KUMPULAN TEORI BAHASA, SASTRA, DAN TEORI BELAJAR

KUMPULAN TEORI BAHASA, SASTRA, DAN TEORI BELAJAR
A.      TEORI RESEPSI
1.        Konsep Teori Resepsi
Secara etimologi kata resepsi berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu.
Menurut Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna 2009: 165).
2.        Tokoh Teori Resepsi
a.        Hans Robert Jausz
Teori Dalam membahas teori resepsi sastra, kita akan menemukan beberapa tokoh pemikir teori tersebut, seperti Hans Robert Jausz. Jausz adalah tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan peranan pembaca. Pendekatan tersebut mirip dengan teori Mukarovsky dan Vodicka. Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abadpertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisangsastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakanproduk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang,da
lam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yangterkenal: Horizon Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer.Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra(genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya. Pada tahun 1967 Jausz menggegarkan dunia ilmu sastra tradisional di Jerman Barat. Jausz mempunyai latar belakang sebagai peneliti sastra dan sejarah sastra abad pertengahan di Eropa Barat. Menurutnya, penelitian sejarah sastradi Eropa Barat menemui jalan buntu. Pada abad ke-20 menurut Jausz ada dua aliran yang menentangnya, aliran pertama yaitu pendekatan sastra kaum Marxis. kalangan Marxisme lebih menekankan pada sisi fungsi sosial karya dari pada nilai estetik karya tersebut dalam kajianya. Aliran kedua yaitu aliran formalis Rusia yang dianggap terlalu mementingkan nilai estetik karya dari pada nilai fungsi sosialnya. Berbagai survai mengenai pendekatan dalam penelitian sastra, dahulu dan sekarang. Jausz mengemukakan gagasannya yang baru, setidaknya dalam rangka ilmu sastra tradisional: menurut Jausz para peneliti sastra, juga dalam aliran marxis dan formalis, telah melupakan atau menghilangkan factor terpenting dalam proses semiotic yang disebut kasusastraan, yaitu pembaca. Justru pembacalah yang merupakan faktir yang hakiki dalam menentukan dalam sastra.
b.        Wolfgang Iser
Berbeda dengan Jauz, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi. Dalam hal ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan dialektika antara teks, pembaca, dan interaksi antara keduanya. Iser (1987: 27-30) memberikan perhatian pada hubungan antara teks dengan pembaca, dalam hubungan ini kekuatan karya untuk memberikan efek kepada pembaca. Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca nyata melainkan pembaca implisit, instansi pembaca yang dicptakan oleh teks. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu. Iser mementingkan pelaksanaan teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser menghendaki pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca suatu teks atau karya sastra. Dengan kata lain, kita sebagai pembaca diajak untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung), pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra, sedih atau gembira, suka atau benci, dll. Hal itu tidak terlepas karena Iser juga mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, di mana pembaca secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya. Ruang kosong mengandaikan teks bersifat terbuka, penulis seolah – olah hanya menyediakan kerangka secara global sehingga pembaca secara aktif dan kreatif dapat berpartisipasi.
c.         Jonathan Culler
Keinginan Culler yang utama adalah menggeser fokus perhatian dari teks kepada pembaca. Culler menyatakan bahwa suatu teori pembacaan harus mengungkap norma dan prosedur yang menuntun pembaca kepada suatu penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap pembaca memiliki penafsiran yang berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama. Berbagai variasi penafsiran itu harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun penafsiran itu berbeda-beda tetapi mungkin saja mereka mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama. Konvensi dalam sastra jelas bersifat terbuka dan beragam sesuai dengan genre yang dimaksudkan oleh penulisnya.


3.        Daftar Bacaan
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


B.       TEORI INTERTEKTUAL
1.         Konsep Intertekstual
Secara luas intereks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kacamata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Menurut Kristeva (dalam Worton) Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva. Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan: Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua,sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1). Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor, 2007: 4-5). Selain itu masala tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan intertektual sebagai “kitaa menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa yang dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.
Istilah hipogram diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain. wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983: 65). Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjunya Riffaterre (dalam Ratna, 2009: 222) mendifinisikan hypogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika.
Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-50). Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat teori-teori pasca strukturalis, pembaca bukan lagi merupakan konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab merupakan struktur dari struktur, setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak.
2.        Daftar Bacaan
Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language a Semiotic Approach to Literature and Art. Oxford: Basil Blackwell.
Noor, Redyanto. 2007. Prespektif Resepsi Novel Chiklit dan Teenlit Indonesia. Makalah diskusi Program Studi S3 Sastra.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A.. 1983. Membaca dan Menulis Sastra. Jakarta: Gramedia.  
Worton, Micheal and Judith Still. 1990. Intertextuality and Practices. New York: Manchester University Press.



C.      TEORI STRUKTURALISME
1.        Konsep Strukturalisme
Sudah sepantasnya, kita menyebut Istilah strukturalisme lahir dari seorang bapak linguistik modern bernama Ferdinand de Saussure. Saussure tidak hanya mempengaruhi pemikiran strukturalismenya pada satu titik yaitu bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang cukup radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Penelitian bahasa menurut pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai system yang sinkronik, makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitan dengan unsur-unsur lain. Sifat utama bahasa sebagai system tanda ialah sifat relasionalnya yang berarti keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan aspek-aspeknya harus diteliti dan dipahami lebih dahulu baru kemudian secara efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsepsi yang demikianlah merupakan awal mula aliran ilmu bahasa yang disebut strukturalis yang kemudian berpuluh-puluh tahun lamanya menjadi dominan dalam ilmu bahasa, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat.
Telaah sastra merupakan tahap awal dalam penelitian karya sastra yang harus dilakukan untuk mengetahui karya satra itu berkualitas apa tidak, tetapi untuk mengetahui hal tersebut tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja melainkan harus dari semua elemen secara keseluruhan. Analisis struktural merupakan salah satu cara untuk mengetahui kualitas sastra, dan merupakan jembatan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam karya sastra.
Analisis struktural sastra disebut juga pendekatan objektif dan menganalisis unsur intrinsiknya, Fananie (2000: 112) mengemukakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut misalnya, aspek-aspek instrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot (setting), karakter. Menurut Stanton (2007:20) membagi unsur-unsur instrinsik yang dipakai dalam menganalisis struktural karya sastra diantaranya, alur, karakter, latar, tema, saranasarana sastra, judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi.
Kelemahan terbesar dari strukturalisme adalah sifatnya yang sinkronistis. Sebuah karya sastra dianggap sebagai sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari dunia lainnya. Padahal, sebuah karya sastra adalah cermin zamannya. Artinya, karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang pada suatu kurun waktu tertentu merupakan gambaran dari kondisi kehidupan yang terdapat dalam kurun waktu tersebut. Di dalamnya terdapat gambaran tentang situasi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dari kurun waktu (zaman) tersebut. Strukturalisme mengabaikan semua itu. Strukturalisme hanya "bermain-main" dengan bangunan bentuk dari sebuah karya sastra semata-mata. Aspek-aspek kesejarahan dari sebuah karya sastra tidak dibenarkan untuk dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dapatlah dipahami jika teori strukturalisme diposisikan sebagai teori sastra yang a-historis. Seorang pengarang tidaklah menulis dalam sebuah ruang kosong. Ia menulis dalam sebuah ruang yang di dalamnya penuh dengan berbagai persoalan kehidupan. Persoalan-persoalan itu tentulah mempengaruhi alam pikiran pengarang ketika membuat karangannya. Kondisi itu diabaikan oleh teori strukturalisme
Berdasarkan penejelas di atas maka disimpulkan bahwa analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, serinci dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan karya menyeluruh. Aspek yang dimaksud adalah unsut intrinsic yang meliputi alur, karakter, latar, tema, saranasarana sastra, judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi. Namun, teori ini lemah pada sistem pengkajian yang dimelirik unsur di luar teks.
2.        Daftar Bacaan
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum (diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat dari judul Course De Linguistique Generale). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



D.      TEORI SRTUKTURAL FORMALISME RUSIA
1.        Konsep Struktural Formalisme Rusia
Konsep dasar Aliran Formalisme Rusia menitikberatkan pada pandangan bahwa, karya sastra mempunyai bahasa yang khas. Begitupun, aliran ini hanya menyentuh pada kajian instrinsik karya sastra. Sebab, menurutnya karya sastra tidak bisa dihubungkan dengan ilmu-ilmu yang lain dan tetap fokus pada otonomisasi tanda sebuah teks. Tokoh-tokoh yang mempelopori kelompok kajian ini antara lain, Roman Jakobson, Shklovsky, Eichenbaum dan Jurij Tynjanov. Mereka cukup lama tidak dikenal di Eropa Barat dan Amerika Serikat karena karya-karyanya diterbitkan dalam bahasa Rusia, kemudian sesudah tahun 1930 dilarang oleh Joseph Stalin yang menganggap aliran ini sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Marxis (Teuuw, 2003: 107).
Formalisme Rusia terbentuk dari sebuah perkumpulan yang dikenal dengan OPOJAZ (Obcestvo izucenija Poeticeskogo Jazzyka) atau Masyarakat Studi Puitika Bahasa yang didirikan di St. Petersburg. Aliran ini didirikan pada tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Viktor Shklovsky dan Jurij Tynjanov. OPOJAZ ini tidak berdiri sendiri dalam menghasilkan pemikiran Formalisme Rusia, kelompok lain yang ikut bergabung ialah Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan oleh Roman Jakobson, Peter Bogatyrev serta G.O Vinokur pada tahun 1914 (Susanto, 2012: 141). Istilah Formalisme diambil dari kata “form” bentuk atau isi dan mendasarkan pada pendekatan linguistik.
Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesusastraan, puitika, asosiasi, oposisi dan sebagainya. Metode yang digunakan, baik dalam kebiasaan formalisme, bahkan sesudah menjadi strukturalisme adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks ataupun mereduksi melainkan merekontruksi dengan cara memaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikan teks sebagai satu kesatuan yang terorganisir (Ratna, 2011:83).
Di satu sisi, formalisme Rusia memiliki beberapa tujuan lain. Pertama, formalisme Rusia bertujuan untuk menghasilkan satu bidang ilmu sastra yang independen dan faktual. Tujuan ini dikenalkan lewat istilah yang disebut puitika (poetics). Kedua, karena karya sastra bermediumkan bahasa, linguistik menjadi fondasi utama atau elemen utama dalam ilmu sastra. Ketiga, sastra memiliki satu otonomi khusus dari dunia eksternalnya sehingga bahasa sastra dibedakan dari bahasa yang digunakan sehari-hari. Keempat, sastra memiliki sejarahnya sendiri, yakni sejarah yang inovatif dalam struktur-struktur formalnya dan hal itu didominsai oleh dunia eksternalnya, atau sejarah materialnya. Kelima, sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari maksud atau isi karya itu sendiri, yang termanifestasi dalam bentuk dan struktur. Manifestasi itu merupakan elemen-elemen fakta yang mengisi karya itu (Susanto, 2012:142). Kerangka pemikiran formalisme Rusia ini mampu mengembangan kajian sastra dalam persfektif linguistik. Dari sini, disiplin semiotika berhasil muncul pasca revolusi yang mengatasnamakan dirinya sebagai aliran semiotika Rusia. Roman Jakobson adalah salah satu yang mengembangkan teori semiotika Rusia.
2.        Daftar Bacaan
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogykarta: Pustaka Pelajar.
Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: CAPS.
Teeuw, A. 2003.  Sastera dan ilmu Sastera. Jakarta:  Pustaka Jaya.

E.       TEORI STRUKTURAL GENETIK
1.        Konsep Teori Strukturalisme Genetik
             Orang yang dianggap sebagai peletak dasar madhab genetik adalah Hippolyte Taine (1766-1817) seorang kritikus dan sejarawan Francis. Ia mencoba menelaah sastra dari presfektif sosiologis dan mencoba mengembangkan wawasan sepenuhnya ilmiah dalam pendekatan sastra seperti halnya ilmu scientific dan exacta. Menurutnya bahwa sastra tidak hanya karya yang bersifat imajinatif dan pribadi melainkan suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu lahir. Ini merupakan konsep ginetik pertama tetapi metode yang digunakan berbeda, setiap tokoh mempunyai metodenya masing-masing. Tetapi kesamaan konsep setruktur hanya pada konteks hubungan phenomena konsep. Lucien Goldman (1975) seorang Marksis adalah orang yang kemudian mengembangkan fenomena hubungan tersebut dengan teorinya yang dikenal dengan strukturalisme genetic. Pada prinsifnya teori ini melengkapi sutrukturalisme murni yang yang hanya menganalisis karya sastra dari aspek intristiknya saja dan memakai peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas.
Teori Strukturalisme Genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya (Chalima, 1994). Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Paskal and the Tragedies of Racine (Chalima, 1994). Strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi pendekatan strukturalisme murni yang anti historis dan kausal. Pendekatan strukturalisme juga dinamakan sebagai pendekatan objektif (Juhl dalam Arif, 2007).
Teori strukturalisme genetik menjelaskan struktur dan asal muasal struktur tersebut dengan memperhatikan relevansi konsep homologi yaitu kelas sosial yang mempertahankan relevansi struktur dan ia menggunakan metode dialektika yang menekankan dan merpertimbangkan koherensi struktural dalam teori ini menekankan subjek transindividual yang berarti sebagai subjek dalam menciptakan karya sastra yakni penulis harus bisa menyampaikan perasaan dan pikiranya kepada pembaca dalam karya sastra misalnya supaya pembaca bisa memahami dan mengerti apa yang disampaikan penulis dan terjadi sama rasa dan pikiran dalam memahami karya sastra dan pandangan dunia pengarang terhadap subjek kolektif (transindividual subject) dan fakta manusia.
Untuk menopang teorinya tersebut Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain sehingga membentuk apa yang disebut sebagai strukturalisme genetik di atas. Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan (Faruk dalam Chalima, 1994).
1. Fakta Kemanusiaan
            Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktifitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta ini dapat berwujud aktifitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan seni sastra (Faruk dalam Chalima, 1994). Fakta-fakta kemanusiaan pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta yang kedua mempunyai peranan penting dalam sejarah, sedangkan fakta yang pertama tidak memiliki hal itu (Faruk dalam Chalima, 1994). Goldmann (Faruk dalam Chalima, 1994) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti. Yang dimaksudkannya adalah bahwa fakta-fakta itu sekaligus mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai fakta-fakta kemanusiaan harus mempertimbangkan struktur dan artinya. Goldman (Faruk dalam Chalima, 1994) juga mengatakan bahwa fakta-fakta kemanusiaan mempunyai arti karena merupakan respon-respon dari subjek kolektif atau individual, pembangunan suatu percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok bagi aspirasi-aspirasi subjek itu. Dengan kata lain, fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar .
2.  Subjek kolektif
            Subjek kolektif adalah subjek yang berparadigma dengan subjek fakta sosial (historis). Subjek ini juga disebut subjek trans individual. Goldmann mengatakan (Faruk dalam Chalima,1994) revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar, merupakan fakta sosial (historis). Individu dengan dorongan libidonya tidak akan mampu menciptakannya. Yang dapat menciptakannya hanya subjek transindividual. Subjek transindividual adalah subjek yang mengatasi individu, yang didalamnya individu hanyalah merupakan bagian. Subjek trans individual adalah kumpulan individu-individu yang tidak berdiri sendiri-sendiri, merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas.
3.  Struktur Karya Sastra
            Struktur karya sastra, dalam hal ini roman, tetap menjadi sesuatu yang penting. Struktur roman merupakan hal pokok yang harus diketahui dan dianalisis lebih dulu sebelum menganalisis pandangan dunia pengarang. Struktur roman adalah hal-hal pokok dalam roman yang meliputi unsur-unsur intrinsiknya. Di dalam eseinya yang berjudul The Epistemology of Sociology, Goldmann mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya yaitu pertama bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. dan kedua bahwa dalam usahanya dalam mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasirelasi secara imajiner . Dengan mengemukakan dua hal tersebut Goldmann dapat membedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi. Menurutnya filsafat mengekspresikan pandangan dunia secara konseptual, sedangkan sosiologi mengacu pada empirisitas (Chalima dalam Faruk, 1994).
            Dalam eseinya yang berjudul The Sociology of Literature: Status and Problem Method Goldmann mengatakan bahwa dalam hampir seluruh karyanya penelitian dipusatkan pada elemen kesatuan, pada usaha menyingkapkan struktur yang koheren dan terpadu yang mengatur keseluruhan semesta karya sastra (Faruk dalam Chalima,1994).
4.  Pandangan Dunia
            Goldmann (dalam Endraswara, 2003:57) berpendapat, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang.
Pandangan dunia menurut Goldmann adalah istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggotaanggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannyadengan kelompok-kelompok sosial lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi subjek kolektif yang memilikinya.
2.        Daftar Bacaan

Arif. 2007. “Strukturalisme Genetik” (online), (http://arif-irfan-fauzi.blogspot.com, diakses tanggal 20 Desember 2015).
Chalima, Nur.1994. “Novel senja di jakarta sebuah analisis strukturalisme Genetik”. Skripsi. Surabaya : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga
Eagleton. 2007. Teori Sastra. Jakarta: Jalasutra.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (penerjemah Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia.



F.       TEORI POSTMODERNISME
1.        Postmodernisme: Pengertian dan Konseptualisasi
Pencetus pemikiran postmodernist, pertama kali adalah Arnold Toynbee pada tahun 1939. sedangkan Charles Jencks menegaskan juga bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol  Frederico  de  Onis.  Dalam  tulisannya  Antologia  de  la  poesia  espanola  e hispanoamericana (1934),   Yang memperkenalkan   istilah   postmodernisme untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme (Benhabib, 1984: 111). Toynbee dianggap sebagai  pencetus istilah  tersebut  dibuktikan dengan bukunya yang terkenal berjudul Study of History. Pada tahun 1960, istilah postmodernisme berhasil menembus benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. Semisal  J. Francois Lyotard, adalah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition” sebagai kritikan atas karya “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas. Berdasar konseptualisasi ini --jika disepakati-- maka sekarang (tahun 2011)  “kita” berada dalam  zaman postmodern. Suatu zaman, di mana pramodern dan modern telah dilewati.
Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi (Leahy, 1985: 271), universalisasi tunggal dan kemajuan saints Postmodern memiliki ide cita-cita, ingin meningkatkan kondisi sosial, budaya dan  kesadaran akan semua realitas serta perkembangan dalam berbagai bidang. Postmodern mengkritik modernisme yang dianggap telah menyebabkan sentralisasi dan universalisasi ide di berbagai bidang ilmu dan teknologi, dengan pengaruhnya yang mencengkram  kokoh dalam bentuknya globalisasi dunia.
Prinsip  postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan peripheral dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Jadi postmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang. Postmodernisme merupakan intensifikasi (perluasan konsep)  yang dinamis, yang merupakan upaya  terus menerus untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan, yang menentang dan tidak percaya pada segala bentuk narasi besar (meta naratif), dan penolakannya terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran totalitas, dan lain-lain. Postmodern dalam bidang filsafat diartikan juga segala bentuk refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya dan berusaha untuk menemukan bentuknya yang kontemporer.
Postmodernisme jika diperhadapkan dengan modernisme, memiliki posisi yang beragam. Disatu sisi modernisme  dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Bahkan mengantarkan manusia ke jurang ketimpangan.  Atas dasar kritik ini,  maka perlu gerakan dan ide-ide baru yang disebut dengan postmodernisme. Sedang sebagian lagi beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernita. Perbedaan pendapat dua kelompok mengenai pemahaman Post-modernisme cukup berbeda secara signifikan. Satu konsep mengatakan bahwa modernisme berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradoks yang kontras. Sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, seperti pijakan tangga yang satu dengan tangga berikutnya secara berurutan. Dalam konsep ini kita tidak dapat masuk jenjang tangga postmodernisme tanpa melalui tahapan tangga modernisme (Turner, 2000)
Di tengah perdebatan dua konsep di atas, terdapat pendapat ketiga yang ingin menengahi dua pendapat yang kontradiktif tadi. Kata “Post” dalam sebutan postmodernisme  bukan hanya berarti “setelah” (masa berikutnya), postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari nalar intelektual manusia yang terus bermetamorfosis. Disinilah postmodernisme muncul sebagai sebuah ide ke dalam kancah perdebatan dengan berbagai lingkup Diskursus dan dengan segala dimensinya.
Berkaitan dengan postmodernisme  mengandung sejumlah  konseptualisasi yang kompleks. Postmodernisme memiliki pengertian yang cukup ambigu. Postmodernisme merupakan gabungan dan peleburan dari berbagaia gaya pemikiran filosofis. Yang kesemuanya dirangkum dan diikat oleh sebuah nalar unik dan seolah – olah tiada batasan  dengan rambu-rambu yang konkret dan jelas. Kerangka konseptual itu misalnya ruang diskursive yang dikaji, persoalan-persoalan yang dicoba ditemukan jawabannya oleh kaum posmodernisme dan teori-teori posmodernisme yang dilontarkan oleh para teoritikus ilmu pengetahuan. Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi, universalisasi tunggal dan kemajuan saints.
Ciri  dari postmodern adalah melingkupi hal-hal secara konseptual ide melakukan kritik ideologi iolmu pengetahuan modern yang meliputi: pengangkatan derajad martaba manusi. bahasa semoitotik Hermeneutik, Filologi  sebagai language game.  merupakan ide-ide cemerlang yang menjadi daya dorong  kebangkitan golongan tertindas, seperti golongan ras, gender, kelas minoritas secara sosial yang tersisihkan. Ide tentang tumbuhnya kesadaran akan pentingnya interdependensi secara radikal dari semua pihak dengan cara yang dapat dan memungkinkan terpikirkan oleh manusia sehingga hal- hal yang mapan dan permanen  harus di dekonstruksi.

2.        Daftar Bacaan
Benhabib, Seyla. 1984. Epistemologies of Postmodernism: A Rejoinder to Jean - Francois Lyotard. Autum: Telos press.
Leahy, Louis. 1985. Manusia Sebuah Misteri;sintesa filosofis makhluk paradoks. Jakarta: Gramedia.
Turner, Bryan S. 2000. Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.




G.      TEORI DEKONSTRUKSI
1.        Konsep Teori Dekonstruksi
Sebagaimana kita tahu, pemikiran Barat selalu menunjukkan terjadinya pertarungan antara Metos dan Logos. Pada zaman modern, Logos nampak menguasai pemikiran manusia. Para filsuf berdebat tentang dasar-dasar, asas-asas, eidos, aarchetelos energeiaousia (hakikat, eksistensi, substansi, subjek), aletheiatransendentalitas, kesadaran atau suara hati, Allah, manusia dan seterusnya. Mereka menganggap bahwa dengan berhasil menjelaskan konsep tersebut berarti mereka telah menguasai realitas. Sampai sekarang jika kita lihat bahwa bagi tradisi metafisis segala sesuatu yang hadir juga dan seandainya terdapat sesuatu yang hadir maka tanda adalah sarana untuk menghadirkannya.
Derrida menolak pandangan tersebut, justru menurutnya tanda, kata, atau konsep tidaklah menghadirkan “Ada”, melainkan hanya merupakan “bekas”(trace). Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace, yakni suatu yang sebelumnya sudah dipakai sebagai istilah teknis dalam filsafat, pada Plotinos misalnya dan di zaman kita sekarang pada Heidegger dan terutama Levinas. Tidak mudah menjelaskan maksud dari istilah ini. Yang penting di sini adalah bahwa sebuah bekas tidak mempunyai substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti terpisah (terisolir dari segala sesuatu yang lain), tetapi hanya sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Bagi Derrida, bekas mendahului objek. Bekas itu sebenarnya bukan efek, melainkan penyebab. Paham ini memungkinkan untuk memikirkan kehadiran sebagai efek dari bekas itu. Dengan demikian, kehadiran tidak lagi merupakan sesuatu yang asali, melainkan diturunkan dari bekas (Bertens, 1985: 495). Karena metafisika modern bertumpu pada pandangan tersebut, maka ia harus didekonstruksi jika mengiginkan solusi atas delema modernitas.
Derrida memandang bahwa pandangan para filsuf Barat, dari Plato hingga Rousseau, dari Descartes hingga Husserl, juga masih dikungkung oleh tradisi berpikir “logosentrisme”. Logosentrisme artinya mempercayakan sepenuhnya pada logos atau rasio. Ciri yang menonjol dari tradisi logosentrisme ini adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi biner yang bersifat hirarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksidensi, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/empiris, positif/negatif, bahasa lisan/bahasa tulisan, konsep/metafor, dan seterusnya) dengan anggapan bahwa yang pertama merupakan pusat, asal-muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedang yang kedua hanya sebagai derivasi, manifestasi pinggir, dan sekunder dalam kaitannya dengan yang pertama (Sahal, 1994: 19).
Menurut Derrida, tugas dekonstruksi adalah untuk menghilangkan
ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat, yaitu ide yang mengatakan bahwa rasio bisa lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. meskipun filsafat mencoba menyingkirkan karakter tekstual atau “tertulis”-nya, namun tanda-tanda (signs) pertempuran tersebut masih tetap terpampang jelas di dalam berbagai kelemahan metafor dan strategi retorikal filsafat lainnya.
Kritik tersebut juga diarahkan pada logosentrisme yang dicirikan oleh dominannya konsep totalitas dan konsep esensi. Konsep totalitas merupakan ide yang menyatakan akan kesatuan realitas. Konsekuensinya dari pemahaman ini adalah adanya pengetahuan yang menindas, karena memaksa manusia masuk ke dalam sistem. Konsep esensi adalah konsep tentang pengetahuan yang mendasari sesuatu. Konsep ini pada akhirnya menimbulkan dogmatisme dan melegitimasi kekuasaan mutlak rasio.
Karena itu, banyak pemikiran Derrida beranjak dari pengandaian adanya sesuatu di antara kedua kategori oposisional, yang disebutnya kediantaraan (in-betweenness). Dalam hal ini ia mengingatkan kemungkinan semacam itu selalu terjadi karena adanya kecenderungan pengelakan dan ketakdapatditentukannya (undecidability) realitas. Suatu ketidakdapatditentukan adalah sesuatu yang tak dapat cocok terhadap kedua polaritas dari sebuah dekotomi, misalnya zombie, yang berada antara hidup dan mati, atau androgini, yang berada di antara laki-laki dan perempuan, maupun orang asing yang berada di antara teman dan musuh. Bahkan, seringkali realitas bisa saja menunjukkan sekaligus tidak berada dalam keduanya sehingga bisa sekaligus berarti berada dalam keduanya pada saat yang sama.
Dengan demikian, ketakdapatditentukan mengacaukan struktur biner dari pemikiran metafisis karena membuat struktur oposisi either/or tersingkir. Ketakdapatditentukan menempuh segala jalan, tapi tak memihak. Pembuyaran kepastian ini lalu sekaligus menjadi pembyaran metafiska juga. Oleh karena itulah filsafat Derrida ini kerap disebu anti-fondasionalisme. Di samping itu, Derrida juga mengkritik phonosentrisme yang lebih mengutamakan ujaran dibanding tulisan (speech/writing). Suara adalah pokok, sementara tulisan hanyalah derivasi belaka (Danujaya, 2004).

2.        Dekonstruksi dan Kritik Epistemologi
Pandangan logosentrisme berimplikasi pada pandangan epistemologi modern yang ditandai dengan dikotomi subjek-objek. Ketika peranan subjek demikian besar, maka objek akan menjadi bahan eksploitasi bagi subjek. Dengan rasionya, subjek akan menjadi penentu validitas kebenaran. Demikian, karena metafisika telah mempengaruhi pandangan epistemologisnya. Ciri yang paling menunjol adalah dominasi subjek dan kebenaran yang absolut, yaitu kebenaran yang tunggal, umum dan universal. Kebenaran yang demikian tentunya sangat berbahaya, karena akan menjadi tempat persembunyian kepentingan kekuasaan antara pihak yang satu atas pihak yang lain.
Dalam perspektif Derrida, kecenderungan filsafat selama ini adalah mencari kebenaran absolut, sehingga mengabaikan pengertian bahasa yang digunakan untuk menyusun konsep dan teori. Filsafat percaya bahwa konsep dan teori mampu mempresentasikan kebenaran seperti apa adanya. Oleh karena itu, praksis dan etika kehidupan publik manapun harus mendasarkam dirinya di atas konsep filosofis yang kuat klaim kesahihannya. Demikianlah yang diyakini para filsuf seperti Plato, Hegel, Marx, dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt (Santoso, 2003: 252). Derrida menginginkan kebenaran itu tidak harus dibatasi pada kebenaran tunggal, umum, dan universal, karena dalam kenyataaanya kebenaran itu bersifat plural, partikular, dan relatif. Untuk merealisasikan gagasan sekaligus kritiknya atas modernitas, Derrida mengungkapkannya dalam metode dekonstruksi dan uraian tentang “differance”.
Istilah difference berperan utama sebagai pengacau dalam mengobrak-abrik gagasan-gagasan Husserl. Istilah ini pertama-pertama diperkenalkan dengan cara mendeskripsikan elemen-elemen pertandaaan tak-bermaksud (non-intent), yang merujuk pada wilayah rasa (sense) indikatif, tanpa melewati refleksi yang sadar. Logika Derrida sebenarnya sederhana saja, tetapi punya tenaga perusak yang sangat besar. Bahasa dapat memenuhi syarat-syarat kehadiran-diri sebuah makna, kalau dia bisa menyediakan akses total dan langsung ke dalam pikiran yang telah memberi kesempatan bagi bahasa agar bisa dituturkan.
Tetapi ini adalah syarat yang tak mungkin dipenuhi. Kita tidak akan bisa memiliki apa yang disebut Derrida sebagai “intuisi primordial tentang pengalaman langsung yang lain”. Dalam bentuk apapun, harus diakui bahwa bahasa akan selalu gagal mencapai tujuan kehadiran-diri ekspresif. Bahasa harus selalu memakai karakter indikatif yang memadai ketertangguhan makna. Berdasarkan praduga tradisional, hal ini barangkali merpakan proses kematian yang sedang terjadi dalam diri tanda-tanda. Namun sayangnya, tradisi tidak punya apa-apa lagi untuk ditawarkan, karena motif dan metafor-metafor yang mendasarinya telah dipertanyakan. Di manapun kehadiran langsung dan utuh tanda-tanda diketahui, hakikat penanda akan selalu bersifat indikatif (Derrida, 1973: 40).

3.        Dekonstruksi dan Kebenaran
Menurut Derrida, manusia harus menyikapi secara hati-hati represetasi realitas yang diklaim secara universal mengandung kebenaran tunggal. Realitas demikian menurutnya dikonstruksi lewat penalaran yang mendominasi (logosentrisme), bahasa rasional yang mencoba merepresentasikan dunia yang dikatakan sesungguhnya (real). Bahasa rasional demikian berupaya menjamin esensi dari segala sesuatu menciptakan makna dengan metafisika kehadiran. Strategi dekonstruksi membongkar semua itu bukan dengan hanya menciptakan makna baru kerena pembongkaran makna adalah yang melibatkan what is dan bukan what isn’t. Oleh karena itu, konsep difference menjadi penting, konsep yang mengungkapkan what isn’t bukan berdasarkan perbedaan, namun secara terus-menerus melakukan penundaan/gap (deffered). Di sini Derrida mengajukan argumen yang menarik bahwa upaya untuk mendekonstruksi makna lewat difference dengan cara kerja what isn’t melibatkan sekaligus perbedaan dan penundaan.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan benar dan tidak benar di sini? Pertanyaan ini tentunya tidak sesederhana yang dibayangkan, dan banyak filsuf berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada filsuf yang menganggap bahwa kebenaran adalah pernyataan, atau yang benar-benar nyata, atau sebuah persoalan mental dan linguistik. Oleh sebab itu, pembahasan kebenaran dapat dikatakan merupakan persoalan korespondensi (dengan fakta, situasi, realitas, keadaan, dan sebagainya), atau koherensi. Pada dasarnya, kebenaran itu menurut filsafat modern adalah yang secara natural ada atau secara objektif ada.

4.        Daftar Bacaan
Bertens, K. 1985. Filsafat Abad XX Jilid II: Prancis. Jakarta: Gramedia.
Danujaya, Budiarto. 2004. Dekonstruksi dan Kontroversi. Kompas, Minggu, 17 Oktober 2004.
Derrida, Jacques. 1973. Speech and Phenomena, and Other Essays on Hurserl’s Theory of Singns. Northewestern: Northewestern University Press.
Sahal, Ahmad. 1994. “Kemudian di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Geneologi, dan Dekonstruksi”, dalam Jurnal Kebudayaan KALAM, no.1 Th. 1994, Yayasan Kalam Dan Penerbit Pustaka Grafiti, Jakarta.
Santoso, Heri. 2003. Metode Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press.



H.      TEORI SEMIOTIKA
1.        Konsep Semiotika
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).
2.        Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Secara ringkas teori dari Barthes ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini konteks budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan tersebut. Dalam contoh di atas, pada tahap I, tanda berupa BUNGA MAWAR ini baru dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya berwujud dua kuntum mawar pada satu tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga mawar itu memberi petanda mereka akan mekar bersamaan di tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan untuk masuk ke tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam budaya kita, bunga adalah lambang cinta? Atas dasar ini, kita dapat sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat cimta itu abadi seperti bunga yang tetap bermekaran di segala masa. Makna denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa kita pada sebuah mitos, bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.



I.         TEORI HERMENEUTIKA
1.        Konsep Hermeneutika
Secara etimologis kata hermeneutika (hermeneneutic) berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti menjelaskan, menerjemahkan dan mengekspresikan (Sumaryono, 1993). Kata bendanya hermeneia, artinya tafsiran. Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein dan hermeneia dipakai dalam tiga makna, yaitu (1) “mengatakan”, to say (2) ”menjelaskan” to explain dan (3) “menterjemahkan”, to translate. Tiga makna inilah yang dalam kata Inggris diekspresikan dalam kata : to interpret. Interpretasi dengan demikian menunjuk pada tiga hal pokok: pengucapan lisan (an oral ricitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explation) dan terjemahan dari bahasa lain (a reation from another language) (Siswanto, 1998).

2.        Pandangan Hans-George Gadamer tentang Hermeneutika
Hans-George Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Ia belajar filsafat pada universitas di kota asalnya, antara lain pada Nikolai Hartmann dan Martin Heidegger dan mengikuti kuliah juga pada Rodolf Bultmann, seorang teolog protestan. Gadamer dikenal sebagai seorang penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang amat terkemuka. Lewat karya monumentalnya Wahrheit and Methode: Grundzuge einer Philosophischen Hermeneutik (Kebenaran dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis menurut garis besarnya) telah menghantarkan dirinya sebagai seorang filsuf terkemuka di bidang hermeneutika filosofis. Dalam penjelasan ontologis hermeneutik, Gadamer menguraikannya dengan proposisi berikut ini:
a.      Historikalitas.
Proposisi historikalitas adalah penyadaran bagi subjek (interpretator teks) dalam melakukan analisis (penafsiran teks) diharuskan untuk tidak terlepas dari kajian pengalaman- pengalaman (historis) yang berkatian dengan teks. Pemahaman Gadamer tentang sejarah tidak seperti pemahan orang pada umunya, yang menganggap sejarah adalah bagian dari teks ”mati” (teks mati adalah pemahan positivistik yang beranggapan sejarah itu mati dan tidak berkontribusi bagi masa kini atau masa depan). Bagi Gadamer, sejarah adalah objek dinamis yang perlu dikaji oleh subjek dalam menentukan objektivitas teks (objek).
b.        Prasangka Historikalitas
Proposisi ini berangkat dari pemikiran Heidegger yang beranggapan dalam penafsiran sejarah, diusahakan subjek melakukan visualisasi dan imajinasi pemikiran.Gadamer mendefinisikan penjelasan tersebut adalah kerja prasangka subjek. Subjek dalam mengalisis pengalaman diberi kesempatan untuk melakukan prasangka atas sejarah teks. Menurut Heidegger, dalam penafsiran sejarah, subjek tidak berangkat dengan otak kosong, subjek harus berangkat dari prasangka, ide dan gagasan. Tanpa hal tersebut subjek tidak bisa menggiring sejarah pada posisi dinamisasi. Karena pada intinya, kerja hermeneutika adalah kerja dialogisasi. Oleh karean itu sejarah harus dibentuk sebagai objek dinamisasi melalui prasangka subjek. Prasangka subjek adalah pertanyaan awal atas objek. Ingat, pertanyaan atau prasabgka hanyalah proses bukan akhir.
c.         Dialogisasi Hermeneutika
Propoisi ini menjadi hal yang penting dalam hermeneutika Gadamer dengan alasan, pertama,melalui dialogisasi subjek dan objek mampu menghindari pemahaman dogmatisasi atas kebenaran (menurut Gadamer, dogmatisasi adalah istilah haram dimliki oleh hermeneutikasian),kedua, dialog adalah prasyarat utama dalam membahasakan teks, ketiga, dialog adalah prsayat utama dalam menemukan titik tengah atas multitafsiran teks.
d.        Linguistikalitas Hermeneutik.
Bagi Gadamer, dalam hermeneutika bahasa menjadi kata kunci utama setelah dialogisasi. Bahasa dalam pandangan Gadamer tidak seperti yang dipahami oleh orang pada umumnya. Menurut Gadamer, bahasa adalah individu dan struktur sosial (tradisi, budaya, norma, dan nilai). Bahas berperan penting bagi pembentukan prilaku subjek maupun teks. Oleh karena itu memahami bahasa adalah memahami teks.
            Bagi Gadamer manusia tidak akan bisa menemukan kebenaran sejati (kebenaran aksiomatik), sekalipun menggunakan filsafat hermeunitika seperti yang diuraikan sebelumnya. Inilah inti dari ajaran hermeunitika Gadamer. Pertanyaanya, jika tidak dapat menemukan kebenaran lalu apa tujuan hermeunitika? Kenapa Gadamer mengatakan tidak ada kebenaran sejati. Berikut penjelasan Gadamer.
Apa yang ada di dalam pernyataan bukanlah cara yang tepat untuk mengatakan apa yang dimaksudkan seseorang karena peristiwa pemahaman bahasa sekaligus memuat apa yang dikatakan ketidakterbatasan dari apa yang tak terkatakan dalam satu kesatuan dengan ketidakterbatasan dari apa yang tak terkatakan dalam satu kesatuan makna, sehingga dengan cara demikian membuatnya dapat dimengerti.Tepatnya dengan cara ini apa yang tak terkatakan dan apa yang akan dikatakan sama- sama terkandung dalam bahasa. Maka kata- kata akan mengungkapkan suatu hubungan tertentu dengan totalitas ada dan membiarkannya masuk ke dalam bahasa itu sendiri. Sebaliknya, setiap orang yang hanya mengulangi apa yang sudah dikatakan tersebut karena didalam setiap pengulangan, ungkapan asli mengenai konteks makna yang tidak dibicarakan menghilang (Gadamer, 2004).
Sudah jelas, bagi Gadamer esensi kebenaran adalah relatif, yaitu tergantung bagaimana orang menafsirkannya, dan dalam konteks mana teks itu muncul. Ingat, kebenaran teks adalah kebenaran kontekstualitas bukan universalisisme seperti kaum positivistik memahaminya. Oleh karena itu, Gadamer mewajibkan kepada siapun, jika ingin memahami teks maka pahamilah sejarah munculnya teks itu. Inilah kunci utama Gadamer dalam ilmu hermeunitika.
Berdasarkan landasan keilmuan sebetulnya tidak ada perbedaan anatara hermeneutika dengan penafsiran, karena merupakan pisau analisa atau alat bedah dari metode tafsir dan interpretasi. Sehingga Gadamer memandang hermeneutika sebagai gerbang tafsir atas kondisi material, objektif dan struktural yang berusaha menemukan makna dalam lingkup teks. Dengan kalimat lain, hermeneutika adalah teori penafsiran.
3.        Daftar Bacaan
Bleicher, Josef. 2005. Hermeneutika Kontempores: Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Darmaji, Agus. 1999. Pergeseran Hermeneutik Ontologis Melalui Bahasa dalam Pemikiran Hans Georg Gadamer. Jakarta: Universitas Indonesia.
Gadamer, Hans-Goerg. 2004. Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika (diterjemahkan Ahmad Sahida dari judul Truth and Method). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswanto, Joko. 1998. Sistem-sistem Metafisika Barat dan Aristoteles sampai Derrida. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumaryono, E.. 1993. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Jakarta: Kanisius.

J.        TEORI MIMPI
1.        Konsep Teori Mimpi Sigmund Freud
Sigmund Freud yang membuka babak baru disepanjang usianya mulai dari tahun 1856 sampai 1939 (Sundberg, Winebarger, & Taplin, 2007). Banyak pemikiran dan gagasannya dalam teori psikologi yang begitu substansial sekaligus kontroversial (Alwisol, 2006). Ia telah menuai berbagai macam tanggapan, mulai dari pujian dan kekaguman hingga kritik dan celaan dari berbagai kalangan. Salah satu maha karya revolusioner buah pemikirannya adalah buku “The Interpretation of Dream” atau Tafsir Mimpi yang terbit pada bulan Desember dengan angka tahun terbit 1900 .
Pada pergantian abad di Wina, Austria, Dr. Sigmund Freud mengklaim bahwa ia menemukan pintu baru menuju alam bawah sadar, dengan cara meminta pasiennya untuk menceritakan apa yang ada di dalam pikirannya atau mimpinya semalam, sigmund freud percaya bahwa ia dapat menafsirkan makna yang terkandung dalam sebuah mimpi dengan menggunakan teknik-teknik psikologis tertentu. Dalam klaimnya tersebut Freud berpendapat bahwa tujuan dari mimpi-mimpi yang dialami manusia adalah untuk sarana memuaskan atau pemenuhan hasrat (wish fulfillment) dari dorongan insting alamiah yang tidak bisa diterima oleh masyarakat seperti agresi, kekerasan, atau dorongan seksual.
Di dalam buku “The Interpretation of Dream” Freud juga menjanjikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika kepribadian manusia. Terminologi dan gagasannya menyerap dalam kehidupan kontemporer umat manusia. Freud mengajari umat manusia untuk menyadari setiap tindakan dan perasaan yang terkadang kita anggap tidak bermakna seperti selip lidah (slip of tongue) dan tentu saja mimpi. Freud berusaha untuk menciptakan metode tafsir mimpi untuk mengungkap makna sebenarnya dari tindakan manusia yang tampak tak bermakna dan tidak disadari sepenuhnya.
Maha karya freud tentang mimpi dimulai pada tahun 1887 ketika dia mengamati sejumlah wanita muda yang menderita gejala histeria. Sebuah gejala kompleks yang membingungkan mulai dari rasa sakit/nyeri, kedutan, hingga lumpuh total (paralyzed). Dia semakin yakin bahwa gejala tersebut muncul akibat pembelaan dan pengingkaran yang rumit terhadap rasa sakit dari syok fisik akibat trauma masa lalu yang terlupakan. Ketika itu Freud gagal merawat pasien histeria dengan menggunakan teknik hipnosis. Namun demikian, ketika pasiennya mulai menceritakan tentang mimpi-mimpinya, Freud semakin tertarik dan penasaran. Ia semakin yakin bahwa ada peran yang dimainkan oleh mimpi dalam mengungkap trauma tersembunyi. Saat Freud menafsirkan mimpi, dia bertanya pada pasien mengenai apa yang bisa diingatnya. Mimpi yang diingat tersebut oleh Freud disebut dengan “isi jelas dari mimpi” atau “The manifest content of dream”. Selanjutnya, dia minta pasiennya untuk menghubungkan elemen-elemen mimpinya dan itu berarti pasiennya harus menceritakan setiap hal yang terlintas di benaknya yang terkait dengan mimpi secara keseluruhan maupun rinciannya.
Penafsiran freud tentang makna mimpi didasarkan pada pemahamannya yang luas mengenai sifat manusia. Freud beranggapan bahwa manusia merupakan hewan egois yang memiliki dorongan agresif dan hasrat mencari kenikmatan. Kemudian, manusia belajar untuk menekan dorongan hewani itu ketika dewasa untuk dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Tapi kita (manusia) tidak pernah benar-benar dapat menaklukkan insting primitif itu. Menurutnya, struktur kepribadian manusia terdiri dari tiga bagian: (1) diri hewani yang mengandung inti jiwa yang disebut dengan “id”; (2) “ego” sebagai diri rasional; dan (3) “superego” sebagai representasi tekanan dari masyarakat mengenai apa yang benar (ego ideal) dan salah (conscience). Diri “id” sudah terbentuk sejak manusia itu lahir, sedangkan “ego” dan “superego” terbentuk setelahnya dari kebutuhan untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Seringkali “superego” dan “id” saling berkonflik satu sama lain.
Freud memandang jiwa sebagai medan perang yang penuh konflik dengan berbagai komponen kepribadian yang saling berjuang tanpa henti. Perasaan akan ditekan ketika “ego” atau “superego” terlalu mendominasi “id”. Baginya, perasaan dan emosi yang ditekan dan tidak terekpresikan dengan baik akan menimbulkan permasalahan.
Lebih lanjut, dalam buku “The Interpretation of Dream” Freud memberikan formula yang bisa merasionalkan mimpi yang paling membingungkan sekalipun. Teorinya tersebut mengandalkan bagian dari pikiran yang berfungsi sebagai sensor, sensor yang berfungsi untuk mengedit mimpi-mimpi kita. Jika kita memimpikan pemenuhan hasrat yang sebenarnya, freud mengatakan, “hal itu akan menimbulkan emosi, dan emosi kuat yang tercipta akan membangunkan kita.”. Oleh karena itu, sensor tersebut mengubah isi mimpi yang menyamarkan makna sebenarnya. Freud menyebut proses penyamaran makna ini sebagai transformasi hasrat atau “Dreamwork”, yang terdiri dari beberapa proses. (1) Displacement, menggeser emosi dari satu gagasan ke gagasan lainnya. (2) Condentation, meleburkan banyak gagasan menjadi sebuah simbol. Bersama (3) symbolization dan (4) projection komponen “dreamwork” bergabung untuk mengubah gagasan-gagasan mimpi yang sebenarnya menjadi gambaran mimpi yang lebih bisa diterima. Setelah sensor menyelesaikan “dreamwork”, ego mengatur komponen-komponen aneh mimpi agar mimpi memiliki makna. Proses ini yang kemudian oleh Freud disebut sebagai manifestasi mimpi.
Proses penafsiran mimpi melibatkan penguraian isi “nyata” untuk menemukan makna sebenarnya dari mimpi yang tersembunyi atau isi “mimpi terpendam”. Tafsir mimpi dalam buku Freud sebagian besar bertemakan tentang bagaimana manusia hidup dengan sebuah kehilangan. Bagaimana merasionalkan masa lalu dengan elemen-elemen masa lalu yang telah hilang, dan bagaimana manusia menyimpannya menjadi bentuk yang bermakna untuk kehidupan yang sekarang.
K.      TEORI HEGEMONI
1.        Konsep Toeri Hegemoni Gramci
Titik awal konsep Gramci tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan ke kuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi,. Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, the Prince (Sang penguasa), Gramsci menggunakan centaur mitologi yunani, yaitu setengah binatang dan setengah manusia, sebagai simbol dari ‘perspektif ganda’ suatu tindakan politik kekuatan dan konsensus, otoritas dn hegemoni, kekerasan dan kesopanan. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaa, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus. Dalam beberapa prgaraf dari karya Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata direczione (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan egemonia (Hegemoni) dan berlawanan dengan dominazione (dominasi). Penggunaan kata hegemoni dalam penegertian Gramsci harus dibedakan dari makna asalnya dalam bahasa Yunani, yaitu penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain.
Teori hegemoni Gramsci adalah salah satu teori politik paling penting abad XX. Toeri ini dibangun diatas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci , agar yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksu gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual. Dalam konteks ini, Gramsci secara berlawanan mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supremasi lain yang dinamakan “dominasi,” yaitu kekuasaan yang ditopang oleh keuatan fisik. Tentu saja teori  hegemoni bukanlah barang baru dalam tradisi marxis.
Jadi gramsci mengubah makna hegemoni dari strategi (sebagaimana menurut lenin) menjadi sebuah konsep yang seperti halnya konsep marxis tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas dan negara, menjadi sarana unutk memahami masyarakat dengan tujuan mengubahnya, ia mengambangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaanya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan negara kedalam konsepnya tentang hegemoni. Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan keuatan sosial lain. Kelas hegemonik, atau kelompok kelas hegemonik, adalah kelas yang mendaparkan persetujuan dari keuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan memepertahankan sistem aliansi melalui perjauangan politik dan ideologis. Konsep ideologis dibangun degnan memesaukkan beberapa konsep lain yang berkaitan dengannnya. Itulah sebabnya mengapa definisi yang singkat mengenai hegemoni tidak pernah memadai.
Kelas yang lebih rendah hanya dapat menajdi kelas hegemonik degan cara memeperkuat kemapuan untuk memperoleh dukungan dari kelas dan keuatan sosial lain. Kelas yang lebih rendah harus mulai melampui aktifitas korporasi dama lingkup setempat, yaitu aktifitas ketika mereka hanya peduli dengan kepentingan mereka sendiri yang bersifat sesaat, dan harus bergerak maju menuju fase hegemonik dengan memperhatikan juga kepentingan kelas kelompok lain. Hubungan antara dua kelas utama, feodal dan kapitalis, atau kapitalis dan kelas pekerja, bukan merupakan suatu hubungan oposisi yang sederhana antara dua kelas, tetapi merupakan ancaman dari beberapa hubungan yang rumit dan melibatkan berbgai kelas kelompok dan kekuasaan sosial yang lain.
Sejauh ini Gramsci hanya memberikan difinisi marxis klasik terhadap lahinya sebuah kelas. Sumbangannya yang nyata terkihat pada anilisisnya mengenai hubungan berbagai keuatan politik. Ia mengambil contoh munculnya kelas kapitalis, dan membedakan tiga fase perkembangan kesadaran politik kolektif dan organisasi. Dua fase yang pertama adalah fase ekonomi-korporasi (sering singkat korporasi). Sedang etiga adalah fase hegemonik.
Fase pertama dan paling awal terjadi ketika seorang pedagang merasa perlu bediri sejajar dengan pedagang lain, seorang pengusaha dengan penguasa yang lain, dan lain sebgainya ; namun pedagang belum merasakan timbulnya solidaritas dari pengusaha. Anggota kelompok profesional sadar akan kepentingan bersama mereka dan perlunya mereka bersatu, namun mereka belum menyadari kebutuhan untuk bergabung dengan kelompok lain ke dalam kelas yang sama.
Kedua yang lebih maju adalah fase dimana telah tumbuh kesadaran akan kepentingan bersama semua kelas namun masih dalam bidang ekonomi. Pada tahapan ini masalah negara sudah diperhatikan, namun hanya sebatas untuk memperoleh persamaan politik dan hukum dengan kelompok yang berkuasa hak untuk ikut serta dalam peneetapan undang-undang dan adminstrasi, bahkan untuk mengubahnya memang dalam struktur dasar yanmg ada.
Fase ketiga adalah fase hegemoni “dimana orang menajdi sadar bahwa kepentingan perusahannya dalam perkembangan dimasa sekarang dan mendatang, mellampui batas-batas korporasi kelas yang bersifat murni ekonomi, dan kepentingan itu dapat harus menjadi kepentingan dari kelompok yang lebih rendah”. Ini adlah tahap yang murni politik, ini adalah fase dimana fase ideologi-ideologi yang sebelumnya terpecah-pecah sekarang bersaing sampai salah satunya , atau gabungan dari ideologi-ideologi itu, memeng sehingga bisa menyatukan tujuan-tujuan ekonomi, politik, intelektual dan moral serta persoalan sehingga perjuangan tidk berlangsung dalam dataran korporasi namun dataran ‘universal’ yang pada akhirnya terciptalah hegemoni suatu kelompok sosial yang kuat terhadap kelompok lain yang lebih rendah.
2.        Daftar Bacaan
Sugiono, muhadi. 2006. Kritik Antonio Gramsci terhadap pembangunan dunia ketiga. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.
Roger, Simon. 2004. Gagasan-gagasan politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Sugiono, Muhammad. 2006. Kritik Antonio Gramsci terhadap pembangunan dunia ketiga. Yogyakrta: Pustaka Pelajar.



L.       TEORI FEMINISME
1.        Konsep Teori Fenisme Simon de Beauvoir
Simone de Beauvoir adalah tokoh feminisme modern dan ahli filsafat Perancis yang terkenal pada awal abad ke-20, ia juga pengarang novel, esai, dan drama dalam bidang politik dan ilmu sosial. Beauvoir yang lahir di Paris, 9 Januari 1908, memperoleh gelar dalam bidang filsafat dari Universitas Sorbonne di Perancis, ia lulus tahun 1929. Kemudian ia mengajar di sekolah menengah di Marseille dan Rouen mulai 1931 hingga 1937, dan di Paris tahun 1938-1943.
Setelah Perang Dunia, ia muncul sebagai pejuang pergerakan eksistensialisme, bersama Jean-Paul Sartre dengan karya Les Temp Modernes. Ia dikenal karena karyanya dalam politik, filsafat, eksistensialisme, dan feminisme, terutama karya Le Deuxième Sexe yang diterbitkan pada tahun 1949. Buku tahun 1949 karya eksistensialis Simone de Beauvoir yang berjudul The Second Sex (bahasa Perancis:Le Deuxième Sexe) adalah salah satu karya Beauvoir yang paling terkenal, mengisahkan mengenai perlakuan terhadap wanita sepanjang sejarah dan sering dianggap sebagai karya utama dalam bidang filsafat feminis yang menandai dimulainya feminisme gelombang kedua. Beauvoir meneliti dan menulis buku ini dalam waktu 14 bulan saat ia berusia 38 tahun. Ia menerbitkan buku ini dalam dua volume, dan beberapa bab pertama kali ditampilkan dalam Les Temps modernes. Meski buku ini terkenal, Vatikan menempatkan buku ini di Daftar Buku Terlarang. 

Bertolak dari sebuah pernyataan terkenal dalam buku Simone de Beauvoir, The Second Sex: “One is not born a woman”–yang menunjukkan perjuangan diri perempuan dalam eksistensinya.  Di sampaikan dalam makalahanya tentang teori Beauvoir yaitu perempuan sebagai “Other”. “Kesadaran akan situasi sebagai perempuan berbeda dengan laki-laki membuat Beauvoir skepts dengan Sartre tentang filsafat manusia yang mendifiniskan manusia sebagai Subyek. Karena situasi perempuan tersebut yang didefinisikan oleh budaya dan masyarakat (dan bukan oleh dirinya sebagai Subyek itu sendiri), membuat relasi laki-laki terhadap perempuan sebagai yang “diluar” dirinya, sebagai seks semata (bukan manusia). Sebab, perempuan di definisikan dengan referensi kepada laki-laki dan bukan referensi kepada dirinya sendiri dengan demikian perempuan adalah insidentil. Semata, tidak esensial, laki-laki adalah Subyek dan ia Absolut—sedangkan perempuan adalah “Other” atau yang lain.
Budaya patriarki memulai riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi negatif terhadap kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh perempuan dilekati dengan atribut-atribut patriarkat dengan cara menegaskan bahwa tubuh perempuan adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri. Perempuan diciutkan semata dalam fungsi biologisnya saja. Dengan cara demikian, tubuh bagi kaum perempuan tak lagi dapat menjadi instrumen untuk melakukan transendensi sehingga perempuan tak dapat memperluas dimensi subjektivitasnya kepada dunia dan lingkungan di sekitarnya. Tubuh yang sudah dilekati nilai-nilai patriarkat ini kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi serta diinternalisasikan melalui mitos-mitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial: keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan mungkin juga negara.
Feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (Humm, 2002: 158). Feminisme berjuang untuk mendapatkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Seorang feminis adalah seseorang yang mengenali dirinya sendiri, dan dikenali orang lain, sebagai seorang feminis, (Humm 2002: 156). Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa teori feminis eksistensialis yang dikemukakan oleh Simone de Beauvoir , “Feminist eksistensialis: man define what it means to be human, including what it means to be female”, (Charles E. Bressler, 2007: 173). Teori eksistensialis adalah teori yang memandang suatu hal dari sudut keberadaan manusia, teori yang mengaji cara manusia berada di dunia dengan kesadarannya. Jadi, teori feminisme eksistensialis merupakan kajian yang melihat adanya ketimpangan pengakuan terhadap perempuan. Keberadaan perempuan adalah objek bagi laki-laki. Perempuan hanya dianggap sebagai “second sex” maka tidak bisa mendapat kesamaaan hak seperti halnya laki-laki.

2.        Daftar Bacaan
Bressler, Charles E.. 2007. Literary Cristicism: An Introduction to Theory and Practice. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Humm, Maggie. 2002. Dictionary of Feminist Theories. Yogyakarta: Gama Media



M.     TEORI PSIKOANALIS
1.        Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmun Freud
Teori psikoanalisis di kembangkan oleh sigmun freud yang lahir pada tanggal 6 mei 1856 dan meninggal pada tanggal 23 september 1939. Pada tahun 1873 Freud masuk fakultas kedokteran di Wina dan lulus pada tahun 1881 dengan yudisium excellent. Sebagai seorang ahli neurologi dia sering membantu masalah-masalah pasiennya seperti rasa takut yang irrasional, obsesi dan rasa cemas. Dalam membantu menyembuhkan masalah-masalah mental freud menggunakan prosedur yang inovatif yang dinamakan psikoanalisis. Penggunaan psikoanalisis memerlukan interaksi verbal yang cukup lama dengan pasien untuk menggali pribadinya yang lebih dalam. Banyak buku yang telah di tulis freud, dan dari teori freud ini memiliki beberapa kelemahan terutama dalam hal-hal, yakni (1) ketidaksadaran (uniconsciousness) amat berpengaruh terhadap prilaku manusia, (2) pengalaman masa kecil sangat menentukan atau berpengaruh terhadap kepribadian masa dewasa, dan (3) kepribadian manusia terbentuk berdasarkan cara-cara yang ditempuh untuk mengatasi dorongan-dorongan seksualnya.
Frued membagi struktur kepribadian kedalam tiga komponen, yaitu id, ego, dan superego. Prilaku seseorang merupakan hasil dari interaksi antara ketiga komponen tersebut.
a.         Id (Das Es)
Id berisikan motifasi dan energy positif dasar, yang sering disebut insting atau stimulus. Id berorientasi pada prinsip kesenangan (pleasure principle) atau prinsip reduksi ketegangan, yang merupak sumber dari dorongan-dorongan biologis (makan, minum, tidur, dll) Prinsip kesenangan merujuk pada pencapaian kepuasan yang segera, dan id orientasinya bersifat fantasi (maya). Untuk memperoleh kesengan id menempuh dua cara yaitu melalui reflex dan proses primer, proses primer yaitu dalam mengurangi ketegangan dengan berkhayal.



b.      Ego (Das Ich)
Peran utama dari ego adalah sebagai mediator (perantara) atau yang menjembatani anatar id dengan kondisi lingkungan atau dunia luar dan berorintasi pada prinsip realita (reality principle). Dalam mencapai kepuasan ego berdasar pada proses sekunder yaitu berfikir realistic dan berfikir rasional. Dalam proses disebelumnya yaitu proses primer hanya membawanya pada suatu titik, dimana ia mendapat gambaran dari benda yang akan memuaskan keinginannya, langkah selanjutnya adalah mewujudkan apa yang ada di das es dan langkah ini melalui proses sekunder. Dalam upaya memuaskan dorongan, ego sering bersifat prakmatis, kurang memperhatikan nilai/norma, atau bersifat hedonis. Hal yang perlu diperhatikan dari ego adalah (1) ego merupakan bagian dari id yang kehadirannya bertugas untuk memuaskan kebutuhan id, (2) seluruh energy (daya) ego berasal dari Id, (3) peran utama memenuhi kebutuhan id dan lingkungan sekitar, dan (4) ego bertujuan untuk mempertahankan kehidupan individu dan pengembanbiakannya.
c.         Super Ego (Das Uber Ich)
Super ego merupak cabang dari moril atau keadilan dari kepridadian, yang mewakili alam ideal daripada alam nyata serta menuju kearah yang sempurna yang merupakan komponen kepribadian terkait dengan sytandar atau norma masyarakat mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Dengan terbentukny super ego berarti pada diri individu telah terbentuk kemampuan untuk mengontrl dirinya sendiri (self control) menggantikan control dari orang tua (out control). Fungsi super ego adalah (1) merintangi dorongan-dorongan id, terutama dorongan seksual dan agresif, (2) mendorong ego untuk mengantikan tujuan-tujuan relistik dengan tujuan-tujuan moralistis, dan (3) mengejar kesempurnaan

2.        Dinamika Kepribadian
Freud memandang organisme manusia sebagai sistem energi yang kompleks. Berdasarkan doktrin konservasi energi bahwa energi berubah dari energy fisiologis ke energi psikis atau sebaliknya. Freud berpendapat bahwa apabila energy digunakan dalam kegiatan psikologis seperti berfikir, maka energi itu merupakan energi psikis. Titik tumpu atau jembatan antara energi jasmaniah dengan energi kepribadian adalah id dan instink-instinknya. Instink-instink ini meliputi seluruh energy yang digunakan oleh ketiga struktur kepribadian (id, ego, dan superego) untuk menjalankan fungsinya. Dinamika kepribadian terkait dengan proses pemuasan instink, pendistribusian energy psikis dan dampak dari ketidakmampuan ego untuk mereduksi ketegangan pada saat bertransaksi dengan dunia luar yaitu kecemasan (anxiety).
a.        Instink
Instink merupakan kumpulan hasrat atau keinginan (wishes). Tujuan dari instink-instink adalah mereduksi ketegangan (tension reduction) yang dialami sebagai suatu kesenangan. Freud mengklasifikasikan instink ke dalam dua kelompok, yaitu:
1.        Instink hidup (life instink : eros). Instink hidup merupakan motif dasar manusia yang mendorongnya untuk bertingkah laku secara positif atau konstruktif, berfungsi untuk melayani tujuan manusia agar tetap hidup dan mengembangkan rasanya. Energy yang bertanggung jawab bagi instink hidup adalah libido. Libido ini bersumber dari erotogenic zones yaitu bagian-bagian tubuh yang sangat peka terhadap rangasangan seperti: bibir/mulut, dubur dan organ seks).
2.        Instink mati (death instink : thanatos). Instink ini merupakan motifasi dasar manusia yang mendorongnya untuk bertingkah laku yang bersifat negative atau destruktif. Freud meyakini bahwa manusia dilahirkan dengan mambawa dorongan untuk mati (keadaan tak barnyawa = inanimate state). Pendapat ini didasarkan kepada prinsip konstansi dari Fechner yaitu bahwa proses kehidupan itu cenderung kembali kepada dunia yang anorganis. Kenyataan manusia akhirnya mati, oleh karena itu tujuan hidup adalah mati. Hidup itu sendiri tiada lain hanya perjalanan kea rah mati.  Dia beranggapan bahwa instink ini merupakan sisi gelap dari kehidupan manusia.
b.        Pendistribusian dan penggunaan Energi Psikis
Dinamika kepribadian merujuk kepada cara kepribadian berubah atau  berkembang melalui pendistribusian dan penggunaan energi psikis, baik oleh id, ego, maupun superegoengha. Id menggunakan energi ini untuk memperoleh kenikmatan (pleasure principle) melalui (1) gerakan refleksi dan (2) proses primer (menghayal atau berfantasi). Mekanisme atau proses pengalihan energi dari id ke ego atau dari id ke superego disebut identifikasi. Ego menggunakan energi untuk keperluan (1) memuaskan dorongan atau instink melalui proses sekunder, (2) meningkatkan perkembangan aspek-aspek psikologi, (3) mengekang menangkal id agar tidak bertindak impulsive atau irasional dan (4) menciptakan integrasi di antara ketiga sistem kepribadian dengan tujuan terciptanya keharmonisan dalam kepribadian, sehingga dapat melakukan transaksi dengan dunia luar secara efektif. Seperti halnya ego, superego memperoleh  energy itu melalui identifikasi.
Oleh karena itu dalam proses pendistribusian energy itu terjadi persaingan antara ketiga komponen kepribadian, maka suasana konflik diantara ketiganya tidak dapat dielakan lagi. Disamping itu ada kemungkinan, ego mendapat tekanan yang begitu kuat, baik dari id maupun superego.


1.        Konflik
Freud berasumsi bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari rentetan konflik internal yang terus menerus. Konflik (peperangan) antara id, ego, superego adalah hal yang bisa (rutin). Feurd menyakini bahwa konflik-konflik itu bersumber kepada dorongan-dorongan seks dan agresif.
Konflik sering terjadi secara tidak disadari. Walaupun tidak disadari, konflik tersebut dapat melahirkan kecemasan (anxiety). Kecemasan ini dapat dilacak dari kekhawatiran ego akan dorongan id yang tidak dapat di kontrol, sehingga melahirkan suasana yang mencekam/mengerikan. Setiap orang berusaha untuk membebaskan diri dari kecemasan ini yang dalam usahanya sering menggunakan mekanisme pertahanan ego.
2.        Kecemasan
Kecemasan mempunyai peranan sentral dalam teori psikoanalisis, kecemasan digunakan oleh ego sebagai  isyarat adanya bahaya yang mengancam. Perasaan terjepit dan terancam disebut kecemasan (anxiety). Perasaan ini berfungsi sebagai ego bahwa ketika dia bertahan sambil tetap mempertimbangkan kelangsungan hidup organism, dia sebenarnya sedang berada dalam bahaya. Freud mengklasifikasikan kecemasan dalam tiga tipe, yaitu sebagai berikut:
Tipe kecemasan
Pengertian
Kecemasan Realistik
Resrpon terhadap ancaman dari dunia luar atau perasaan takut terhadap bahaya-bahaya yang nyata(real) yang berada di lingkungan. Contoh seorang merasa takut bila di depannya ada ular. Maka orang tersebut mengalami kecemasan realistik.
Kecemasan Neurotik
Respon yang mengancam dari dorongan id ke dalam kesadaran. Kecemasan ini berkembang berdasarkan pengalaman masa anak yang terkait dengan hukuman yang maya (hayalan) dari orang tua atau orang lain yang mempunyai otoritas secara maya pula untuk memuaskan dorongan instinknya. Neurotik adalah kata latin dari perasaan gugup.
Kecemasan moral
Respon superego terhadap dorongan id yang mengancam untuk memperoleh kepuasan secara “immoral”. Kecemasan ini di wujudkan dalam bentuk perasaan bersalah (guilty feeling) atau rasa malu (shame). Seseorang yang mengalami kecemasan ini, merasa takut akan dihukum oleh superegonya atau katahatinya.

3.        Mekanisme Pertahanan Ego.
Mekanisme pertahanan ego merupakan proses mental yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan dilakukan melalui dua karakteristik khusus  yaitu : (1) tidak disadari dan (2) menolak, memalsukan atau mendistorsi (mengubah) kenyataan. Mekanisme pertahanan ini dapat juga diartikan sebagai reaksi-reaksi yang tidak disadari dalam upaya melindungi diri dari emosi atau perasaan yang menyakitkan seperti cemas dan perasaan bersalah. Ego berusaha sekuat mungkin menjaga kestabilan hubungannya dengan realitas, id dan superego. Namun kecemasan begitu menguasai, ego harus berusahan mempertahankan diri. Secara tidak sadar, dia akan bertahan dengan cara memblokir seluruh dorongan-dorongan atau menciutkan dorongan-dorongan tersebut menjadi wujud yang lebih dapat diterima atau tidak terlalu mengancam. Jenis-jenis mekanisme pertahanan ego itu adalah sebagai berikut.

a.         Represi
Represi merupakan proses penekanan dorongan-dorongan ke alam tak sadar, ka, orang atau karena mengancam keamanan ego. Anna Freud mengartikan pula sebagai “melupakan yang bermotivasi”, adalah ketidakmampuan untuk mengingat kembali situasi, orang atau peristiwa yang menakutkan. Represi merupakan mekanisme pertahanan dasar yang terjadi ketika memori, pikiran atau perasaan (kateksis objek = id) yang menimbulkan kecemasan ditekan keluar dari kesadaran oleh antikateksis (ego). Orang  cenderung  merepres keinginan atau hasrat yang apabila dilakukan dapat menimbulkan perasaan bersalah (guilty feeling) dan konflik yang menimbulkan rasa cemas atau merepres memori (ingatan) yang meyakitkan.
b.        Projeksi
Projeksi merupakan pengendalian pikiran, perasaan, dorongan diri sendiri kepada orang lain. Dapat juga diartikan sebagai mekanisme perubahan kecemasan neurotik dan moral dengan kecemasan realistik. Anna freud mengatakan projeksi sebagai penggantian kea rah luar atau kebalikan dari melawan diri sendiri, mekanisme ini meliputi kecendrungan untuk melihat hasrat anda yang tidak bisa diterima oleh orang lain. Projeksi memungkinkan orang untuk mengatakan dorongan yang mengancamnya dengan menyamarkanya sebagai pertahanan diri. Projeksi bertujuan untuk mengurangi pikiran atau perasaan yang menimbulkan kecemasan.
c.         Pembentukan Reaksi  (Reaction Formation).
Pembentukan reaksi atau reaksi formasi ialah suatu mekanisme pertahanan ego yang mengantikan suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan lawan atau kebalikannya dalam kesadarannya (Hall dan Gardner). Dapat juga di artikan pergantian sikap dan tingka laku dengan sikap dan tingkah laku yang berlawanan. Bertujuan untuk menyembunyikan pikiran dan perasaan yang dapat menimbulkan kecemasan. Mekanisme ini biasanya ditandai dengan sikap atau perilaku yang berlebihan atau bersifat kompulsif, biasanya dari perasaan yang negatif ke positif meskipun kadang-kadang terjadi dari negatif ke positif. Dalam hal ini Freud berpendapat bahwa laki-laki yang suka mencemoohkan homoseksual merupakan ekspresi dari perlawanannya akan dorongan-dorongan homoseksual dalam dirinya sendiri.
d.        Pemindahan Objek (Displacement)
Displacement adalah suatu mekanisme pertahanan ego yang mengarahkan energi kepada objek atau orang lain apabila objek asal atau orang yang sesungguhnya, tidak bisa dijangkau,  Corey (2003:19). Menurut Poduska (2000:119) displacement ialah mekanisme pertahanan ego dengan mana anda melepaskan gerak-gerik emosi yang asli, dan sumber pemindahan ini dianggap sebagai suatu target yang aman. Mekanisme pertahanan ego ini, melimpahkan kecemasan yang menimpa seseorang kepada orang lain yang lebih rendah kedudukannya.lebih lanjut dikatakan pemindahan objek ini merupakan proses pengalihan perasaan (biasanya rasa marah) dari objek (target) asli ke objek pengganti. Contohnya: seorang pegawai yang dimarahi atasannya di kantor, pada saat pulang dia membanting pintu dan marah-marah pada anaknya.
e.         Faksasi
Faksasi  ini  merupakan  mekanisme  yang memungkinkan orang mengalami kemandegan dalam perkembangannya, karena cemas untuk melangkah   ke perkembangan berikutnya. Faksasi ini bertujuan   untuk   menghindari dari    situasi-situasi   baru   yang   dipandang  berbahaya atau mengakibatkan   frustasi. Contohnya   anak  usia 7 tahun masih ngeisap jempol dan belum berani berpergaian tanpa ibunya.
f.         Regresi
Regresi adalah kembali ke masa-masa  di mana seseorang mengalami tekanan psikologis. Kerika kita menghadapi kesulitan   atau  ketakutan, perilaku   kita  sering menjadi kekanak-kanakan atau primitif.   Dapat   dikatakan   pula    pengulangan   kembali    tingkah laku yang cocok bagi tahap perkembangan atau usia sebelumnya (perikaku kekanak-kanakan). Contohnya seorang yang baru pensiun    akan   berlama-lama  duduk  di  kursi  goyang  dan  bersikap  seperti  anak-anak,   serta menggantungkan hidupnya pada isntrinya.
g.        Rasionalisasi
Rasionalisasi merupakan penciptaan kepalsuan (alas an-alasan) namun dapat masuk akal sebagai upaya pembenaran tingkah laku yang tidak dapat diterima.  Menurut     Berry (2001:82), rasionalisasi ialah mencari pembenaran atau alasan bagi prilakunya, sehingga manjadi lebih bisa diterima oleh ego daripada alasan yang sebenarnya. Rasionalisasi ini terjadi apabila individu mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan, dorongan atau keinginannya. Dia mempersepsikan kegagalan tersebut sebagai kekuatan yang mengancam keseimbangan psikisnya (menimbulkan rasa cemas).
h.        Sublimasi
Sublimasi adalah mengubah berbagai rangsangan yang tidak diterima, apakah itu dalam bentuk seks, kemarahan, ketakutan atau bentuk lainnya, ke dalam bentuk-bentuk yang bisa diterima secara sosial. Dengan kata lain sublimasi ini merupakan pembelotan atau penyimpangan libido seksual kepada kegiatan yang secara sosial lebih dapat diterima. Dalam banyak cara, sublimasi  merupakan mekanisme yang sehat, karena energi seksual berada di bawah kontrol sosial. Bagi Freud seluruh bentuk aktivitas positif dan kreatif aadalah sublimasi, terutama sublimasi hasrat seksual.
i.          Identifikasi
Identifikasi merupakan proses memperkuat harga diri (self-esteem) dengan membentuk suatu persekutuan (aliansi) nyata atau maya dengan orang lain, baik seseorang maupun kelompok. Identifikasi ini juga merupakan satu cara untuk mereduksi ketegangan. Identifikasi ini dilakukan kepada orang-orang yang dipandang sukses atau berhasil dalam hidupnya. Identifikasi dengan penyerangan adalah bentuk introjeksi yang terfokus pada pengadopsian, bukan dari segi umum atau positif, tapi dari sisi negatif.

3.        Daftar Bacaan
Hall, Calvin S. 1959. Sigmund Freud: Suatu pengantar ke Dalam Ilmu Jiwa Sigmund freud. Jakarta: PT. Pembangunan
Corsini, Raymond. 2003. Psikoterpi Dewasa Ini: Dari Psikoanalisa Hingga Analisis       Transaksional. Surabaya: IKON.
Schustack,  Miriam W. and Friedman, Howard S.. 2006. Kepribadian, Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. 2007. Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.



N.      TEORI KOMUNIKASI
1.        Kilas Jürgen Habermas
Jürgen Habermas dilahirkan di Gummersbach pada 18 Juni 1929.  Jürgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Dia adalah generasi kedua dari madzhab Frankfurt. Jurgen habermas merupakan penerus dari Teori kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya yaitu Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse. Teori Kritis yang dipaparkan oleh para pendahulunya berakhir dengan kepesimisan atau kebuntuan. Meskipun begitu, teori kritis tidaklah begitu saja berhenti sampai di sini. Dengan menggunakan paradigma baru, Habermas telah melangkah bergerak kembali membangkitkan teori itu (Bertens, 2002: 236)

2.        Pemikiran habermas tentang komunikasi
Paradigma konsep komunikasi ini mengkonseptualisasikan pengetahuan dan prakti sosial bukan dalam hal dunialitas antara subyek dan objek yang menurut habermas hanya dapat dipecahkan dengan idealis kesadaran murni  atau dengan dominasi  namun melalui rekonseptualisai subjek sebagai intersubjektif yang inheren. Subjek intersubjektif ini memiliki kapasitas primer bagi komunikasi.
Kalau kita kembali ke kritik awal habermas atas marx, kita akan menemukan bahwa dia percaya hanya dengan refleksi diri dan komonikasi orang dapat benar benar  mengontral nasib mereka dan merestrukturisasi masyarat secara manusiawi. Habermas tidak setuju dengan marx bahwa orang di ciptakan sepenuhnya melalui kerja manusia.
Dengan mengambil gagasan hegel dalam buku phenomenologya of mind dan dari teori komonikasi dan teori tindakan berbicara, habermas justru berpandangan bahwa orang menghumanisasi dirinya melalui interaksi. Hanya melalui intrakasi dan komunikasi orang dapat menguasai masyarakt ,membentuk gerakan sosial dan meraih kekuasan . Akhirnya,komunikasi menyediakan satu basis etika bagi teori kritis , yang direpresentasikan pada penjelasan Habermas tentang niat dasar komunikasi untuk membentuk konsensus diskusi rasional antara penutur dan penulis yang tidak memaksa satu sama lainnya.
a.         Pergeseran Teori Kritis ke Teori Komunikasi
Habermas memusatkan diri pada pengembangan teori komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam Teori Kritis. Teori Kritisnya yang disebut  “Teori Tindakan Komunikatif” didialogkan dengan tradisi-tradisi besar ilmu-ilmu sosial modern.
Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas dalam mengatasi kemacetan Teori Kritis sebelumnya. Pendahulunya sibuk mempermasalahkan praksis  dengan teori. Praksis menjadi konsep utama dalam tradisi filsafat kritis ini.Menurutnya praksis bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam dengan kerja tetapi juga dalam interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-hari.
Kemacetan Teori Kritis terdahulu disebabkan oleh Marx yang menyempitkan praksis pada ‘kerja’, sehingga ‘kritik’ dipahami sebagai penaklukan kelas atas kelas. Dengan cara ini, kritik tak kurang dari rasionalitas yang menyembunyikan kekuasaan.
Habermas berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio komunikatif. Sehingga bisa dikatakan Habermas mengubah ‘paradigma kerja’  dalam Teori Kritis ke ‘paradigma komunikasi’. Pada tahun 60-an Habermas menyendirikan kritik sebagai kepentingan emansipatoris, tetapi ia tetap mengisyaratkan bahwa kritik dan ilmu-ilmu kritis termasuk praksis komunikasi.
Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Marx pada abad ke-19 sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praktis.Soalnya adalah bagaimana pengetahuan kita tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan sekaligus mendorong praksis perubahan sosial.“Praksis” adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis ini.Praksis bukanlah tingkah laku buta berdasarkan naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makluk sosial.Jadi, praksis diterangi oleh kesadaran rasional.
Dalam esainya pada 1960-an, Labor and Interaction: Remarks on Hegel’s Jena “Philosophy of Mind”, Habermas sudah meneliti bahwa Hegel yang menjadi Bapak seluruh tradisi ilmu-ilmu sosial kritis ini memahami prkasis bukan hanya sebagai “kerja” (Arbeit), tetapi juga “komunikasi” (Kommunikation) (Hebermas, 1987: 378).  Karena praksis dilandasi kesadaran rasional, maka rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam melalui kerja, melainkan juga dalam interaksi intersubjektif yang menggunakan bahasa sehari-hari.Jadi, seperti halnya kerja membuat orang berdistansi dari alamnya, bahasa juga memungkinkan distansi dari persepsi langsung sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas.
b.      Teori Kritis dengan Teori Komunikasi
Habermas tidak hanya berpendapat bahwa paham kebebasan-nilai ilmu-ilmu sosial itu keliru dan berbahaya, tapi juga memperlihatkan bahwa tujuan ilmu-ilmu kritis dengan tujuan emansipatorisnya membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan(Mündigkeit).Ia juga menunjukkan bahwa otonomi kolektif ini berhubungan dengan konsensus bebas dominasi.
 Dan hingga tahun 80-an, dia mengandaikan konsesnsus semacam itu dapat dicapai dalam sebuah masyarakat yang reflektif(cerdas) yang berhasil melakukan komunikasi dengan mencapai ‘klain-klaim kesahihan’(validity claims). Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus. Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menyatakan ada empat macam klaim, yakni:
1.        klaim kebenaran (truth) yakni kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif
2.        klaim ketepatan (rightness) yakni kesepakatan tentang norma-norma dalam dunia sosial
3.        klaim autensitas atau kejujuran (sincerity) yakni kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang
4.        klaim komprehensibilitas (comprehensibility) dicapai apabila kita telah mencapai kesepakatan klaim-klaim di atas. Setiap komunikasi yang efektif harus mencapai ‘kompetensi komunikatif’ tersebut.
Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan lewat kekerasan, melainkan lewat ‘argumentasi’. Habermas membedakan argumentasi menjadi diskursus/perbincangan(discourse) dan kritik. Disebut diskursus kalau mengandaikan kemungkinan untuk mencapai konsensus rasional. Meskipun dimaksudkan untuk konsensus, komunikasi juga bisa terganggu, sehingga kita tak perlu mengandaikan konsensus. Dalam hal ini, Habermas berbicara tentang kritik. Ada dua macam kritik, yakni ‘kritik estetis’ yang mempersoalkan kesesuaiannya dengan penghayatan dunia batiniah dan ‘kritik terapeutis’, yakni menyingkapkan penipuan-diri masing-masing pihak yang berkomunikasi.
Habermas menjelaskan bahwa proses belajar masyarakat secara evolusioner tergantung pada kompetensi individu-individu yang menjadi anggotanya. Kompetensi itu dikembangkan bukan secara individual dan terisolasi, melainkan lewat interaksi. sosial dengan medium struktur-struktur yang berasal dari dunia kehidupan mereka Ada tiga tahap perkembangan kompetensi komunikatif, yaitu:
1.        Tahap interaksi melalui simbol-simbol, dimana tuturan dan tindakan masih terkait dalam kerangka kerja sebuah komunikasi tunggal yang bersifat memerintah.
2.        Tatap tuturan yang didifferensiasikan dengan pernyataan-pernyataan, yang untuk pertama kalinya antara tindakan dan tuturan dipisahkan. Pada tahap ini dikatakan telah terbentuk sebuah “peran sosial”, karena setiap individu bertindak sebagai pelaku sekaligus pengamat.
3.        Ketiga, pada tahap perbincangan (diskursus) argumentasi. Komunikasi sudah menyangkut pencarian klaim-klaim kesahihan tindakan- tuturan (speech-acts). Melalui pentahapan tersebut yang diinginkan adalah masyarakat komunikatif yang terbentuk melalui kesepakatan bersama yang didasarkan atas prinsip konsensus antar masyarakat secara dialogis.
c.         Teori Perkembangan Masyarakat dengan teori Komunikasi
Kalau kritik yang berhasil membawa sebuah kemajuan menuju masyarakat komunikatif, tentu ada sebuah asumsi tertentu tentang perkembangan masyarakat yang mendasari kritik. Teori Kritis disini tidak hanya kritis terhadap pendekatan-pendekatan terhadap masyarakat, melainkan juga terhadap kenyataan sosial itu sendiri.
Habermas membuat dua esai yang merupakan tanggapan kritis atas tulisan Marcuse, Technology and Science as “Ideology” dan tentang teori rasionalisasi milik Max Weber.Dari dua esai tersebut dijelaskan bagaimana modernisasi diarahkan oleh masyarakat kapitalis kepada totalitarianisme birokratis demi akumulasi modal.Habermas sejal awalnya menyatakan bahwa proyek modernitas menyingkirkan dan menindas unsur-unsur komunikatif masyarakat yang disebut sebagai “kerangka kerja institusional” dan “rasionalitas etis-praktis” (Hebermas, 1987: 380).
Habermas tidak meninggalkan modernitas tetapi ia memperlihatkan bahwa modernitas kapitalis adalah bentuk modernitas yang terdistorsi sebab mereduksi komunikasi pada kerja sosial. Dampak dari reduksi tersebut adalah patologi modernitas antara lain dalam bentuk erosi makna. Habermas menawarkan “model non-selektif” yang memperlihatkan bagaimana sektor-sektor lain harus “dicerahi” untuk menuju masyarakat yang komunikatif.
Habermas mengembangkan teorinya sendiri setelah mengkritik materialisme Marx.Ia menjelaskan bahwa masyarakat pada hakikatnya komunikatif dan yang menetukan perubahan sosial bukan semata-mata perkembangan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam dimensi praktis etis. Teknologi dan faktor objektif lainnya hanya bisa mempengaruhi masyarakat apabila mereka mengintegrasikannya dalam tindakan komunikatif yang memiliki logikanya sendiri.

3.        Daftar Bacaan
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman. Jakarta: Gramedia.
Habermas, Jürgen. 1987. The Theory of Communicative Action. Boston: Beacon Press.



O.      TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL
1.        Konsep Teori Fungsional Struktural
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Menurut teori struktural fungsional, masyarakat sebagai suatu sistem memiliki struktur yang terdiri dari banyak lembaga, di mana masing-masing lembaga memiliki fungsi sendiri-sendiri. Struktur dan fungsi, dengan kompleksitas yang berbeda-beda ada pada setiap masyarakat baik masyarkat modern maupun masyarakat primitif.  Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu Auguste Comte, Emile Durkheim dan Herbert Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional.
Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.
 Fungsionalisme dapat didefinisikan dalam dua cara yang berbeda, pengertian yang lemah dan pengertian yang kuat. Ketika Kingsley Davis (1959) berkata bahwa seluruh sosiolog adalah fungsionalis, dia merujuk pada pengertian yang lemah: bahwa fungsioanlisme adalah suatu pendekatan yang berusaha “menyatukan bagian masyarakat secara keseluruhan dan menyatukan masyarakat antara satu dengan yang lainnya”. Sementara definisi yang kuat tentang fungsionalisme diberikan oleh Tunner dan Maryanski (1988), yang mendefinisikannya sebagai sebuah pendekatan yang berdasar pada analogi masyarakat dengan organisme biologis dan untuk menjelaskan struktur sebagaian masyarakat berdasarkan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Dalam pengertian kedua, Durkheim menjadi fungsionalis secara tidak langsung dan bisa dikatakan secara kebetulan. Durkheim tidak menolak mentah-mentah analogi antara organisme biologis dan struktur sosial (Lehmann, 1993a:15), akan tetapi dia tidak percaya bahwa sosiolog bisa menyimpulkan hukum sosiologi dengan analogi biologi.
Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” ‎dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik ‎seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat ‎oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. ‎Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu ‎yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam ‎keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi ‎maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh ‎dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus ‎dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka ‎bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem ‎sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, ‎mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. ‎Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang ‎pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali ‎dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal ‎sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan ‎patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.‎
Fungsionalisme Durkheim ini tetap bertahan dan dikembangkan lagi oleh dua ‎orang ahli antropologi abad ke-20, yaitu Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-‎Brown. Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat ‎masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran ‎mereka tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangu di atas model organis. Di ‎dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu ‎sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme ‎struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer:‎
Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman ‎kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya ‎dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan ‎yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown ‎‎(1976:505). ‎
Jasa Malinowski terhadap fungsionalisme, walau dalam beberapa hal berbeda ‎dari Brown, mendukung konsepsi dasar fungsionalisme tersebut. Para ahli antropologi ‎menganalisa kebudayaan dengan melihat pada ”fakta-fakta antropologis” dan bagian ‎yang dimainkan oleh fakta-fakta itu dalam sistem kebudayaan (Malinowski, 1976: ‎‎551).‎
Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak ‎selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar ‎berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur ‎sosial sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung. ‎Coser dan Rosenberg (1976: 490) melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural ‎berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. ‎Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep ‎kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada ‎seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau ”suatu sistem dengan ‎pola-pola yang relatif abadi”.‎
Selama beberapa dasawarsa, fungsionalisme struktural telah berkuasa sebagai ‎suatu paradigma atau model teoritis yang dominan di dalam sosiologi kontemporer ‎Amerika. Di tahun 1959 Kingsley Davis di dalam pidato kepemimpinannya di ‎hadapan anggota ”American Sociological Association”, bahkan melangkah lebih jauh ‎dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi ‎dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori ‎fungsionalisme struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa ‎para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang ‎potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.

2.        Daftar Bacaan
Poloma, Margareth P. 2004. Teori Sosiologi Kotemporer. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kresi Wacana Offset.
Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.



P.       TEORI NATIVISTIK
1.        Pengertian Teori Nativisme
Pada hakekatnya aliran nativisme bersumber dari leibnitzian tradition yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak, oleh karena itu faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari kedua orangtua.
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhauer. la adalah filosof Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Dalam teori ini dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir atau bakat. Teori ini muncul dari filsafat nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Teori ini dipelopori oleh filosof Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang beranggapan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam sekitar atau pendidikan. Dengan tegas Arthur Schaupenhaur menyatakan yang jahat akan menjadi jahat dan yang baik akan menjadi baik. Pandanga ini sebagai lawan dari optimisme yaitu pendidikan pesimisme memberikan dasar bahwa suatu keberhasilan ditentukan oleh faktor pendidikan, ditentukan oleh anak itu sendiri. Lingkungan sekitar tidak ada, artinya sebab lingkungan itu tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak.
Walaupun dalam kenyataan sehari-hari sering ditemukan secara fisik anak mirip orang tuanya, secara bakat mewarisi bakat kedua orangtuanya, tetapi bakat pembawaan genetika itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan anak, tetapi masih ada faktor lain yang mempengaruhi perkembangan dan pembentukan anak menuju kedewasaan, mengetahui kompetensi dalam diri dan identitas diri sendiri (jatidiri).

2.        Faktor Perkembangan Manusia Dalam Teori Nativisme
a.       Faktor genetic
Faktor gen dari kedua orangtua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika kedua orangtua anak itu adalah seorang penyanyi maka anaknya memiliki bakat pembawaan sebagai seorang penyanyi yang prosentasenya besar.

b.        Faktor Kemampuan Anak
Faktor yang menjadikan seorang anak mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Contohnya adalah adanya kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang mendorong setiap anak untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya sesuai dengan bakat dan minatnya.


c.         Faktor Pertumbuhan Anak
Faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu normal maka dia kan bersikap enerjik, aktif, dan responsive terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal maka anak tersebut tidak bisa mngenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.

3.        Aplikasi Teori Nativisme Pada Masa Sekarang
Faktor pembawaan bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar dan pendidikan (Arthur Schaupenhauer (1788-1860). Untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatiahan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan. Tetapi pelatihan yang diselenggarakan itu didominasi oleh orang-orang yang memang mengetahui bakat yang dimiliki, sehingga pada pengenalan bakat dan minat pada usia dini sedikit mendapat paksaan dari orang tua dan hal itu menyebabkan bakat dan kemampuan anak cenderung tertutup bahkan hilang karena sikap otoriter orangtua yang tidak mempertimbangkan bakat, kemampuan dan minat anak.
Lembaga pelatihan ini dibuat agar menjadi suatu wadah untuk menampung suatu bakat agar kemampuan yang dimiliki oleh anak dapat tersalurkan dan berkembang denag baik sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal. Tanpa disadari di lembaga pendidikan pun juga dibuka kegiatan-kegiatn yang bisa mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar kegiatan akademik. Sehingga selain anak mendapat ilmu pengetahuan didalam kelas, tetapi jug bisa mengembangkan bakat yang dimilikinya.


Q.      TEORI BELAJAR KOGNITIF
1.        Konsep Teori Kognitif
Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition” yang padanannya “Knowing”, berarti menge­tahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan penge­tahuan (Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer dan menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap peri­laku mental yang berkaitan dengan pemaham­an, pertimbangan, pengolahan infor­masi, pe­mecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (ke­hendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Istilah “cognitive of theory learning” yaitu suatu bentuk teori belajar yang berpandangan bahwa belajar adalah merupakan proses pemusatan pikiran (kegiatan mental) (Slavin (1994). Teori belajar tersebut  beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki kemampuan potensial, sehingga tingkah laku yang bersifat kompleks bukan hanya sekedar dari jumlah tingkah laku yang sederhana, maka dalam hal belajar me­nurut aliran ini adalah mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar juga melibatkan proses ber­pikir yang sangat kompleks. Yang menjadi priori­tas perhatian adalah pada proses bagai­mana suatu ilmu yang baru bisa ber­asimi­lasi dengan ilmu yang sebelumnya di­kuasai oleh masing-masing individu.
Dalam praktek belajar, teori kognitif terwujud dalam: “tahap-tahap perkembangan belajar” oleh Jean Piaget, “belajar ber­makna” oleh Ausuber, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut kognitifist dibangun dalam diri se­se­orang me­lalui proses interaksi dengan lingkung­an yang ber­ke­sinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah, tetapi merupakan proses yang meng­alir serta sambung-menyambung, dan me­nyeluruh. Seperti halnya proses membaca, bukan sekedar menggabungkan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah; tetapi meng­gabungkan kata, kalimat atau paragraf yang di­serap dalam pikiran dan ke­semuanya itu menjadi satu, mengalir total se­cara ber­sama­an.
2.        Jenis-Jenis Teori  Belajar  Kognitifisme 
a.        Teori Perkembangan Jean Piaget
Menurut Piaget perkembangan kognitif me­rupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistim syaraf. Dengan semakin ber­tambahnya usia sesesorang maka semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.
Pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan mengalami adaptasi biologis dengan ling­kungannya dan akan menyebabkan adanya pe­rubahan-perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya. Apabila seseorang menerima infor­masi atau pengalaman baru maka informasi ter­sebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses ini di­sebut asimilasi. Se­baliknya, apabila struktur kognitifnya yang harus diseuaikan dengan infor­masi yang di­terima, maka proses ini disebut akomodasi. Jadi asimi­lasi dan akomodasi akan terjadi apabila terjadi konflik koginitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau di­alaminya sekarang. Adaptasi akan terjadi apa­bila telah terjadi keseimbangan dalam struktur kognitif.
Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hirarkis artinya harus dilalui ber­dasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kog­nitifnya. Di sini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensomotorik (0 – 2 tahun) yang bersifat eksternal, pre-operasional (2 – 6 tahun), operasional konkrit (6/7 – 11/12 tahun) dan jenjang formal (11/2 – 18 tahun) yang bersifat internal (mampu berfikir abstrak atau meng­adakan penalaran). Untuk lebih jelas­nya dapat dilihat  perkembangan individu  ter­sebut pada 4 tahapan. Yang pertama adalah sensori motor, yakni perkembangan  ranah kog­nitif yang ter­jadi pada  usia 0 – 2 tahun. Yang kedua adalah pre-operational, yakni per­kembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2 – 7 tahun. Yang ketiga adalah concrete operational, yakni per­kembang­an ranah kognitif yang terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Yang terakhir adalah formal operational, yakni perkembangan ranah kog­nitif yang terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal (Slavin, 1994:14).
Dalam usahanya memahami mekanisme per­kembangan kognitif, Piaget menyampaikan fungsi kecerdasan dari tiga perspektif. Ketiga­nya ada­lah: (1) proses mendasar yang terjadi dalam inter­aksi dengan lingkungan (asimilasi, akomo­dasi, dan ekuilibrasi), (2) cara bagaimana pe­nge­tahuan disusun (pengalaman fisik dan logis-matematis), dan (3) perbedaan kualitatif dalam berfikir pada berbagai tahap per­kem­bangan (skema tindakan) mulai dari senso­motorik, pra­-opera­sional, operasional konkrit dan operasional formal.
Perkembangan kognitif menurut Piaget (1977) dipengaruhi oleh tiga proses dasar: asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Secara singkat, asi­milasi ialah pemaduan data atau informasi baru dengan struktur kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian struktur terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi  (Gredler, 1991:311).
b.        Teori Kognitif Jerome S. Bruner
Jerome S. Bruner adalah seorang pakar psiko­logi perkembangan dan pakar psikologi belajar kognitif, penelitiannya dalam bidang psikologi antara lain persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pe­mikir, dan pencipta informasi (Dahar, 1988). Dalam pembahasan perkembangan kognisi, Bruner menekankan pada adanya pengaruh ke­budayaan pada tingkah laku seseorang. Bila Piaget menyatakan bahwa perkembangan kog­nitif berpengaruh pada perkembangan bahasa se­se­orang, maka sebaliknya Bruner menyata­kan bahwa perkembangan bahasa besar pe­nga­ruh­nya ter­hadap perkembangan kognisi.
Menurut Bruner, perkembangan kognisi se­se­orang terjadi melalui tiga tahap yang di­tentu­kan oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap pertama adalah tahap en-aktif, di mana indi­vidu melakukan aktivitas-aktivitas untuk me­mahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap ikonik di mana ia melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana ia mempunyai gagasan secara abstrak yang banyak di­pengaruhi bahasa dan logika; komunikasi di­lakukan dengan bantuan sistem simbol. Makin dewasa makin dominan pula sistem simbol se­se­orang.
Prinsip-prinsip belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ke­tidak­ter­gantungan individu terhadap stimulus yang di­berikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah secara mental.
Perkembangan intelektual meliputi peningkat­an kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol. Untuk me­ngem­bang­kan kognisi seseorang diperlukan interaksi yang sis­tematik antara pengajar dan pem­be­lajar. Dalam Per­­kembangan kognisi seseorang, semakin tinggi tingkatannya semakin me­ning­kat­ pula ke­mam­pu­an untuk memikirkan be­be­rapa alter­natif secara serentak dan kemampuan untuk mem­berikan per­hati­an ter­hadap bebe­rapa stimuli dan situasi sekaligus.
Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah, bahkan mungkin di­hindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya di sekolah banyak dikembangkan cara berfikir analitis, padahal berfikir intuitif sangat penting untuk ahli matematika, biologi, fisika, dll. Se­lanjutnya dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mem­punyai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan pro­sedur yang harus dipahami sebelum sese­orang mulai belajar. Cara terbaik untuk belajar adalah me­mahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (discovery learning).
c.       Teori Belajar Bermakna David Ausubel 
Ausubel (1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya yang berpijak pada psiko­logi kognitif, dan dalam teorinya memberi pe­nekanan kepada belajar bermakna, serta retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dalam belajar. Belajar menurut Ausubel dapat diklasi­fikasikan ke dalam dua dimensi: (1) ber­hubung­an dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui eks­pository maupun inquiry, (2) menyangkut cara bagai­mana siswa dapat mengaitkan data atau infor­masi itu pada struktur kognitif yang telah ada (Romiszowski, 1981).
Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya adalah bahwa terlalu menekan­kan belajar asosiatif atau menghafal. Belajar asosiatif, materi yang dipelajari perlu di­hafal se­cara arbitrari, padahal belajar seharus­nya adalah apa yang disebut dengan asimilasi bermakna. Asi­mi­lasi bermakna, materi yang di­pelajari, perlu diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan, yaitu: a) materi yang secara potensial bermakna dan di­pilih serta diatur oleh pengajar harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahu­an pem­belajar; dan b) suatu situasi belajar yang ber­makna. Faktor motivasional memegang pe­ran­an yang penting di sini, sebab pembelajar tidak akan mengasimilasi materi baru tersebut apa­bila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh pengajar sehingga materi tidak dipelajari secara hafalan.
Sifat atau karakteristik untuk teori ini adalah apa yang disebut advance organizers yang apa­bila dipakai dapat me­ning­kat­kan ke­mampuan pembelajar untuk mem­pelajari infor­masi baru. Advance organizer ini merupakan kerangka ber­bentuk abstraksi atau ringkas­an-ringkasan dari konsep dasar apa yang harus di­pe­la­jari serta hubungannya dengan apa yang telah ada dalam struktur kognisi pem­belajar.

3.        Daftar Bacaan
Chaplin, J. P. 1972. Dictionaryof Psycology. New York: Dell Publishing Co. Inc.
Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK.
Gredler, Margaret & E. Bell. 1986. Learning And Instruction Theory Into Practice. Mc.­Mi­lan Publishing Company. Diterjemah­kan oleh Munandir. 1991. Jakarta: Raja­wali.
Romiszowki, A. J. 1981. Designing Instructional Systems. London: The Ancher Ltd.
Slavin, Robert E. 1994. Educational Psycology: Theory and Practice. America: The United States of America.




R.      TEORI KONSTRUKTIVISME
1.        Konsep Teori Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai  pembelajaran  yang  bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
a.         Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
b.        Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri    pertanyaannya.
c.         Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
d.        Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
e.         Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 2010: 7).

2.        Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah:
a.         Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya.
b.        Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
c.         Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
d.        Mengambil kira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide.
e.         Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid.
f.         Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru.
g.        Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
h.        Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

3.        Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
a.         Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
b.        Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
c.         Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
d.        Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
e.         Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
f.         Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
g.        Mmencari dan menilai pendapat siswa.
h.        Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

4.        Daftar Bacaan
Dahar, Ratna Willis. 1989.  Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Ruseffendi, E.T.. 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompotensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Suparno, Paul. 2010. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.



S.        TEORI BEHAVIORISME
1.        Konsep Teori Behaviorisme
Teori Belajar behaviorisme adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. teori behaviorisme merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner. Kemudian teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behaviorisme. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. 
Teori behaviorisme dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.         
Stimulus adalah segala hal yang diberikan oleh guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat perubahan tingkah laku tersebut terjadi atau tidak.






2.        Teori Dalam Pandangan Behaviorisme
Teori belajar dalam pandangan behaviorisme ada tiga yaitu:
a.        Teori Pengkondisian Klasikal dari Pavlov
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang dikemukakan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.
Untuk memahami teori kondisioning klasik secara menyeluruh perlu dipahami ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis stimulus tersebut adalah :
a.         Stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), yaitu stimulus yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa didahului dengan pembelajaran apapun (contoh: makanan).
b.        Stimulus terkondisi (conditioned stimulus-CS), yaitu stimulus yang sebelumnya bersifat netral, akhirnya mendatangkan sebuah respon yang terkondisi setelah diasosiasikan dengan stimulus tidak terkondisi (contoh : suara bel sebelum makanan datang).
Faktor lain yang juga penting dalam teori belajar pengkondisian klasik Pavlov adalah generalisasi,deskriminasi,dan pelemahan.
b.        Teori Connetionisme Thorndike
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan kucing. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) tersebut diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.
Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning or selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1.        Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
2.        Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip dari hokum ini menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.        Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. 
Selain tiga hukum di atas Thorndike juga menambahkan hukum lainnya dalam belajar yaitu Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response), Hukum Sikap (Set/Attitude), Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotency of Element), Hukum Respon by Analogy, dan Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting).
c.         Teori Operant Conditioning dari B.F.Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana dan dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.
Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respons yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respons tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang dipergunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. Dari semua pendukung teori behavioristik, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner. Skinner mengenalkan istilah penguatan positif dan negatif, serta hukuman.
T.       TEORI HUMANISTIK
1.        Konsep Teori Humanistik
Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanism biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Psikolog humanistik mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana manusia melihat kehidupan mereka. Mereka cenderung untuk berpegang pada prespektif optimistik tentang sifat alamiah manusia. Mereka berfokus pada kemampuan manusia untuk berfikir secara sadar dan rasional untuk dalam mengendalikan hasrat biologisnya, serta dalam meraih potensi maksimal mereka. Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.

2.        Tokoh Teori Humanistik
a.        Teori Abraham Maslow
Tahapan tertinggi dalam tangga hierarki motivasi manusia dari Abaraham Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Maslow mengatakan bahwa manusia akan berusaha keras untuk mendapatkan aktualisasi diri mereka, atau realisasi dari potensi diri manusia seutuhnya, ketika mereka telah meraih kepuasan dari kebutuhan yang lebih mendasarnya.
Maslow juga mengutarakan penjelasannya sendiri tentang kepribadian manusia yang sehat. Teori psikodinamika cenderung untuk didasarkan pada studi kasus klinis maka dari itu akan sangat kurang dalam penjelasannya tentang kepribadian yang sehat. Untuk sampai pada penjelasan ini, Maslow mengkaji tokoh yang sangat luar biasa, Abaraham Lincoln dan Eleanor Roosevelt, sekaligus juga gagasan-gagasan kontemporernya yang dipandang mempunyai kesehatan mental yang sangat luar biasa.
Maslow menggambarkan beberapa karakteristik yang ada pada manusia yang mengaktualisasikan dirinya sebagai berikut.
1.        Kesadaran dan penerimaan terhadap diri sendiri
2.        Keterbukaan dan spontanitas
3.        Kemampuan untuk menikmati pekerjaan dan memandang bahwa pekerjaan merupakan sesuatu misi yang harus dipenuhi
4.        Kemampuan untuk mengembangkan persahabatan yang erat tanpa bergantung terlalu banyak pada orang lain
5.        Mempunyai selera humor yang bagus
6.        Kecenderungan untuk meraik pengalaman puncak yang memuaskan secara spiritual maupun emosional

b.        Teori Carl Rogers
Carl Rogers, seorang psikolog humanistik lainnya, mengutarakan sebuah teori yang disebut dengan teori pribadi terpusat. Seperti halnya Freud, Rogers menjelaskan berdasarkan studi kasus klinis untuk mengutarakan teorinya. Dia juga mengembangkan gagasan dari Maslow serta ahli teori lainnya. Dalam pandangan Rogers, konsep diri merupakan hal terpenting dalam kepribadian, dan konsep diri ini juga mencakup kesemua aspek pemikiran, perasaan, serta keyakinan yang disadari oleh manusia dalam konsep dirinya.
Rogers mengatakan bahwa konsep diri manusia seringkali tidak tepat secara sempurna dengan realitas yang ada. Misalnya, seseorang mungkin memandang dirinya sebagai orang yang sangat jujur namun kenyataannya seringkali berbohong kepada atasannya tentang alasan mengapa dia datang terlambat. Rogers menggunakan istilah inkongruensi (ketidaksejajaran) untuk mengacu pada kesenjangan antara konsep diri dengan realitas. Di sisi lain, kongruensi, merupakan kesesuaian yang sangat akurat antara konsep diri dengan realitas.
Menurut Rogers, para orang tua akan memacu adanya inkongruensi ini ketika mereka memberikan kasih sayang yang kondisional kepada anak-anaknya. Orang tua akan menerima anaknya hanya jika anak tersebut berperilaku sebagaimana mestinya, anak tersebut akan mencegah perbuatan yang dipandang tidak bisa diterima. Disisi lain, jika orang tua menunjukkan kasih sayang yang tidak kondisional, maka si anak akan bisa mengembangkan kongruensinya. Remaja yang orang tuanya memberikan rasa kasih sayang kondisional akan meneruskan kebiasaan ini dalam masa remajanya untuk mengubah perbuatan agar dia bisa diterima di lingkungan.
3.        Daftar Bacaan
Poedjiadi, Anna. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu bagi Pendidik. Bandung: Yayasan Cendrakasih.



U.      TEORI SIBERNETIK
1.        Konsep Teori Sibernetik
Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan dengan teori-teori yang sudah dibahas sebelumnya. Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan informasi. Proses belajar memang penting dalam teori ini, namun yang lebih penting adalah system informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa. Asumsi lain adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Implementasi teori sibernetik dalam kegiatan pembelajaran telah dikembangkan oleh beberapa tokoh dengan beberapa teori, diantaranya:
a.         Teori pemrosesan informasi
Pada teori ini, komponen pemrosesan informasi dibagi menjadi tiga berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses terjadinya. Ketiga komponen itu adalah:
1.        Sensory Receptor (SR)
SR merupakan sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar.
2.        Working Memory (WM)
WM diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian oleh individu. Karakteristik WM adalah :
a.    Memiliki kapasitas yang terbatas, kurang dari 7 slot. Informasi yang didapat hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik apabila tanpa adanya upaya pengulangan (rehearsal).
b.    Informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya baik dalam bentuk verbal, visua, ataupun semantic, yang dipengaruhi oleh peran proses kontrol dan seseorang dapat dengan sadar mengendalikannya.
3.        Long Term Memory (LTM)
LTM diasumsikan :
a.     Berisi semua pengetahuan yang telah dimilki oleh individu
b.    Mempunyai kapasitas tidak terbatas
c.     Sekali informasi disimpan di dalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau hilang. Persoalan “lupa” hanya disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali informasi yang diperlukan.
Asumsi yang mendasari teori pemrosesan informasi ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.


Comments

Popular posts from this blog

PENDEKATAN EKSPRESIF (ANALISIS PUISI "HANYA SATU" KARYA AMIR HAMZAH)

SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT

TEORI DEKONSTRUKSI (JACQUES DERRIDA)