MANIFESTASI NILAI BUDAYA DALAM TUTURAN MITOS BAHASA SASAK DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK

MANIFESTASI NILAI BUDAYA DALAM TUTURAN MITOS BAHASA SASAK DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK
 MUSHAITIR


                   ABSTRAK
Mitos pada dasarnya merupakan cerita atau ungkapan tahayul yang kebenarannya belum tentu sepenuhnya benar, akan tetapi ungkapan atau tuturan yang ada pada mitos memiliki makna atau nilai budaya yang bersifat peringatan maupun nasihat dalam prilaku atau adat istiadat jika ditinjau dari tataran pragmatik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manifestasi nilai budaya dalam tuturan mitos bahasa sasak ditinjau dari aspek pragmatik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah ungkapan atau tuturan tentang mitos bahasa sasak dan sumber data diperoleh dari penutur asli bahasa sasak. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik simak dan interview. Teknik analisis data yang digunakan adalah mentranskrif data, penerjemahan, dan selanjutnya penarikan simpulan berdasarkan makna yang terkandung pada mitos bahasa sasak. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berdasarkan tinjauan pragmatik pada mitos bahasa sasak adalah adanya makna tentang nasihat tentang adat istiadat atau norma dan larangan.

Kata kunci: Budaya, Pragmatik, Mitos, dan Bahasa Sasak 

BAB I  PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang keluar dari alat ucap manusia yang dijadikan sebagai alat komunikasi dan berintraksi antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Adanya masyarakat tentu adanya suatu budaya dan budaya itu sendiri merupakan penjelmaan dari suatu bahasa, tidak terlepas dari suatu budaya terdapat segelincir mitos-mitos yang mangandung pertanyaan yang begitu banyak. Kehadiran mitos itu sendiri baik benar atau tidaknya sudah menjadi tradisi yang sering diungkapkan dan tidak terlepas pula mitos itu ada karena adanya bahasa yang membuat ekstensi mitos itu diakui keberadaannya oleh masyarakat.
Mitos pada dasarnya ungkapan atau cerita tahayul atau legenda-legenda yang ada di setiap masyarakat di masing-masing daerah, baik pada daerah sasak (lombok), bali, jawa, dan sebagainya. Mitos atau cerita tahayul yang bersifat melegenda dan ada pula mitos yang digunakan sebagai ungkapan, identiknya bersifat peringatan atau larangan yang diungkapakan melalui bahasa yang membutuhkan penafsiran, baik itu benar sesuai dengan kenyataan atau tidak. Di dalam tuturan mitos tersebut, biasanya terkandung suatu unsur nilai budaya, dimana tuturan tersebut mengarahkan seseorang untuk berprilaku dalam mencerminkan adat istiadat atau etika yang sesuai dengan norma dalam lingkungan masyarakat tersebut. Di daerah sasak (lombok) terutama sering terjadi adanya mitos-mitos yang digunakan sebagai acuan untuk menasihati kaula muda, anak-anak, baik perempuan dan laki-laki yang berfungsi untuk memberikan nasihat dengan ungkapan bahasa yang mempunyai makna atau nilai budaya.
Sesuai dengan perkembangan zaman, ungkapan atau tuturan mitos-mitos yang dulunya sering digunakan kini sudah mulai terkikis dan jarang dipergunakan lagi, terutama di daerah sasak (lombok) dikarenakan proses pemikiran masyarakat kini sudah terbawa dengan kondisi moderenisasi. Ungkapan mitos dalam bahasa sasak kini jarang ditemukan di masyarakat, hanya dipergunakan kapada anak-anak sebagai sarana untuk mendidik dan mengarahkan untuk memberlakukan adat istiadat atau etika dalam berprilaku baik di masyarakat.
Berdasarkan penomena yang terjadi di lingkungan masyarakat terkait dengan adanya ungakapan mitos di daerah sasak (lombok) yang dulunya membudaya kini sudah mulai terkikis, dikarenakan pemikiran yang dimiliki mayarakat sekarang sudah terkontaminasi oleh era postmoderenisme. Maka peneliti tertarik untuk mengakat penelitian sebagai wahana informasi terkait perwujudan niali budaya yang dalam tuturan mitos bahasa sasak ditinjau dari aspek pragmatik. Di mana pragmatik mengkaji tentang makna ungkapan atau tuturan dalam proses tindak tutur yang digunakan dalam bahasa sasak terkait tentang makna atau manifestasi nilai buadaya dari sebuah mitos-mitos yang ada di daerah sasak (lombok).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi masalah yang  telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah bentuk manifestasi nilai budaya dalam tuturan mitos bahasa sasak ditinjau dari tataran pragmatik?”
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah “untuk mengetahui bentuk manifestasi niali budaya dalam tuturan mitos bahasa sasak ditinjau dari tataran pragmatik.”
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dalam penulisan makalah ini hendaknya dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yaitu
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian bahasa dan sastra Indonesia dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a.  Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan tentang nilai budaya yang terdapat dalam tuturan  mitos yang sering digunakan masyarakat sasak dengan menggunakan pola pikir yang lebih baik dari sebelumnya dan juga mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang makna dari tuturan mitos bahasa sasak ditinjau dari pragmatik.
b. Bagi Peneliti
Penelitian ini berupaya menambah wawasan peneliti tentang kajian pragmatik pada mitos bahasa sasak baik dari fungsi kegunaan mitos bahasa sasak serta dapat memaknai arti dan nilai budaya yang terdapat pada tuturan mitos tersebut, berdasarkan konteks tuturan dalam ruang lingkup masyarakat sasak pada umumnya.

BAB II  KONSEP DAN KAJIAN TEORI
2.1 Mitos
Mitos dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Keberadaan mitos jika ditinjau dari segi filsafat, maka mitos itu sendiri menurut Praja (2014: 72) orang-orang Yunani dulu kala mempunyai banyak mitos-mitos yang berupa dongeng takhayul yang jauh dari kebenaran rasional, tetapi sudah merupakan percobaan untuk mengerti tentang rahasia alam ini, sehingga dapat memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam hati mereka. Dengan  demikian,  melalui mitos-mitos itulah manusia mencari keterangan-keterangan tentang asal-usul alam semesta (biasa di sebut mitos kosmogonis) dan keterangan-keterangan tersebut diperoleh tanpa bimbingan rasional.
Mitos adalah suatu sistem komunikasi yang memberikan pesan berkenaan dengan aturan masa lalu, ide, ingatan, dan kenangan atau keputusan-keputusan yang diyakini. Dengan demikian mitos bukanlah suatu benda, konsep atau gagasan melainkan sebuah lambang dalam bentuk wacana (discourse) (Barthes, 1981: 93).
Sebuah tinjauan filasafat dengan mitos tidak akan terlepas dengan bahasa seperti yang diungkapakan Louis O. Katsooff berpendapat bahwa suatu sistem filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa bahasa tersebut. Karena itu fillsafat dan bahasa akan senantiasa beriringan, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama adalah mencari jawaban atau makna dari seluruh simbol yang menampakkan diri di alam semesta. Bahasa adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia simbol-simbol tersebut. (Hidayat, 2009:31).
Menurut Junus (1981:92) Pemahaman atas mitos akan menyebabkan manusia mempunyai suatu prasangka tertentu terhadap hal yang dinyatakan dalam mitos. Hanya melalui persentuhan dengan hal tertentu tersebut kita selanjutnya dapat mengetahui ketepatan dan kekeliruan pemahaman terhadap mitos tersebut.
2.2 Wujud Budaya
Budaya yang selalu diidentikkan sebagai ‘akal budi’, ‘adat istiadat’. Hal ini tercermin dari perilaku manusia atau masyarakat dalam menciptkan nilai-nilai yang tetap berpegang pada norma yang berlaku. Untuk mewujudakan konsep nilai budaya tidak akan pernah terlepas dari bahasa. Dimana bahasa sebagi faktor yang mendasar dalam mewujudkan eksistensial pikiran dan adat istiadat dalam hal proses interaksi. Sebagaimana yang di ungkapkan Sulasman dan Gumilar (2013: 42) bahwa “bahasa merupakan alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik melalui tulisan, lisan, maupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata karma masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakt” 

Konsep kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, konsep kebudayaan yang bersifat materialistis, yang mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem hasil adaptasi di lingkungan alam atau sistem untuk mempertahankan kehidupan masyarakat. Kedua, konsep kebudayaan yang bersefat identitas, yang memandang semua fenomena eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal, (Sulasman dan Gumilar, 2013: 35). 
2.3 Pragmatik
Pragmatik merupakan bagian dari analisis linguistik fungsional memiliki unsur-unsur eksternal bahasa secara komprehensif. Pragmatik berpegang teguh pada unsur-unsur eksternal yang menetukan makna tuturan para penutur dalam berkomunikasi (Rohmadi, 2010: 9)
Selanjutnya menurut Yule (2006: 5) pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dikmaksudkan seseorang, asumsi mereka, maksud atau tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan (sebagai contoh: permohonan) yang mereka perlihatkan ketika mereka berbicara.
Menurut Djajasudarma (2006: 54) pragmatik mencakup studi interaksi antara pengetahuan kebahasaan dan dasar penegetahuan tentang dunia yang dimiliki oleh pendengar/pembaca. Studi ini melibatkan unsur interpretatif yang mengarah pada studi tentang keseluruhan pengetahuan dan keyakinan akan konteks. Menurut Malinowski (lihat Ullmann, 2012: 59-60) adanya konteks situasi itu tidak hanya berarti situasi yang sebenarnya tempat ujaran itu terjadi, tetapi juga menyangkut keseluruhan latar belakang budaya di mana peristiwa tutur itu muncul. Konsep tentang konteks itu harus menembus ikatan-ikatan yang hanya bersifat kebahasaan dan diteruskan kepada analisis terhadap kondisi-kondisi umum yang memayungi ketika bahasa itu dituturkan.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa pragmatik merupakan studi kebahasaan (linguistik) yang mengkaji tentang unsur-unsur makna dari proses tuturan yang digunakan untuk berkomunikasi sesuai dengan konteks dan situasi yang membutuhkan terjemahan makna oleh lawan bicara atau pembicara. Di dalam proses komunikasi dalam tataran pragmatik tentu adanya situasi tutur di mana menurut Leech (lihat Rohmadi, 2010: 26-27) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam studi pragmatik, di antaranya sebagai berikut:
1. Aspek-aspek Tutur
a)      Penutur dan lawan tutur, ialah konsep ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan.
b)      Konteks tuturan, ialah  konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan yang bersangkutan. dalam pragmatik konteks ini pada haklikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back graound knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.
c)      Tujuan tuturan, ialah bentuk-bentuk tuturan  yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan. Dalam hal ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan suatu maksud atau sebaliknya satu maksud dapat disampaikan dengan beraneka ragam.
d)     Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, ialah pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Tuturan sebagai entitas  yang konkrit jelas penutur dan lawan tuturnya serta waktu dan tempat pengutaraannya.
e)      Tuturan sebagai produk verbal, ialah tuturan sebagaimana dalam kriteria empat merupakan wujud dari tindak verbal dalam pragmatik.
2. Peristiwa Tutur                         
Peristiwa tutur menurut Yule (2006: 99) merupakan suatu kegiatan di mana para peserta berintraksi dengan bahasa dalam cara-cara konvensional untuk mencapai suatu hasil. Peristiwa ini mungkin termasuk suatu tindak tutur sentral yang nyata, seperti “sesungguhnya saya tidak menyukai ini”, seperti dalam peristiwa tutur “keluhan”, tetapi peristiwa ini juga termasuk tuturan-tuturan lain yang mengarah padanya dan sesudah itu bereaksi pada tindakan sentral tersebut.
Selanjutnya menurut Rohmadi (2010: 29) peristtiwa tutur merupakan suatu rangkaian tindak tutur dalam dalam satu bentuk  ujaran atau lebih yang mlibatkan dua pihak dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan dalam waktu, tempat dan situasi tertentu.
3. Kelasifikasi Tindak Tutur
Di dalam tindak tutur merupakan suatu proses terjadinya peristiwa tutur di antara penutur dan lawan tutur, di mana tindak tutur dapat dikelasifikasikan berdasarkan bentuk di anataranya: tindak tutur deklarasi, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif.
Deklarasi, ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia atau situasi melalui tuturan. Refresentatif, ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Ekspresif, ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ini mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan atau kesengsaraan. Direktif, ialah jenis tindak tutur yang digunakan oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran dan lain-lain. Komisif, ialah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan, ikrar, dan lain-lain.

BAB III  METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian Fenomenologis. Penelitian ini mengkaji tentang fenomena tuturan mitos bahasa sasak yang dikaji pada tataran pragmatik. Menurut Moustakas (lihat Emzir, 2012:24), penelitian Fenomenolgis merupakan penelitian yang mengidentifikasi “esensi” dari pengalaman manusia yang dipandang sebagai fenomena, sebagaimana dideskripsikan oleh para partisipan dalam suatu studi. Memahami pengalaman hidup merupakan markah fenomenologi baik sebagai sebuah filosofi maupun sebagai sebuah metode, dan prosedur tersebut melibatkan studi jumlah kecil subjek melalui janji ekstensif dan panjang untuk mengembangkan pola dan hubungan makna. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dimana metode deskriptif kualitif bertujuan untuk memaparkan fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat terkait tentang tuturan mitos bahasa sasak yang ditinjau dari tataran pragmatik.

3.2 Metode Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat penutur asli bahasa sasak. Serta teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik simak, dan interview. Sebagaimana teknik pengumpulan data menurut Sugiyono (2013: 224) merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.
Teknik simak merupakan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang tuturan mitos bahasa sasak. Pada teknik ini peneliti akan menyimak apa yang diucapkan narasumber tentang mitos. Pada tahap menyimak, untuk menghindari agar data tidak hilang maka peneliti menggunakan media perekeman sehingga data yang diperoleh tatap ada.
Teknik interview merupakan teknik yang digunakan untuk meneliti tuturan mitos bahasa sasak. Di mana teknik ini diguanakan untuk menginterview atau menyakan tentang tuturan mitos yang sering digunakan masyarakat sasak sehingga data yang diinginkan bisa didapatkan.
3.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik mentranskrif data ke dalam bahasa tulis, penerjamahan data ke dalam bahasa indonesia, dan penganalisisan data. Untuk mempermudah analisis, data yang sudah ditulis dan terjemahkan ke dalam bahasa indonesia kemudian dikelasifikasikan berdasarkan jenis tuturan yang digunakan pada mitos bahasa sasak tersebut. Data yang sudah dikelasifikasikan kemudian memberikan penjelasan tentang maksud dan makna dari mitos bahasa sasak yang dituturkan. Pada tahap akhir membuat simpulan dari seluruh data yang telah dianalisis sesuai dengan masalah yang diteliti, yaitu tuturan mitos bahasa sasak yang ditinjau dari tataran pragmatik.

BAB IV  HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Analisis
Stelah dilakukan analisis tuturan mitos bahasa sasak berdasarkan tinjauan pragmatik terdapat jenis tuturan direktif. Tuturan ini bertujuan untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu, seperti halnya tuturan ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran. Seperti yang terdapat pada tuturan mitos bahasa sasak.

No
Mitos dalam B S
Mitos dalam B I
Jenis Tuturan
1
Endaʔ girang tokol leɁ lawang laun sekat isiɁ beranak
Jangan suka duduk di pintu, nanti kamu bisa sulit melahirkan
Direktif
2
Lamun mangan endaɁ araɁ besesa nasiɁ mate manuk mek laun.
Kalau makan jangan ada nasi yang tersisa nanti mati ayam kamu
Direktif
3
EndaɁ Girang ngentiɁ otak dengan, belok dengan laun.
Jangan suka megang kepala orang nanti orang bisa bodoh.
Direktif
4
SadeɁ siɁ toaɁ julu laun toaɁ seninaɁ mauɁ mek laun
Berikan yang tua dulu nanti tua istri yang kamu dapat.
Direktif
5
Lamun mangan ndaɁ girang tokol ngangkang sekat isiɁ mek nai laun.
Kalau sedang makan jangan suka duduk ngangkang nanti sulit kamu buang air besar.
Direktif
6
EndaɁ  Girang gelidung pas magrib seboɁ na anta isiq bebodo
Jangan suka keluyuran ketika magrib nanti kamu disembunyikan oleh kolong wewe
Direktif
7
ndeɁ kanggo begunting lamun betian seninaqm laun rontok bulu anakm.
Tidak boleh bercukur (suami) ketika istrimu hamil, nanti rambut anakmu tidak ada.
Direktif
8
NdaɁ girang nokolin galang laun kebong anta
Jangan suka menduduki bantal nanti kamu bisulan.
Direktif

4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis, maka pembahasan yang dikaji pada mitos bahasa sasak yakni tentang maksud dan fungsi dari tuturan mitos bahasa sasak berdasarkan tinjauan pragmatik yakni sebagai berikut:
1.      Tuturan MBS I
endaɁ girang tokol leɁ lawang laun sekat isiɁm beranak”
“Jangan suka duduk di pintu nanti kamu bisa sulit melahirkan”
Tuturan mitos bahasa sasak di atas merupakan tuturan yang berupa saran yang diberikan penutur kepada lawan tutur yakni melarang duduk di pintu karena bisa menyebabkan ia akan sulit melahirkan. Berdasarkan konteks dan makna tuturan mitos tersebut jika ditinjau dari unsur kelogisannya tidak mungkin seorang (perempuan) yang duduk di pintu bisa sulit melahirkan. Akan tetapi maksud dari tuturan tersebut merupakan larangan atau nasihat untuk tidak duduk di pintu karena bisa menghalingi jalan orang yang akan keluar-masuk rumah. Selain itu, perempuan yang suka duduk di pintu akan mengakibatkan pandangan orang lain terutama laki-laki yang sering lewat di depan rumahnya bisa jadi akan menggodanya sehingga dapat menyebabkan pandangan negatif orang lain terhadap perempuan tersebut.
2.      Tuturan MBS II
“lamun mangan endaɁ araɁ besesa nasiɁ mate manuk mek laun”
jika makan jangan ada nasi yang tersisa nanti mati ayam kamu”
Tuturan mitos di atas menunjukan jenis tuturan direktif di mana penutur memberikan saran kepada lawan tutur agar tidak menyisakan nasi, karena kalau ada nasi yang tersisa bisa mengakibatkan ayam yang dipelihara bisa mati. Ditinjau kelogisan tuturan mitos tersebut tidak mungkin sekedar nasi yang tidak dihabiskan bisa mengakibat ayam yang dipelihara akan mati, akan tetapi sesuai dengan konteks tujuan tuturan mitos tersebut pada dasarnya agar tidak terjadi kebiasaan menyisakan nasi karena nasi yang tersisa akan menjadi mubazir.
3.      Tuturan MBS III
“EndaɁ Girang ngentiɁ otak dengan, belok dengan laun.”
“Jangan suka megang kepala nanti orang bisa bodoh ”
Dilihat dari tuturan mitos bahasa sasak di atas menunjukkan jenis tindak tutur direktif di mana penutur memberikan saran kepada lawan tutur agar tidak memegang kepala orang lain karena bisa mengakibatkan orang yang dipegang kepalanya menjadi bodoh. Ditinjau dari kelogisannya tidak mungkin sekedar memegang kepala seseorang akan mengakibatkan orang yang dipegang kepalanya menjadi bodoh, akan tetapi konteks serta makna dari tuturan mitos tersebut untuk memberikan nasihat agar menjaga kesopanan dan etika karena kepala merupakan letak kehormatan seseorang.
4.      Tuturan MBS IV
“SadeɁ siɁ toaɁ julu laun toaɁ seninaɁ mauɁ mek laun”
“Berikan yang tua dulu nanti tua istri yang kamu dapat”
Dilihat dari tuturan mitos bahasa sasak di atas, merupakan jenis tindak tutur direktif, di mana penutur memberikan saran kepada lawan tutur untuk tidak melangkahi atau mendahului yang tua karena kalau melangkahi atau mendahului yang tua akan berdampak pada istri yang akan diperoleh nantinya lebih tua darinya. Mitos di atas, dilihat dari kelogisannya tidak mungkin sekedar melangkahi atau mendahului yang lebih tua maka akan berdampak pada istri yang akan didapatkan nantinya lebih tua darinya, akan tetapi sesuai dengan konteks makna dari tuturan mitos tersebut mengandung suatu nasihat tentang adat istiadat untuk lebih menghargai yang lebih tua berdasarkan etika dan kesopanan yang ada di lingkungan masyarakat sasak.
5.      Tuturan MBS V
“Lamun mangan ndaɁ girang tokol ngangkang sekat isiɁ mek nai laun.”
“Kalau sedang makan jangan suka duduk ngangkang nanti sulit kamu buang air besar.”
Tuturan mitos ini mununjukan jenis tindak tutur direktif di mana tuturan mitos tersebut di tujukan kepada lawan tutur untuk memberikan saran kapada lawan tutur ketika sedang makan tidak boleh duduk ngangkang karena bisa menyebabkan lawan tutur sakit buang air besar. Jika ditinjau dari kelogisan dari mitos tersebut sebagian ada yang benar dan adapula yang tidak benar. Tujan dari tuturan mitos tersebut memberikan nasihat kepada lawan tutur untuk duduk dengan baik ketika sedang makan berdasarkan adat istiadat dan etika.
6.       Tuturan MBS VI
“EndaɁ  Girang gelidung pas magrib laun seboɁ na siɁ bebodo”
“Jangan suka keluyuran ketika magrib nanti kamu disembunyikan oleh kolong wewe”
Tuturan mitos bahasa sasak di atas, ditinjau dari kelogisannya adakalanya benar dan adakalanya tidak benar. Mitos tersebut sering digunakan kepada seorang anak yang suka keluyuran ketika magrib guna menakuti-nakuti anak agar tidak menjadi terbiasa keluyuran ketika magrib, karena waktu magrib merupakan waktu untuk mengaji bagi seorang anak. Makna dari tuturan mitos tersebut untuk memberikan nasihat kepada seorang anak untuk tidak menjadi kebiasaan keluyuran ketika menjelang malam, tidak baik bagi seorang anak keluyuran dikarenakan waktu tersebut merupakan waktu yang digunakan untuk mengaji.
7.      Tuturan MBS VII
“endek kanggo begunting lamun betian seninaqm, laun rontok bulu anakm
“Tidak boleh bercukur (suami) ketika istrimu hamil nanti rambut anakmu tidak ada.”
Tuturan mitos di atas merupakan jenis tindak tutur direktif di mana penutur memberikan saran kepada lawan tutur agar agar tidak bercukur ketika istrinya sedang mengandung karena bisa mengakibatkan anak yang dikandungnya nanti tidak akan memiliki rambut. Tujuan dari tuturan mitos di atas, yakni melarang seorang suami untuk mencukur rambut karena bisa mengakibatkan anaknya tidak memiliki rambut. Kelogisan dari mitos tersebut tidak mungkin jika seorang suami hanya sekedar mencukur rambut bisa mengakibatkan anak yang dilahirkan nanti oleh istrinya tidak memiliki rambut. Sesuai dengan konteks makna dari tuturan mitos tersbut yakni melarang seorang suami bercukur rambut guna menghindari kecemburuan seorang istri kepada suami dikarenakan seorang isitri akan berpikiran bahwa sang suami punya perempuan simpanan. Kecemburan istri tersebut akan berdampak pada kondisi kandungan istrinya jika hati seorang istri terganggu yang mengakibatkan hati istrinya tidak tenang. Penutur menggunakan mitos tersebut untuk memberikan nasehat kepada lawan tutur untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ketika istri lawan tutur sedang mengandung.


8.      Tuturan MBS VIII
“NdaɁ girang nokolin galang laun kebong anta”
“Jangan suka menduduki bantal nanti kamu bisulan.”

Tuturan mitos ini mununjukan jenis tindak tutur direktif di mana tuturan mitos tersebut di tujukan kepada lawan tutur untuk memberikan saran atau nasihat kapada lawan tutur untuk tidak menduduki bantal, disebabkan bantal merupakan tempat kepala yang digunakan untuk tidur. Jika ditinjau dari kelogisan dari mitos tersebut sebagian ada yang benar dan adapula yang tidak benar. Nilai yang terkandung dalam tuturan tersebut secara akal tidak logis jika hanya sekedar menduduki bantal akan meneyebakan sesorang menjadi bisul. Tuturan tersebut diungkapkan sebagai saran atau nasihat kepada lawan tutur sebagai dasar untuk menjaga etika, karena tidak sepantasnya tempat kepala malah diduduki. Kepala identiknya sebagai dasar tempat suatu kehormatan seseorang dan tidak sepantas untuk diduduki.


BAB V  SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasa, dapat disimpulkan bahwa tuturan MBS ditinjau dari pragramtik menggunakan jenis tindak tutur direktif di mana tindak tutur ini bertujan untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu, seperti halnya tuturan ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran. Seperti halnya dalam mitos bahasa (1) “endaɁ girang tokol leɁ lawang laun sekat isiɁm beranak” artinya “Jangan suka duduk di pintu nanti kamu bisa sulit melahirkan” (2) “lamun mangan endaɁ araɁ besesa nasiɁ  mate manuk mek laun” artinya “jika sedang makan jangan ada nasi yang tersisa nanti mati ayam kamu”; (3) “EndaɁ Girang ngentiɁ otak dengan belok dengan laun” artinya “Jangan suka megang kepala nanti orang bisa bodoh”; (4)  “SadeɁ siɁ toaɁ julu laun toaɁ seninaɁ mauɁ mek laun” artinya “Berikan yang tua dulu nanti tua istri yang kamu dapat”;(5) “Lamun mangan ndaɁ girang tokol ngangkang sekat isiɁm nai laun” artinya  “Kalau sedang makan jangan suka duduk ngangkang nanti sulit kamu buang air besar”; (6)“EndaɁ  Girang gelidung pas magrib laun seboɁ na siɁ bebodo” artinyaJangan suka keluyuran ketika magrib, nanti disembunyikan oleh kolong wewe”; dan (7) “endek kanggo begunting lamun betian seninaqm, laun rontok bulu anakm” artinya “Tidak boleh bercukur (suami) ketika istrimu hamil, nanti rambut anakmu tidak ada”;  (8) “NdaɁ girang nokolin galang laun kebong anta” ArtinyaJangan suka menduduki bantal nanti kamu bisulan” Dari kesemua mitos bahasa sasak tersebut mengandung makna yang mengandung nasihat tentang adat istiadat atau norma dan larangan sebagai mencitraan nilai budaya ada di dalam lingkungan masyarakat sekitar.
5.2 Saran
Dari beberapa penjelasan dan isi makalah sederhana ini yang membahas tentang tuturan mitos bahasa sasak sebagai bahasa lokal berdasarkan tinjauan pragmatik tidak terlepas dari kesalahan rangkaian kalimat dan ejaan penulisnya. Saya menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh pembaca atau khalayak umum. Oleh karena itu, diharapkan kepada para pembaca atau mahasiswa kritik dan saran yang bersifat konstruktif dalam terselesainya makalah selanjutnya.








Comments

Popular posts from this blog

PENDEKATAN EKSPRESIF (ANALISIS PUISI "HANYA SATU" KARYA AMIR HAMZAH)

SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT

TEORI DEKONSTRUKSI (JACQUES DERRIDA)