan sikap dan tingkah
laku yang berlawanan. Bertujuan untuk menyembunyikan pikiran dan perasaan yang
dapat menimbulkan kecemasan. Mekanisme ini biasanya ditandai dengan sikap atau
perilaku yang berlebihan atau bersifat kompulsif, biasanya dari perasaan yang
negatif ke positif meskipun kadang-kadang terjadi dari negatif ke positif.
Dalam hal ini Freud berpendapat bahwa laki-laki yang suka mencemoohkan
homoseksual merupakan ekspresi dari perlawanannya akan dorongan-dorongan
homoseksual dalam dirinya sendiri.
d.
Pemindahan Objek (Displacement)
Displacement adalah suatu mekanisme pertahanan ego yang
mengarahkan energi kepada objek atau orang lain apabila objek asal atau orang
yang sesungguhnya, tidak bisa dijangkau, Corey (2003:19). Menurut Poduska
(2000:119) displacement ialah mekanisme pertahanan ego dengan mana anda
melepaskan gerak-gerik emosi yang asli, dan sumber pemindahan ini dianggap
sebagai suatu target yang aman. Mekanisme pertahanan ego ini, melimpahkan
kecemasan yang menimpa seseorang kepada orang lain yang lebih rendah kedudukannya.lebih lanjut dikatakan pemindahan
objek ini merupakan proses pengalihan perasaan (biasanya rasa marah) dari objek
(target) asli ke objek pengganti. Contohnya: seorang pegawai yang dimarahi
atasannya di kantor, pada saat pulang dia membanting pintu dan marah-marah pada
anaknya.
e.
Faksasi
Faksasi ini merupakan mekanisme yang
memungkinkan orang mengalami kemandegan dalam perkembangannya, karena cemas
untuk melangkah ke perkembangan berikutnya. Faksasi ini
bertujuan untuk menghindari dari
situasi-situasi baru yang dipandang
berbahaya atau mengakibatkan frustasi. Contohnya
anak usia 7 tahun masih ngeisap jempol dan belum berani berpergaian tanpa
ibunya.
f.
Regresi
Regresi adalah kembali ke masa-masa di mana seseorang
mengalami tekanan psikologis. Kerika kita menghadapi kesulitan
atau ketakutan, perilaku kita sering menjadi
kekanak-kanakan atau primitif. Dapat
dikatakan pula pengulangan kembali
tingkah laku yang cocok bagi tahap perkembangan atau usia sebelumnya (perikaku
kekanak-kanakan). Contohnya seorang yang baru pensiun
akan berlama-lama duduk di kursi
goyang dan bersikap seperti anak-anak,
serta menggantungkan hidupnya pada isntrinya.
g.
Rasionalisasi
Rasionalisasi merupakan penciptaan kepalsuan (alas an-alasan)
namun dapat masuk akal sebagai upaya pembenaran tingkah laku yang tidak dapat
diterima. Menurut Berry (2001:82), rasionalisasi
ialah mencari pembenaran atau alasan bagi prilakunya, sehingga manjadi lebih
bisa diterima oleh ego daripada alasan yang sebenarnya. Rasionalisasi ini
terjadi apabila individu mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan, dorongan
atau keinginannya. Dia mempersepsikan kegagalan tersebut sebagai kekuatan yang
mengancam keseimbangan psikisnya (menimbulkan rasa cemas).
h.
Sublimasi
Sublimasi adalah mengubah berbagai rangsangan yang tidak
diterima, apakah itu dalam bentuk seks, kemarahan, ketakutan atau bentuk
lainnya, ke dalam bentuk-bentuk yang bisa diterima secara sosial. Dengan kata
lain sublimasi ini merupakan pembelotan atau penyimpangan libido seksual kepada
kegiatan yang secara sosial lebih dapat diterima. Dalam banyak cara,
sublimasi merupakan mekanisme yang sehat, karena energi seksual berada di
bawah kontrol sosial. Bagi Freud seluruh bentuk aktivitas positif dan kreatif
aadalah sublimasi, terutama sublimasi hasrat seksual.
i.
Identifikasi
Identifikasi merupakan proses memperkuat harga diri
(self-esteem) dengan membentuk suatu persekutuan (aliansi) nyata atau maya
dengan orang lain, baik seseorang maupun kelompok. Identifikasi ini juga
merupakan satu cara untuk mereduksi ketegangan. Identifikasi ini dilakukan
kepada orang-orang yang dipandang sukses atau berhasil dalam hidupnya. Identifikasi
dengan penyerangan adalah bentuk introjeksi yang terfokus pada pengadopsian,
bukan dari segi umum atau positif, tapi dari sisi negatif.
3.
Daftar
Bacaan
Hall,
Calvin S. 1959. Sigmund Freud: Suatu
pengantar ke Dalam Ilmu Jiwa Sigmund freud. Jakarta: PT. Pembangunan
Corsini,
Raymond. 2003. Psikoterpi Dewasa Ini: Dari Psikoanalisa Hingga Analisis
Transaksional. Surabaya: IKON.
Schustack, Miriam W. and Friedman, Howard S.. 2006. Kepribadian, Teori Klasik dan Riset Modern.
Jakarta: Erlangga
Yusuf,
Syamsu dan Nurihsan, Juntika. 2007. Teori
Kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
N.
TEORI
KOMUNIKASI
1.
Kilas
Jürgen Habermas
Jürgen Habermas
dilahirkan di Gummersbach pada 18 Juni 1929.
Jürgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Dia adalah
generasi kedua dari madzhab Frankfurt. Jurgen habermas merupakan penerus dari
Teori kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya yaitu Max Horkheimer,
Theodor Adorno dan Herbert Marcuse. Teori Kritis yang dipaparkan oleh para
pendahulunya berakhir dengan kepesimisan atau kebuntuan. Meskipun begitu, teori
kritis tidaklah begitu saja berhenti sampai di sini. Dengan menggunakan
paradigma baru, Habermas telah melangkah bergerak kembali membangkitkan teori
itu (Bertens, 2002: 236)
2.
Pemikiran
habermas tentang komunikasi
Paradigma
konsep komunikasi ini mengkonseptualisasikan pengetahuan dan prakti sosial
bukan dalam hal dunialitas antara subyek dan objek yang menurut habermas hanya
dapat dipecahkan dengan idealis kesadaran murni atau dengan
dominasi namun melalui rekonseptualisai subjek sebagai intersubjektif
yang inheren. Subjek intersubjektif ini memiliki kapasitas primer bagi
komunikasi.
Kalau
kita kembali ke kritik awal habermas atas marx, kita akan menemukan bahwa dia
percaya hanya dengan refleksi diri dan komonikasi orang dapat benar benar
mengontral nasib mereka dan merestrukturisasi masyarat secara manusiawi.
Habermas tidak setuju dengan marx bahwa orang di ciptakan sepenuhnya melalui
kerja manusia.
Dengan
mengambil gagasan hegel dalam buku phenomenologya of mind dan dari teori
komonikasi dan teori tindakan berbicara, habermas justru berpandangan bahwa
orang menghumanisasi dirinya melalui interaksi. Hanya melalui intrakasi dan
komunikasi orang dapat menguasai masyarakt ,membentuk gerakan sosial dan meraih
kekuasan . Akhirnya,komunikasi menyediakan satu basis etika bagi teori kritis ,
yang direpresentasikan pada penjelasan Habermas tentang niat dasar komunikasi
untuk membentuk konsensus diskusi rasional antara penutur dan penulis yang
tidak memaksa satu sama lainnya.
a.
Pergeseran Teori
Kritis ke Teori Komunikasi
Habermas
memusatkan diri pada pengembangan teori komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis
dalam Teori Kritis. Teori Kritisnya yang disebut “Teori Tindakan
Komunikatif” didialogkan dengan tradisi-tradisi besar ilmu-ilmu sosial modern.
Komunikasi
adalah titik tolak fundamental Habermas dalam mengatasi kemacetan Teori Kritis
sebelumnya. Pendahulunya sibuk mempermasalahkan praksis dengan teori.
Praksis menjadi konsep utama dalam tradisi filsafat kritis ini.Menurutnya
praksis bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar
manusia sebagai makhluk sosial dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya
tampak dalam kegiatan menaklukkan alam dengan kerja tetapi juga dalam interaksi
intersubjektif dengan bahasa sehari-hari.
Kemacetan
Teori Kritis terdahulu disebabkan oleh Marx yang menyempitkan praksis pada
‘kerja’, sehingga ‘kritik’ dipahami sebagai penaklukan kelas atas kelas. Dengan
cara ini, kritik tak kurang dari rasionalitas yang menyembunyikan kekuasaan.
Habermas
berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio komunikatif.
Sehingga bisa dikatakan Habermas mengubah ‘paradigma kerja’ dalam Teori
Kritis ke ‘paradigma komunikasi’. Pada tahun 60-an Habermas menyendirikan
kritik sebagai kepentingan emansipatoris, tetapi ia tetap mengisyaratkan bahwa
kritik dan ilmu-ilmu kritis termasuk praksis komunikasi.
Perkembangan
filsafat sosial sejak zaman Marx pada abad ke-19 sudah disibukkan dengan usaha
mempertautkan teori dan praktis.Soalnya adalah bagaimana pengetahuan kita
tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan
sekaligus mendorong praksis perubahan sosial.“Praksis” adalah konsep sentral
dalam tradisi filsafat kritis ini.Praksis bukanlah tingkah laku buta
berdasarkan naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makluk
sosial.Jadi, praksis diterangi oleh kesadaran rasional.
Dalam
esainya pada 1960-an, Labor and Interaction: Remarks on Hegel’s Jena
“Philosophy of Mind”, Habermas sudah meneliti bahwa Hegel yang menjadi
Bapak seluruh tradisi ilmu-ilmu sosial kritis ini memahami prkasis bukan hanya
sebagai “kerja” (Arbeit), tetapi juga “komunikasi” (Kommunikation) (Hebermas, 1987: 378). Karena praksis dilandasi kesadaran rasional,
maka rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam melalui kerja,
melainkan juga dalam interaksi intersubjektif yang menggunakan bahasa
sehari-hari.Jadi, seperti halnya kerja membuat orang berdistansi dari alamnya,
bahasa juga memungkinkan distansi dari persepsi langsung sehingga baik kerja
maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan
rasionalitas.
b. Teori
Kritis dengan Teori Komunikasi
Habermas
tidak hanya berpendapat bahwa paham kebebasan-nilai ilmu-ilmu sosial itu keliru
dan berbahaya, tapi juga memperlihatkan bahwa tujuan ilmu-ilmu kritis dengan
tujuan emansipatorisnya membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan
kedewasaan(Mündigkeit).Ia juga menunjukkan bahwa otonomi kolektif ini
berhubungan dengan konsensus bebas dominasi.
Dan
hingga tahun 80-an, dia mengandaikan konsesnsus semacam itu dapat dicapai dalam
sebuah masyarakat yang reflektif(cerdas) yang berhasil melakukan komunikasi
dengan mencapai ‘klain-klaim kesahihan’(validity claims). Klaim-klaim
inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil
konsensus. Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menyatakan
ada empat macam klaim, yakni:
1.
klaim kebenaran (truth) yakni
kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif
2.
klaim ketepatan (rightness) yakni
kesepakatan tentang norma-norma dalam dunia sosial
3.
klaim autensitas atau kejujuran (sincerity)
yakni kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi
seseorang
4.
klaim komprehensibilitas (comprehensibility)
dicapai apabila kita telah mencapai kesepakatan klaim-klaim di atas. Setiap
komunikasi yang efektif harus mencapai ‘kompetensi komunikatif’ tersebut.
Masyarakat komunikatif
bukanlah masyarakat yang melakukan lewat kekerasan, melainkan lewat
‘argumentasi’. Habermas membedakan argumentasi menjadi diskursus/perbincangan(discourse)
dan kritik. Disebut diskursus kalau mengandaikan kemungkinan untuk mencapai
konsensus rasional. Meskipun dimaksudkan untuk konsensus, komunikasi juga bisa
terganggu, sehingga kita tak perlu mengandaikan konsensus. Dalam hal ini,
Habermas berbicara tentang kritik. Ada dua macam kritik, yakni ‘kritik estetis’
yang mempersoalkan kesesuaiannya dengan penghayatan dunia batiniah dan ‘kritik
terapeutis’, yakni menyingkapkan penipuan-diri masing-masing pihak yang
berkomunikasi.
Habermas menjelaskan
bahwa proses belajar masyarakat secara evolusioner tergantung pada kompetensi
individu-individu yang menjadi anggotanya. Kompetensi itu dikembangkan bukan
secara individual dan terisolasi, melainkan lewat interaksi. sosial dengan
medium struktur-struktur yang berasal dari dunia kehidupan mereka Ada tiga
tahap perkembangan kompetensi komunikatif, yaitu:
1.
Tahap interaksi melalui simbol-simbol,
dimana tuturan dan tindakan masih terkait dalam kerangka kerja sebuah
komunikasi tunggal yang bersifat memerintah.
2.
Tatap tuturan yang didifferensiasikan
dengan pernyataan-pernyataan, yang untuk pertama kalinya antara tindakan dan
tuturan dipisahkan. Pada tahap ini dikatakan telah terbentuk sebuah “peran
sosial”, karena setiap individu bertindak sebagai pelaku sekaligus pengamat.
3.
Ketiga, pada tahap perbincangan
(diskursus) argumentasi. Komunikasi sudah menyangkut pencarian klaim-klaim
kesahihan tindakan- tuturan (speech-acts). Melalui pentahapan tersebut
yang diinginkan adalah masyarakat komunikatif yang terbentuk melalui
kesepakatan bersama yang didasarkan atas prinsip konsensus antar masyarakat
secara dialogis.
c.
Teori Perkembangan Masyarakat
dengan teori Komunikasi
Kalau
kritik yang berhasil membawa sebuah kemajuan menuju masyarakat komunikatif,
tentu ada sebuah asumsi tertentu tentang perkembangan masyarakat yang mendasari
kritik. Teori Kritis disini tidak hanya kritis terhadap pendekatan-pendekatan
terhadap masyarakat, melainkan juga terhadap kenyataan sosial itu sendiri.
Habermas
membuat dua esai yang merupakan tanggapan kritis atas tulisan Marcuse, Technology
and Science as “Ideology” dan tentang teori rasionalisasi milik Max
Weber.Dari dua esai tersebut dijelaskan bagaimana modernisasi diarahkan oleh
masyarakat kapitalis kepada totalitarianisme birokratis demi akumulasi
modal.Habermas sejal awalnya menyatakan bahwa proyek modernitas menyingkirkan
dan menindas unsur-unsur komunikatif masyarakat yang disebut sebagai “kerangka
kerja institusional” dan “rasionalitas etis-praktis”
(Hebermas, 1987: 380).
Habermas
tidak meninggalkan modernitas tetapi ia memperlihatkan bahwa modernitas
kapitalis adalah bentuk modernitas yang terdistorsi sebab mereduksi komunikasi
pada kerja sosial. Dampak dari reduksi tersebut adalah patologi modernitas
antara lain dalam bentuk erosi makna. Habermas menawarkan “model non-selektif”
yang memperlihatkan bagaimana sektor-sektor lain harus “dicerahi” untuk menuju
masyarakat yang komunikatif.
Habermas
mengembangkan teorinya sendiri setelah mengkritik materialisme Marx.Ia
menjelaskan bahwa masyarakat pada hakikatnya komunikatif dan yang menetukan
perubahan sosial bukan semata-mata perkembangan produksi atau teknologi,
melainkan proses belajar dalam dimensi praktis etis. Teknologi dan faktor objektif
lainnya hanya bisa mempengaruhi masyarakat apabila mereka mengintegrasikannya
dalam tindakan komunikatif yang memiliki logikanya sendiri.
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat
Kontemporer Inggris Jerman. Jakarta: Gramedia.
Habermas, Jürgen. 1987. The Theory of
Communicative Action. Boston: Beacon Press.
O.
TEORI
FUNGSIONAL STRUKTURAL
1.
Konsep Teori Fungsional Struktural
Teori fungsionalisme struktural
adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di
abad sekarang. Menurut teori struktural fungsional, masyarakat sebagai suatu
sistem memiliki struktur yang terdiri dari banyak lembaga, di mana masing-masing
lembaga memiliki fungsi sendiri-sendiri. Struktur dan fungsi, dengan
kompleksitas yang berbeda-beda ada pada setiap masyarakat baik masyarkat modern
maupun masyarakat primitif. Tokoh-tokoh
yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu Auguste Comte, Emile Durkheim
dan Herbert Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi
oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis
yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan
tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat
bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural
fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori
struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim,
dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert
Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian
dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari
kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi
apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi
panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional.
Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim
tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa
masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian-bagian yang
dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing
yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi
satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan
merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim
dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu,
antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk
berbagai perspektif fungsional modern.
Fungsionalisme dapat
didefinisikan dalam dua cara yang berbeda, pengertian yang lemah dan pengertian
yang kuat. Ketika Kingsley Davis (1959) berkata bahwa seluruh sosiolog adalah
fungsionalis, dia merujuk pada pengertian yang lemah: bahwa fungsioanlisme
adalah suatu pendekatan yang berusaha “menyatukan bagian masyarakat secara
keseluruhan dan menyatukan masyarakat antara satu dengan yang lainnya”.
Sementara definisi yang kuat tentang fungsionalisme diberikan oleh Tunner dan
Maryanski (1988), yang mendefinisikannya sebagai sebuah pendekatan yang
berdasar pada analogi masyarakat dengan organisme biologis dan untuk
menjelaskan struktur sebagaian masyarakat berdasarkan kebutuhan masyarakat
secara keseluruhan. Dalam pengertian kedua, Durkheim menjadi fungsionalis
secara tidak langsung dan bisa dikatakan secara kebetulan. Durkheim tidak
menolak mentah-mentah analogi antara organisme biologis dan struktur sosial
(Lehmann, 1993a:15), akan tetapi dia tidak percaya bahwa sosiolog bisa
menyimpulkan hukum sosiologi dengan analogi biologi.
Lahirnya fungsionalisme struktural
sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan
yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis,
yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai
keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut
memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi
oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap
langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan
berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam
masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian
ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem
sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem
politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur
keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan
patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan
normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut
keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang,
sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan
sosial.
Fungsionalisme Durkheim ini tetap
bertahan dan dikembangkan lagi oleh dua orang ahli antropologi abad ke-20,
yaitu Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown. Malinowski dan Brown
dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme
hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa
fungsional yang dibangu di atas model organis. Di dalam batasannya tentang
beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman
Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme struktural merupakan
dasar bagi analisa fungsional kontemporer:
Fungsi dari setiap kegiatan yang
selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan,
adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai
keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan yang diberikannya bagi
pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown (1976:505).
Jasa Malinowski terhadap
fungsionalisme, walau dalam beberapa hal berbeda dari Brown, mendukung konsepsi
dasar fungsionalisme tersebut. Para ahli antropologi menganalisa kebudayaan
dengan melihat pada ”fakta-fakta antropologis” dan bagian yang dimainkan oleh
fakta-fakta itu dalam sistem kebudayaan (Malinowski, 1976: 551).
Walaupun fungsionalisme struktural
memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir
teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah
merupakan suatu studi tentang struktur-struktur sosial sebagai unit-unit yang
terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung. Coser dan Rosenberg
(1976: 490) melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural berbeda satu sama
lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. Sekalipun
demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep kunci
berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada
seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau ”suatu
sistem dengan pola-pola yang relatif abadi”.
Selama beberapa dasawarsa, fungsionalisme
struktural telah berkuasa sebagai suatu paradigma atau model teoritis yang
dominan di dalam sosiologi kontemporer Amerika. Di tahun 1959 Kingsley Davis
di dalam pidato kepemimpinannya di hadapan anggota ”American Sociological
Association”, bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa
fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari sosiologi itu
sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori fungsionalisme
struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa para
pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang potensi
teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.
2.
Daftar Bacaan
Poloma,
Margareth P. 2004. Teori Sosiologi
Kotemporer. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Ritzer,
George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kresi Wacana Offset.
Zamroni. 1992. Pengantar
Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
P.
TEORI
NATIVISTIK
1.
Pengertian
Teori Nativisme
Pada hakekatnya aliran nativisme bersumber dari leibnitzian
tradition yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak, oleh karena
itu faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap
perkembangan anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan
genetik dari kedua orangtua.
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhauer. la adalah filosof
Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan
individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang
berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil
pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian,
menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri.
Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan
menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi
baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan
berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Dalam teori ini dinyatakan bahwa perkembangan manusia
merupakan pembawaan sejak lahir atau bakat. Teori ini muncul dari filsafat
nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan
menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas,
pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Teori ini dipelopori oleh
filosof Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang beranggapan bahwa faktor
pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam sekitar atau
pendidikan. Dengan tegas Arthur Schaupenhaur menyatakan yang jahat akan menjadi
jahat dan yang baik akan menjadi baik. Pandanga ini sebagai lawan dari
optimisme yaitu pendidikan pesimisme memberikan dasar bahwa suatu keberhasilan
ditentukan oleh faktor pendidikan, ditentukan oleh anak itu sendiri. Lingkungan
sekitar tidak ada, artinya sebab lingkungan itu tidak akan berdaya dalam
mempengaruhi perkembangan anak.
Walaupun dalam kenyataan sehari-hari sering ditemukan secara
fisik anak mirip orang tuanya, secara bakat mewarisi bakat kedua orangtuanya,
tetapi bakat pembawaan genetika itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan
perkembangan anak, tetapi masih ada faktor lain yang mempengaruhi perkembangan
dan pembentukan anak menuju kedewasaan, mengetahui kompetensi dalam diri dan
identitas diri sendiri (jatidiri).
2.
Faktor
Perkembangan Manusia Dalam Teori Nativisme
a. Faktor
genetic
Faktor gen dari kedua orangtua yang mendorong adanya suatu
bakat yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika kedua orangtua anak
itu adalah seorang penyanyi maka anaknya memiliki bakat pembawaan sebagai
seorang penyanyi yang prosentasenya besar.
b.
Faktor Kemampuan Anak
Faktor yang menjadikan seorang anak mengetahui potensi yang
terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya. Contohnya adalah adanya kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah yang mendorong setiap anak untuk mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya sesuai dengan bakat dan minatnya.
c.
Faktor Pertumbuhan Anak
Faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di
setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak
itu normal maka dia kan bersikap enerjik, aktif, dan responsive terhadap
kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal maka
anak tersebut tidak bisa mngenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.
3.
Aplikasi
Teori Nativisme Pada Masa Sekarang
Faktor pembawaan bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh
pengaruh alam sekitar dan pendidikan (Arthur Schaupenhauer (1788-1860). Untuk
mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatiahan dan kursus
untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan
dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga
potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan,
dilatih dan dimunculkan. Tetapi pelatihan yang diselenggarakan itu didominasi
oleh orang-orang yang memang mengetahui bakat yang dimiliki, sehingga pada
pengenalan bakat dan minat pada usia dini sedikit mendapat paksaan dari orang
tua dan hal itu menyebabkan bakat dan kemampuan anak cenderung tertutup bahkan
hilang karena sikap otoriter orangtua yang tidak mempertimbangkan bakat,
kemampuan dan minat anak.
Lembaga pelatihan ini dibuat agar menjadi suatu wadah untuk
menampung suatu bakat agar kemampuan yang dimiliki oleh anak dapat tersalurkan
dan berkembang denag baik sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal. Tanpa
disadari di lembaga pendidikan pun juga dibuka kegiatan-kegiatn yang bisa
mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar kegiatan akademik. Sehingga
selain anak mendapat ilmu pengetahuan didalam kelas, tetapi jug bisa
mengembangkan bakat yang dimilikinya.
Q.
TEORI
BELAJAR KOGNITIF
1.
Konsep Teori Kognitif
Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition”
yang padanannya “Knowing”, berarti mengetahui. Dalam arti luas,
cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan
(Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi
populer dan menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis
manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berkaitan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan
keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan
konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa
(Chaplin, 1972).
Istilah “cognitive of theory learning” yaitu suatu
bentuk teori belajar yang berpandangan bahwa belajar adalah merupakan proses
pemusatan pikiran (kegiatan mental) (Slavin (1994). Teori belajar
tersebut beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki kemampuan
potensial, sehingga tingkah laku yang bersifat kompleks bukan hanya sekedar
dari jumlah tingkah laku yang sederhana, maka dalam hal belajar menurut aliran
ini adalah mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Belajar tidak
hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar juga
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Yang menjadi prioritas
perhatian adalah pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru bisa berasimilasi
dengan ilmu yang sebelumnya dikuasai oleh masing-masing individu.
Dalam praktek belajar, teori kognitif terwujud dalam:
“tahap-tahap perkembangan belajar” oleh Jean Piaget, “belajar bermakna” oleh
Ausuber, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning)
oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut kognitifist
dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi dengan lingkungan
yang berkesinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah, tetapi merupakan
proses yang mengalir serta sambung-menyambung, dan menyeluruh. Seperti halnya
proses membaca, bukan sekedar menggabungkan alfabet-alfabet yang
terpisah-pisah; tetapi menggabungkan kata, kalimat atau paragraf yang diserap
dalam pikiran dan kesemuanya itu menjadi satu, mengalir total secara bersamaan.
2.
Jenis-Jenis Teori Belajar
Kognitifisme
a.
Teori Perkembangan Jean Piaget
Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses
genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu
perkembangan sistim syaraf. Dengan semakin bertambahnya usia sesesorang maka
semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula
kemampuannya.
Pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan mengalami
adaptasi biologis dengan lingkungannya dan akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan
kualitatif dalam struktur kognitifnya. Apabila seseorang menerima informasi
atau pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi hingga sesuai
dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya,
apabila struktur kognitifnya yang harus diseuaikan dengan informasi yang diterima,
maka proses ini disebut akomodasi. Jadi asimilasi dan akomodasi akan terjadi
apabila terjadi konflik koginitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang
telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Adaptasi
akan terjadi apabila telah terjadi keseimbangan dalam struktur kognitif.
Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola
dan tahap tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini
bersifat hirarkis artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan orang
tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Di sini
terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensomotorik (0 – 2 tahun) yang
bersifat eksternal, pre-operasional (2 – 6 tahun), operasional konkrit (6/7 –
11/12 tahun) dan jenjang formal (11/2 – 18 tahun) yang bersifat internal (mampu
berfikir abstrak atau mengadakan penalaran). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat perkembangan individu tersebut pada 4 tahapan. Yang
pertama adalah sensori motor, yakni perkembangan ranah kognitif
yang terjadi pada usia 0 – 2 tahun. Yang kedua adalah pre-operational,
yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2 – 7 tahun. Yang
ketiga adalah concrete operational, yakni perkembangan ranah
kognitif yang terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Yang terakhir adalah formal
operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11
sampai dewasa awal (Slavin, 1994:14).
Dalam usahanya memahami mekanisme perkembangan kognitif,
Piaget menyampaikan fungsi kecerdasan dari tiga perspektif. Ketiganya adalah:
(1) proses mendasar yang terjadi dalam interaksi dengan lingkungan (asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi), (2) cara bagaimana pengetahuan disusun
(pengalaman fisik dan logis-matematis), dan (3) perbedaan kualitatif dalam
berfikir pada berbagai tahap perkembangan (skema tindakan) mulai dari sensomotorik,
pra-operasional, operasional konkrit dan operasional formal.
Perkembangan kognitif menurut Piaget (1977) dipengaruhi oleh
tiga proses dasar: asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Secara singkat, asimilasi
ialah pemaduan data atau informasi baru dengan struktur kognitif yang ada,
akomodasi ialah penyesuaian struktur terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi
ialah penyesuaian kembali yang terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan
akomodasi (Gredler, 1991:311).
b.
Teori Kognitif Jerome S. Bruner
Jerome S. Bruner adalah seorang pakar psikologi perkembangan
dan pakar psikologi belajar kognitif, penelitiannya dalam bidang psikologi
antara lain persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam
mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan
pencipta informasi (Dahar, 1988). Dalam pembahasan perkembangan kognisi, Bruner
menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan pada tingkah laku seseorang. Bila
Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif berpengaruh pada perkembangan
bahasa seseorang, maka sebaliknya Bruner menyatakan bahwa perkembangan
bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognisi.
Menurut Bruner, perkembangan kognisi seseorang terjadi
melalui tiga tahap yang ditentukan oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap
pertama adalah tahap en-aktif, di mana individu melakukan aktivitas-aktivitas
untuk memahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap ikonik di mana ia
melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal.
Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana ia mempunyai gagasan secara
abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika; komunikasi dilakukan
dengan bantuan sistem simbol. Makin dewasa makin dominan pula sistem simbol seseorang.
Prinsip-prinsip belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin
tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ketidaktergantungan
individu terhadap stimulus yang diberikan. Pertumbuhan seseorang tergantung
pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi.
Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah secara mental.
Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan
untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol. Untuk mengembangkan
kognisi seseorang diperlukan interaksi yang sistematik antara pengajar dan pembelajar.
Dalam Perkembangan kognisi seseorang, semakin tinggi tingkatannya semakin meningkat
pula kemampuan untuk memikirkan beberapa alternatif secara serentak dan
kemampuan untuk memberikan perhatian terhadap beberapa stimuli dan situasi
sekaligus.
Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan
di sekolah, bahkan mungkin dihindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya
di sekolah banyak dikembangkan cara berfikir analitis, padahal berfikir
intuitif sangat penting untuk ahli matematika, biologi, fisika, dll. Selanjutnya
dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai konsep-konsep, prinsip-prinsip
dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang mulai belajar. Cara
terbaik untuk belajar adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses
intuitif hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (discovery learning).
c.
Teori Belajar Bermakna David Ausubel
Ausubel (1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan
dengan teorinya yang berpijak pada psikologi kognitif, dan dalam teorinya
memberi penekanan kepada belajar bermakna, serta retensi dan variabel-variabel
yang berhubungan dalam belajar. Belajar menurut Ausubel dapat diklasifikasikan
ke dalam dua dimensi: (1) berhubungan dengan cara informasi atau materi
pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui ekspository maupun inquiry,
(2) menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan data atau informasi itu
pada struktur kognitif yang telah ada (Romiszowski, 1981).
Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada
umumnya adalah bahwa terlalu menekankan belajar asosiatif atau menghafal.
Belajar asosiatif, materi yang dipelajari perlu dihafal secara arbitrari,
padahal belajar seharusnya adalah apa yang disebut dengan asimilasi bermakna.
Asimilasi bermakna, materi yang dipelajari, perlu diasimilasikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan
2 persyaratan, yaitu: a) materi yang secara potensial bermakna dan dipilih
serta diatur oleh pengajar harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan
pengetahuan pembelajar; dan b) suatu situasi belajar yang bermakna. Faktor
motivasional memegang peranan yang penting di sini, sebab pembelajar tidak
akan mengasimilasi materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai
keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur
oleh pengajar sehingga materi tidak dipelajari secara hafalan.
Sifat atau karakteristik untuk teori ini adalah apa yang
disebut advance organizers yang apabila dipakai dapat meningkatkan
kemampuan pembelajar untuk mempelajari informasi baru. Advance organizer
ini merupakan kerangka berbentuk abstraksi atau ringkasan-ringkasan dari
konsep dasar apa yang harus dipelajari serta hubungannya dengan apa yang
telah ada dalam struktur kognisi pembelajar.
3.
Daftar
Bacaan
Chaplin,
J. P. 1972. Dictionaryof Psycology. New York: Dell Publishing Co. Inc.
Dahar,
Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK.
Gredler,
Margaret & E. Bell. 1986. Learning And Instruction Theory Into
Practice. Mc.Milan Publishing Company. Diterjemahkan oleh Munandir.
1991. Jakarta: Rajawali.
Romiszowki,
A. J. 1981. Designing Instructional Systems. London: The Ancher Ltd.
Slavin,
Robert E. 1994. Educational Psycology: Theory and Practice. America:
The United States of America.
R.
TEORI KONSTRUKTIVISME
1.
Konsep Teori Konstruktivisme
Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda
dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme
lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada
orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang
diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi
proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga
terbentuk suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme
juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses
daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses
yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam
proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan
mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya
memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun
pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman,
struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan demikian,
belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi
proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah
hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian”
tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses
mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna
mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap
individu.
Adapun tujuan dari teori ini adalah
sebagai berikut:
a.
Adanya motivasi untuk siswa bahwa
belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
b.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk
mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
c.
Membantu siswa untuk mengembangkan
pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
d.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk
menjadi pemikir yang mandiri.
e.
Lebih menekankan pada proses belajar
bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau
pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme
adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar
tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap
perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget
yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa
pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133).
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 2010: 7).
2.
Ciri-Ciri Pembelajaran Secara
Konstuktivisme
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara
kontruktivisme adalah:
a.
Memberi peluang kepada murid membina
pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya.
b.
Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan
oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
c.
Menyokong pembelajaran secara koperatif
mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
d.
Mengambil kira dapatan kajian bagaimana
murid belajar sesuatu ide.
e.
Menggalakkan & menerima daya usaha
& autonomi murid.
f.
Menggalakkan murid bertanya dan
berdialog dengan murid & guru.
g.
Menganggap pembelajaran sebagai suatu
proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
h.
Menggalakkan proses inkuiri murid
melalui kajian dan eksperimen.
3.
Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar,
prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
a.
Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
b.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari
guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
c.
Murid aktif megkontruksi secara terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
d.
Guru sekedar membantu menyediakan saran
dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
e.
Menghadapi masalah yang relevan dengan
siswa.
f.
Struktur pembalajaran seputar konsep
utama pentingnya sebuah pertanyaan.
g.
Mmencari dan menilai pendapat siswa.
h.
Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi
anggapan siswa.
4.
Daftar
Bacaan
Dahar,
Ratna Willis. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Ruseffendi,
E.T.. 1988. Pengantar Kepada Membantu
Guru Mengembangkan Kompotensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung: Tarsito.
Suparno,
Paul. 2010. Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
S.
TEORI
BEHAVIORISME
1.
Konsep
Teori Behaviorisme
Teori Belajar behaviorisme adalah teori belajar yang menekankan pada
tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
teori behaviorisme merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan
Berliner. Kemudian teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang
berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang
dikenal sebagai aliran behaviorisme. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behaviorisme dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan
orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu
dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku
akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai
hukuman. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah segala hal yang diberikan oleh guru kepada pelajar,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon. Oleh karena itu sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan
sesuatu yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat perubahan tingkah laku tersebut terjadi atau tidak.
2.
Teori
Dalam Pandangan Behaviorisme
Teori belajar dalam pandangan
behaviorisme ada tiga yaitu:
a.
Teori
Pengkondisian Klasikal dari Pavlov
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses
yang dikemukakan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan
netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov
dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana
gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.
Untuk memahami teori kondisioning klasik secara menyeluruh perlu dipahami
ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis stimulus tersebut adalah
:
a.
Stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), yaitu stimulus
yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa didahului dengan pembelajaran
apapun (contoh: makanan).
b.
Stimulus terkondisi (conditioned stimulus-CS), yaitu stimulus yang
sebelumnya bersifat netral, akhirnya mendatangkan sebuah respon yang terkondisi
setelah diasosiasikan dengan stimulus tidak terkondisi (contoh : suara bel
sebelum makanan datang).
Faktor lain yang juga penting dalam teori belajar
pengkondisian klasik Pavlov adalah generalisasi,deskriminasi,dan pelemahan.
b.
Teori Connetionisme Thorndike
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan
respon (R). Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan kucing. Dari eksperimen kucing
lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) tersebut diketahui bahwa
supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan
untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan
(error) terlebih dahulu.
Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning or
selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum
tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori
belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Dari percobaan ini Thorndike
menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1.
Hukum
Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu
perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan
kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
2.
Hukum
Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise
adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan
menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi
antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip dari hokum ini
menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering
diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.
Hukum
akibat (law
of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya
menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini
menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan.
Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan
lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Selain tiga hukum di atas Thorndike juga menambahkan hukum lainnya dalam belajar yaitu Hukum Reaksi Bervariasi
(multiple response), Hukum Sikap (Set/Attitude),
Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotency of Element),
Hukum Respon by Analogy, dan Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative
Shifting).
c.
Teori
Operant Conditioning dari B.F.Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu
mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia
mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana dan dapat menunjukkan
konsepnya tentang belajar secara komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara
stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang
kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.
Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar perlu
terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta
memahami respons yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
akan timbul sebagai akibat dari respons tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah. Sebab, setiap alat yang dipergunakan perlu penjelasan lagi,
demikian seterusnya. Dari semua pendukung teori behavioristik, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya. Program-program
pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang
menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.
Skinner mengenalkan istilah penguatan positif dan negatif, serta hukuman.
T. TEORI
HUMANISTIK
1.
Konsep Teori Humanistik
Humanisme lebih melihat
pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian
yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.
Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para
pendidik yang beraliran humanism biasanya memfokuskan pengajarannya pada
pembangunan kemampuan positif ini.
Psikolog humanistik
mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana manusia melihat kehidupan
mereka. Mereka cenderung untuk berpegang pada prespektif optimistik tentang
sifat alamiah manusia. Mereka berfokus pada kemampuan manusia untuk berfikir
secara sadar dan rasional untuk dalam mengendalikan hasrat biologisnya, serta
dalam meraih potensi maksimal mereka. Dalam pandangan humanistik, manusia
bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan
kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.
2.
Tokoh
Teori Humanistik
a.
Teori Abraham Maslow
Tahapan tertinggi dalam
tangga hierarki motivasi manusia dari Abaraham Maslow adalah kebutuhan akan
aktualisasi diri. Maslow mengatakan bahwa manusia akan berusaha keras untuk
mendapatkan aktualisasi diri mereka, atau realisasi dari potensi diri manusia
seutuhnya, ketika mereka telah meraih kepuasan dari kebutuhan yang lebih
mendasarnya.
Maslow juga
mengutarakan penjelasannya sendiri tentang kepribadian manusia yang sehat.
Teori psikodinamika cenderung untuk didasarkan pada studi kasus klinis maka
dari itu akan sangat kurang dalam penjelasannya tentang kepribadian yang sehat.
Untuk sampai pada penjelasan ini, Maslow mengkaji tokoh yang sangat luar biasa,
Abaraham Lincoln dan Eleanor Roosevelt, sekaligus juga gagasan-gagasan
kontemporernya yang dipandang mempunyai kesehatan mental yang sangat luar
biasa.
Maslow menggambarkan
beberapa karakteristik yang ada pada manusia yang mengaktualisasikan dirinya
sebagai berikut.
1.
Kesadaran dan penerimaan terhadap diri
sendiri
2.
Keterbukaan dan spontanitas
3.
Kemampuan untuk menikmati pekerjaan dan
memandang bahwa pekerjaan merupakan sesuatu misi yang harus dipenuhi
4.
Kemampuan untuk mengembangkan persahabatan
yang erat tanpa bergantung terlalu banyak pada orang lain
5.
Mempunyai selera humor yang bagus
6.
Kecenderungan untuk meraik pengalaman
puncak yang memuaskan secara spiritual maupun emosional
b.
Teori Carl Rogers
Carl Rogers, seorang
psikolog humanistik lainnya, mengutarakan sebuah teori yang disebut dengan
teori pribadi terpusat. Seperti halnya Freud, Rogers menjelaskan berdasarkan
studi kasus klinis untuk mengutarakan teorinya. Dia juga mengembangkan gagasan
dari Maslow serta ahli teori lainnya. Dalam pandangan Rogers, konsep diri
merupakan hal terpenting dalam kepribadian, dan konsep diri ini juga mencakup
kesemua aspek pemikiran, perasaan, serta keyakinan yang disadari oleh manusia
dalam konsep dirinya.
Rogers mengatakan bahwa
konsep diri manusia seringkali tidak tepat secara sempurna dengan realitas yang
ada. Misalnya, seseorang mungkin memandang dirinya sebagai orang yang sangat
jujur namun kenyataannya seringkali berbohong kepada atasannya tentang alasan
mengapa dia datang terlambat. Rogers menggunakan istilah inkongruensi
(ketidaksejajaran) untuk mengacu pada kesenjangan antara konsep diri dengan
realitas. Di sisi lain, kongruensi, merupakan kesesuaian yang sangat akurat
antara konsep diri dengan realitas.
Menurut Rogers, para
orang tua akan memacu adanya inkongruensi ini ketika mereka memberikan kasih
sayang yang kondisional kepada anak-anaknya. Orang tua akan menerima anaknya
hanya jika anak tersebut berperilaku sebagaimana mestinya, anak tersebut akan
mencegah perbuatan yang dipandang tidak bisa diterima. Disisi lain, jika orang
tua menunjukkan kasih sayang yang tidak kondisional, maka si anak akan bisa
mengembangkan kongruensinya. Remaja yang orang tuanya memberikan rasa kasih
sayang kondisional akan meneruskan kebiasaan ini dalam masa remajanya untuk
mengubah perbuatan agar dia bisa diterima di lingkungan.
3.
Daftar
Bacaan
Poedjiadi, Anna. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu bagi Pendidik. Bandung:
Yayasan Cendrakasih.
U.
TEORI
SIBERNETIK
1.
Konsep
Teori Sibernetik
Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif
baru dibandingkan dengan teori-teori yang sudah dibahas sebelumnya. Menurut
teori ini, belajar adalah pengolahan informasi. Proses belajar memang penting
dalam teori ini, namun yang lebih penting adalah system informasi yang diproses
yang akan dipelajari siswa. Asumsi lain adalah bahwa tidak ada satu proses
belajarpun yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa.
Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Implementasi teori sibernetik dalam kegiatan pembelajaran
telah dikembangkan oleh beberapa tokoh dengan beberapa teori, diantaranya:
a.
Teori pemrosesan informasi
Pada teori ini, komponen pemrosesan informasi dibagi menjadi
tiga berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses terjadinya.
Ketiga komponen itu adalah:
1.
Sensory Receptor (SR)
SR merupakan sel
tempat pertama kali informasi diterima dari luar.
2.
Working Memory (WM)
WM diasumsikan mampu
menangkap informasi yang diberi perhatian oleh individu. Karakteristik WM
adalah :
a. Memiliki
kapasitas yang terbatas, kurang dari 7 slot. Informasi yang didapat hanya mampu
bertahan kurang lebih 15 detik apabila tanpa adanya upaya pengulangan
(rehearsal).
b. Informasi
dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya baik dalam bentuk
verbal, visua, ataupun semantic, yang dipengaruhi oleh peran proses kontrol dan
seseorang dapat dengan sadar mengendalikannya.
3.
Long Term Memory (LTM)
LTM diasumsikan :
a. Berisi
semua pengetahuan yang telah dimilki oleh individu
b. Mempunyai
kapasitas tidak terbatas
c. Sekali
informasi disimpan di dalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau hilang.
Persoalan “lupa” hanya disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan
kembali informasi yang diperlukan.
Asumsi yang mendasari teori pemrosesan informasi ini adalah
bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa
dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah
sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan
informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan
kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang
terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan
fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5)
ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
Comments
Post a Comment