SOSIOLINGUISTIK (Sikap Bahasa Dalam Masyarakat Multibahasa)
MAKALAH
SOSIOLINGUISTIK
(Sikap Bahasa dalam Masyarakat Multibahasa)
Disusun oleh
Mushaitir
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Selain itu Bahasa juga merupakan cermin kepribadaian bagi seseorang. Melalui bahasa kita bisa berintraksi baik antarindividu dengan individu, individu denagan kolompok maupun kelompok dengan kelompok, sehinga masyarakat bisa saling mengenal dan mengetahui antara yang satu dengan yang lain.
Bahasa memiliki peranan penting dalam kemasyarakatan, hubungan bahasa dengan masyarakat “seperti mesin dengan bahan bakar”. Oleh karenanya, antara masyarakat dengan bahasa tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan.
Di dalam kajian sosiolinguistik fenomena sikap bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang sering terjadi dalam masyarakat, baik dari prilaku bahasa dan penggunaan bahasa di dalam masyarakat, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa. Di mana masyarakat dalam perilaku berbahasa tidak akan pernah terlepas dengan sikap yang ada pada diri seseorang sebagai pengguna bahasa. Berbagai macam fenomena tentang kebahasaan dalam ranah kemasyarakatan, tidak sedikit masyarakat mulai berkurang akan kecintaan terhadap bahasanya sendiri. Sikap yang seharusnya ditanamkan akan kecintaan bahasa sering diabaiakan terlebih lagi masalah kaidah-kaidah bahasa sering diselewengkan.
Oleh karena itu perlu diketahui apa itu sikap bahasa dan apa saja yang harus dilakukan guna melestarikan bahasa yang ada pada diri sendiri dan masyarakat bahasa pada umumnya. Sikap positif terhadap bahasa akan dapat meningkatkan kesejahteraan bahasa yang ada pada setiap orang dan masyarakat pengguna bahasa. Akan tetapi jika sikap negatif terhadap bahasa lebih dominan maka secara otomatis dapat memudarkan dan menghilangkan kaidah-kaidah bahasa yang sudah ditetapkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan makalah ini yang dapat dirumuskan, yakni:
1. Apakah faktor yang tergolong dalam sikap bahasa pada masyarakat multibahasa?
2. Bagaimanakah peran masyarakat multibahasa dalam menanamkan sikap bahasa?
3. Bagaimanakah sikap bahasa dalam prilaku tata krama berbahasa?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan yang dapat dirumuskan, yakni.
1. Untuk mengetahui faktor yang tergolong dalam sikap bahasa pada masyarakat multibahasa?
2. Untuk mengetahui peran masyarakat multibahasa dalam menanamkan sikap bahasa?
3. Untuk mengetahui sikap bahasa dalam prilaku tata krama berbahasa?
PEMBAHASAN
Untuk dapat memahami apa yang disebut sikap bahasa (languge attitude) terlebih dahulu apa itu sikap. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘sikap’ mangacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya sikapa itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Menurut Allport (1935) sikap adalah kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sedangkan Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif (lihat Chair, 2004: 150).
1. Komponen Kognitif berhubungan dengan pengetahuan alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berfikir;
2. Komponen Afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Jika seseorang memiliki niali rasa baik atau suka terhadap sesuatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya disebut memiliki sikap negatif;
3. Komponen Konatif adalah bagian dari jiwa seseorang yang mengacu pada perbuatan atau prilaku. Bila sesorang ingin mengetahui sikap orang lain sering ditafsirkan melalui asfek konatif ini. Namun tentu saja dengan cara demikina belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan.
Bila ketiga bagian yang terbentuk sikap itu ada dalam keadaan yang sejajar, maka memang prilaku itu dapat menggambarkan sikap secara lebih bulat dan utuh. Akan tetapi, perlu dimaklumi bahwa jiwa manusia merupakan suatu yang rumit, sulit diterka, dan sering muncul gejala yang bertentangan antara keadaan jiwa dengan perilaku yang tampak dari luar. Sabagai contoh: seseorang yang pandai bersandiwara bisa saja mencucurkan air mata seperti orang yang bersikap sedih, padahal keadaan jiwa yang sesungguhnya orang yang bersangkutan tidak sedih dan mungkin malah bahagia (Jendra, 2007: 231).
Anderson (1974) membagi sikap atas dua macam, yaitu 1) sikap kebahasaan, dan 2) sikap nonkebahasaan (sikap potik, sikap social, sikap etnis, dan sikap keagamaan) kedua jenis sikap ini (kebahasaan dan nonkebahasaan) dapat menyangkut keyakinan atau kognisi mengenai bahasa. Maka dengan demikian, menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecendrungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tersentu yang disenanginya (lihat Chair dan Leoni, 2004: 151).
Menurut Aslinda dan Asyafyahya (2007: 10) sikap bahasa adalah kesopanan bereaksi terhadap keadaan. Dengan demikian sikap bahasa merujuk pada sikap mental dan sikap prilaku dalam berbahasa. Sedangkan menurut Bany dan Johnson (dalam Rochman, 2013: 41) mengisyaratkan sikap bahasa tidak terbentuk karena pembawaan sejak lahir tetapi terbentuk karena proses belajar. Selanjutnya menurut Jendra (1991: 64) sikap bahasa adalah keadaan jiwa atau perasaan seseorang terhadap bahasanya sendiri atau bahasa orang lain. Sikap bahasa yang dimaksud, yakni sebagaimana pendukung atau penutur suatu bahasa bersikap terhadap bahasanya di tempat asalnya, di lingkungan masyarakatnya sendiri; dan bagaimana pula sikapnya terhadap bahasanya bila penutur bahasa itu berbicara dengan orang lain baik dalam atau di luar daerah masyarakat bahasanya.
Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, dapat disimpukan bahwa sikap bahasa merupakan prilaku seseorang dalam berbahasa yang tidak terlepas dari etika, kesopanan, dan mental pada diri sesorang dalam berbahasa serta diperoleh melalui proses belajar untuk menumbuh-kembangkan jiwa atau perasaan terhadap bahasanya sendiri.
Menurut Pateda (1987: 29) sikap terhadap bahasa dan berbahasa dapat dilihat dari dua segi, yakni:
1) Sikap Positif terhadap Bahasa
Sikap positif terhadap bahasa menghasilkan perasaan memiliki bahasa. Maksudnya bahasa sudah dianggap kebutuhan pribadi yang esensial, milik pribadi, dijaga dan dipelihara. Sikap positif terhadap bahasa tercermin bentuk antara lain:
a) Kesetiaan akan bahasa (language loyality)
Kesetiaan bahasa pada umumnya dapat berwujud sikap sesorang atau kelompok masyarakat untuk tidak cepat dipengaruhi oleh pemakai bahasa bahasa asing. Contoh seorang penutur setia dan teguh dalam mempertahankan kemandirian bahasanya, seperti penutur bahasa dan dialek tertentu walaupun sudah lama meninggalkan daerahnya, masih sangat kentara dengan ciri dialektikal daerahnya. Seperti yang terlihat di Desa Kembang Kerang Kecamatan Aikmel, Rempung, dan Rumbuk Kecamatan Sakra, yang pada asalnya berasal dari kelompok masyarakat Sumbawa dan menggunakan bahasa Sumbawa meskipun berada pada kelompok masyarakat sasak, akan tetapi sampai sekarang masih perpegang teguh menggunakan bahasa Sambawa.
b) Kebanggaan Bahasa (language pride)
Kebanggan bahasa adalah sikap yang mewarnai seseorang atau masyarakat penutur bahasa yang bersangkutan untuk menjadikan bahasanya sebagai lambang identitas pribadinya atau masyarakatnya, pemakaian bahasanya, harga dirinya, dan wibawa penampilannya. Misalnya seorang guru jurusan Bahasa Inggris yang berasal dari Lombok bertemu dengan orang sasama jurusannya maka mereka akan lebih senang Berbahasa Inggris karena mereka merasa bangga dengan jurusannya dan menjaga wibaawanya sebagai guru jurusan Bahasa Inggris.
c) Kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness of the norm)
Kesadaran akan norma bahasa akan memberi dorongan yang positif terhadap pemakai bahasa yang sesuai dengan kaidah atau norma bahasa secara akurat dan sesuai dengan situasi penuturnya. Contoh seseorang yang mencintai bahasanya sendiri tidak akan pernah semena-mena merubah kaidah dan aturan bahasanya sendiri melainkan tetap menjaga dan melestarikannya sebagai dasar pembinaan dan pengembangan yang kuat bagi masa depan bahasa itu atau bahasanya sendiri.
Menurut Amran Halim (dalam Jendra, 2007: 72) Cara agar penutur bahasa memiliki sikap yang positif yakni menanamkan sikap setia bahasa, bangga bahasa, dan sadar norma bahasa ialah dengan cara:
1) pendidikan bahasa yang pelaksanaannya didasarkan atas asas-asas pembinaan kaidah-kaidah, dan norma bahasa.
2) Pendidikan bahasa yang pelaksanaannya didasarkan atas norma-norma budaya yang hidup di masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan.
Selain itu untuk dapat mengetahui berhasil atau tidaknya seseorang yang didik dalam bahasa terebut tergantung pada motivasi pelajar yang ingin menguasai bahasa tersebut. Sebagaimana motivasi belajar menurut Lambert (dalam jendara, 2007: 73) banyak dipengaruhi oleh sikap bahasa pelajar terhadap bahasa itu. Motivasi belajar bahasa terdorong oelh keinginan pelajar tersebut untuk memperbaiki nasib dirinya pada masa yang akan datang. Motif belajar yang berorientasi kepada perbaikan nasib yang semacam itu disebut dengan istilah Orientasi Instrumental. Selain itu ada orienatasi Integratif yang merujuk pada dorongan keinginan untuk mengetahui kebudayaan masyarakat pendukung bahasa yng bersangkutan.
2) Sikap Negatif terhadap Bahasa
Sikap negatif terhadap bahasa adalah tiadanya gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap suatu bahasa bisa terjadi juga bila sesorang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang bukan miliknya.
Banyak factor yang menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri, dan menimbuhkan pada bahasa lain, antara lain factor politik, ras, etnis, gengsi, dan sebagainya. Pada tahun lima puluhan banyak orang Indonesia yang merasa dirinya Belanda bukan hanya tidak memiliki rasa bangga terhadap bahasa Indonesia, malah malu untuk menggunakannya. Takut dirinya disebut “orang Indonesia”. Sikap negatif terhadap bahasa akan lebih terasa lagi akibat-akibatnya apabila sesorang atau sekelompok orang tiidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap ini akan tampak dalam keselurahan tindak tuturnya mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti kaidah yang berlaku.
Contoh yang sering terjadi dalam lingkungan masyarakat terutama yang ada di Lombok yang identiknya menggunakan bahasa sasak. Seseorang yang pergi merantau ke Malaysia dan tinggal di sana beberapa tahun malah terpengaruh dengan bahasa Malaysia, dan pada saat pulang dari Malaysia ketika berbicara dengan sesama masyarakat sasak Iya malah asyik mencampur dan menghilangkan kaidah bahasa sasaknya dengan menggunakan dialek Malaysia. Ini artinya orang tersebut memiliki sikap negatif dan tidak memeiliki rasa bangga akan bahasanya sendiri.
Bahasa bagaian dari bawaan dari kebudayaan (subsistem budaya) akan dipengaruhi oleh system budaya bahasa tersebut. Sebagaimana sikap berbicara sebagai bagian yang lebih kecil dari prilaku berbahasa termasuk ruang lingkup tata karma berbahasa (linguistics etiquette) yang meliputi beberapa norma pada waktu berbicara dengan orang lain. Norma yang harus diperhitungkan dalam tata karma berbahasa adalah sebagai beriku: (Jendra, 2007: 70-71)
1. Pokok persoaalan apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu, keadaan, dan tempat tertentu. Misalkan pada waktu resmi dibicarakan pada waktu upacara kenegaraan, masalah keluarga tentu harus di bicarakan pada ruang lingkup kekeluargaan karena tidak sesuai atau tidak seharusnya dibicarakan ditempat umum atau dalam situasi yang ramai.
2. Ragam bahasa apa yang sebaiknya dipilih untuk keadaan, tempat, dan waktu tertentu, misalkan sedang santai di rumah dengan keluarga tentu akan menjadi kaku kalau memilih ragam bahasa resmi yang baku.
3. Bagaimana jarak harus diatur kalau berbicara dalam keadaan, tempat, waktu dan pokok persoaalan tertentu dengan siapa berbicara. Misalkan berbicara dengan teman yang akrab di tempat yang kurang sepi dan situasi resmi, tentang pokok persoalan yang rahasia, tentu wajar menggunakan cara berbisik dalam jarak yang dekat.
4. Harus tahu menggunakan kesempatan yang baik untuk berbicara, tidak asal memotong dan menyela giliran orang lain berbicara dan kapan pula sebaiknya dengan tekun dan diam kalau orang lain berbicara sungguh-sungguh.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan tentang sikap bahasa, dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa merupakan prilaku seseorang dalam berbahasa yang tidak terlepas dari etika, kesopanan, dan mental pada diri sesorang dalam berbahasa serta diperoleh melalui proses belajar untuk menumbuh-kembangkan jiwa atau perasaan terhadap bahasanya sendiri. Sikap bahasa teridiri dari 3 komponen yakni komponen kognitif merujuk pada proses berfikir, komponen afektif merujuk pada suatu keadaan nilai rasa, dan komponen konatif merujuk pada perbuatan atau prilaku.
Sikap bahasa dalam berbahasa tercermin sikap positif dan sikap negatif, yang mana sikap positif terdapat 1) kesetiaan akan bahasa (language loyality); 2) kebanggaan bahasa (language pride); dan 3) kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness of the norm). sedangkan sikap negatif terhadap suatu bahasa bisa terjadi bila sesorang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Serta sikap bahasa merupakan bagaian dari bawaan dari kebudayaan (subsistem budaya), sebagaimana sikap berbicara sebagai bagian yang lebih kecil dari prilaku berbahasa termasuk ruang lingkup tata karma berbahasa (linguistics etiquette).
DAFTAR PUSTAKA
Aslinda dan Leny Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama.
Chair, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik; Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Fathur, Rokhman. 2013. Sosiolinguistik: Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa Dalam Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Jendra, I Wayan, 1991. Dasar-dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Jendra, I Wayan, 2007. Sosiolinguistik; Teori dan Penerapannya. Surabaya: Paramita.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguitik. Bandung: Angkasa
Comments
Post a Comment